JURAGAN ARJUNA

BAB 253



BAB 253

0Bima ndhak lantas menjawab ucapanku, dia malah tersenyum lebar sembari menggaruk tengkuknya yang ndhak gatal. Seolah, apa yang sebenarnya terjadi benar-benar di luar batas keinginannya. Belum sempat aku mendesaknya lagi, aku melihat Manis melambaikan tangannya dari jendela kamar. Aku kemudian tersenyum, dan melupakan masalah Bima dan Rianti sekarang.     

"Ya sudah, aku tidak akan menyuruhmu untuk menjawab pertanyaanku. Aku mau menemui istriku tercinta dulu. Nanti jangan kembali ke rumahmu dulu, aku dan Manis akan mengangantarkan kalian,"     

"Siap, Bang!"     

Aku langsung pergi, setengah berlari masuk ke dalam rumah. Secepat mungkin menemui Manis. Tatkala aku masuk ke dalam rumah, Manis sudah berdiri, sembari menyelipkan anak rambutnya di belakang telinga, matanya tampak malu-malu memandangku, kemudian dia tampak mengulum senyum.     