JURAGAN ARJUNA

BAB 248



BAB 248

Sore ini, aku dan Romo masih berada di rumah yang ada di Purwokerto. Kami berdua sedang duduk, sembari menemani Ningrum yang masih terlelap dalam tidurnya. Kuembuskan lagi, napas beratku, sembari melihat ke arahku. Kemudian, Romo tersenyum.     

"Aku benar-benar ndhak menyalahkan pandangan orang-orang yang ada di sekolah tadi. Jika bukan suatu hal mungkin, pemuda seusiamu memiliki anak perempuan yang sekolah di sekolah menengah atas. Namun begitu, melihatmu keras kepala untuk mengakuinya sebagai putri kandungmu tanpa menjelaskan hal sebenarnya, adalah perkara yang sangat luar biasa. Romo salut denganmi perkara itu."     

Aku tersenyum mendengar ucapan dari Romo Nathan, entah kenapa aku merasa tersanjung dengan penuturannya itu. Aku merasa jika, aku telah benar-benar berhasil menjadi Romo yang sesungguhnya untuk Ningrum, bukan Romo angkat.     

"Karena sejatinya sedari awal aku tahu, Romo. Jika yang aku angkat anak adalah seorang gadis, yang kelak akan tumbuh menjadi seorang perempuan dewasa. Aku ndhak ingin, tatkala dia memasuki dunia remaja, dan dewasa, dia akan merasa canggung denganku, dia akan merasa aneh berinteraksi denganku, sebab sejatinya kami ndhak terikat dalam ikatan darah. Dan Romo tentu tahu juga, jarak usia kami bahkan lebih banyak jarak usia Romo Adrian dan Biung, toh. Jadi aku takut pemikiran orang terhadap kami akan menjadi aneh. Meski, sekarang pemikiran mereka memang sudah aneh. Aku sama sekali ndhak menyalahkan itu. Yang terpenting, aku sudah berhasil membuat anakku ndhak merasa canggung denganku, aku telah berhasil membuatnya beranggapan jika aku adalah Romo kandungnya. Itu sudah cukup, Romo... itu benar-benar sudah sebuah keberhasilan untukku. "     

"Mungkin karena kamu sudah terbiasa untuk menjadi seorang Kangmas dari Rianti, itu sebabnya kebiasaan yang ndhak kamu sadari itu bisa dengan mudah kamu terapkan kepada Ningrum. Sehingga Ningrum menjadi nyaman, dan ndhak merasa canggung."     

Aku kembali tersenyum mendengar hal itu. kemudian, aku melirik ke arah Paklik Junet, yang kini tampak sibuk dengan kopi hitamnya.     

"Ohya, rencananya kamu hendak menyekolahkan anakmu ke mana?" tanya Romo lagi.     

Jujur, sampai detik ini aku sama sekali belum memikirkan hal itu. Yang aku pikirkan tadi hanyalah, untuk membuat Ningrum secepat mungkin keluar dari sekolah itu, ndhak lebih.     

"Biarkan dia sendiri yang memutuskan untuk pindah di mana, Romo. Masih mencari di kota ini juga terserah, atau mau ke Jakarta biar lebih dekat dengan biungnya aku malah syukur. Seendhaknya, aku ndhak perlu cemas memikirkan dua perempuan yang kusayangi di dua tempat lagi. Seendhaknya aku ndhak perlu membagi waktuku untuk ke sana, ke sini, dan ke Kemuning."     

Romo Nathan langsung menepuk-nepuk bahuku, kemudian dia tersenyum simpul. Sepertinya, dia paham benar dengan apa yang aku pikirkan.     

"Kamu benar, memberi kebebasan bukan berarti kita akan membiarkan apa yang hendak mereka lakukan meski keliru. Tapi, memberi kebebasan adalah, tanda dari kita memberi kepercayaan, agar mereka merasa lebih dihargai, kalau kita di sini mempercayai setiap keputusan yang mereka ambil."     

"Aku yakin, dulu Biung sangat merepotkan Romo. Aku pikir, dulu Biung tipikal perempuan yang sedikit keras kepala."     

"Bukan hanya sedikit, tapi memang benar-benar keras kepala dan ndhak peka...," kata Romo, sembari menghela napas panjang. Rasanya, aku ingin tertawa melihat ekspresi Romo seperti itu. Aku bisa membayangkan, bagaimana mereka masa muda dulu. Si pemarah yang sok gengsi, dengan si ndhak peka yang keras kepala. Pantas sajalah, harus menunggu waktu lama untuk sekadar melebur ego mereka dalam menyatakan cinta. "Jadi, Romo sama sekali ndhak kaget, kalau kamu atau pun Rianti sangat ndhak peka dalam urusan hati. Ya mau bagaimana lagi, lha wong pohonnya saja seperti itu. Buahnya pasti ndhak jauh berbeda."     

"Tapi kurasa, Dik Rianti lebih unik lagi...," ucapku sembari mengulum senyum. "Sudah ndhak peka, mulutnya pedas, galak pula. Aku benar-benar kasihan dengan Bima. Bagaimana bisa dia jatuh hati kepada perempuan seperti itu."     

"Kamu ini, kalau mengejek adikmu paling pandai. Tapi, Romo setuju."     

"Nah, toh!"     

"Apa?"     

"Romo setuju,"     

"Setuju apa?"     

"Ah, Romo... pikun,"     

*****     

"Romo,"     

"Hmm?"     

Saat ini, aku sedang duduk dengan Ningrum. Dia sudah cukup sehat untuk sekadar duduk. Dia merengkuh tubuhku erat-erat, sementara kepalanya disenderkan di dadaku. Tapi kini, dia memanggilku, sembari memandang wajahku lekat-lekat. Sebenarnya aku bingung juga dengan apa yang hendak dia katakan pagi ini.     

"Jadi, nanti aku sekolah di mana, Romo? Di sini saja atau sama Biung?" tanyanya kemudian. Ternyata, dia masih bingung perkara ini, toh.     

"Sekarang Romo tanya, kamu mau sekolah di mana? Menurutmu, sekolah menengah atas yang paling bagus dan menjadi favoritmu di mana, Ndhuk?"     

Kini Ningrum tampak berpikir keras, kemudian dia menghela napas panjang. Direbahkan kembali kepalanya di dadaku, kemudian jarinya terus memutar-mutar kancing kemejaku.     

"Sebenarnya, sekolahku ini sudah bagus, Romo. Aku sangat nyaman sekolah di sana. Aku sudah punya kawan karib yang benar-benar dekat. Romo ingat, toh, tiga kawanku itu. kemarin, tatkala aku di rumah sakit. Mereka menangis, karena ndhak ingin berpisah denganku, kalau aku jadi pindah."     

"Lantas, apa yang sekarang kamu pikirkan? Coba beritahu Romo," tawarku.     

Ningrum kembali memandang wajahku, seolah memastikan jika hari ini apakah aku sedang marah, atau endhak. Mungkin dia takut kalau-kalau aku ndhak setuju dengan idenya itu.     

"Anakku tersayang, kenapa kamu melihat Romo seperti itu? Apa kamu pikir, Romo akan marah jika kamu mengatakan sesuatu? Apa selama ini Romo pernah melarangmu melakukan hal yang kamu inginkan? Bahkan keputusanmu untuk sekolah di tempat yang jauh dengan biungmu pun, Romo setuju dengan senang hati, toh. Jadi, katakan kepada Romo, apa yang kamu inginkan. Selama itu masuk akal, Romo janji akan mengabulkannya."     

"Janji? Benar-benar janji?" katanya meyakinkan dirinya sendiri.     

Aku mengangguk, tapi dia seolah ndhak terima. Dia lantas menyodorkan jari kelingkingnya padaku, membuatku mengerutkan kening. "Janji?" lanjutnya masih keras kepala. Aku tersenyum mendengarnya, kemudian kulihat wajahnya lekat-lekat.     

"Sun (cium) dulu, romonya," kubilang.     

Belum sempat aku tunjuk pipi, dia sudah mencium pipiku dengan cepat. Kemudian dia kembali tersenyum lebar.     

"Nah, sekarang katakan apa keinginanmu itu, Ndhuk?"     

"Aku ndhak mau pindah, Romo. Aku mau menghabiskan masa sekolah menengah atasku di sekolahku ini," katanya hati-hati.     

Kutarik alisku tatkala dia mengatakan itu, aku benar-benar sungguh bingung. Sebenarnya, apa yang dia pikirkan sampai-sampai setelah apa yang dilakukan oleh kawan-kawan nakalnya itu, dia masih keras kepala untuk tetap sekolah di sana?     

"Apa karena pemuda itu? kamu telah jatuh hati dengan pemuda itu? Itu sebabnya kamu ndhak mau pindah sekolah, Ndhuk?" selidikku.     

"Bukan, Romo, bukan...," katanya, dia langsung duduk tegap sembari menggelengkan kepalanya. "Aku hanya berpikir, jika aku pindah sekolah, maka itu sama saja aku akan memulai interaksi dengan kawan dan guruku dari awal lagi. Aku butuh waktu untuk menyesuaikan diri lagi dengan lingkungan. Terlebih, hal itu ndhak akan menjamin, toh, kalau aku ndhak akan dijahili oleh kawan-kawanku yang baru? Itu juga ndhak akan menjamin bahwa aku akan aman. Bisa saja, di sekolahku yang baru ada orang-orang jahil sama seperti kakak kelasku itu, Romo."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.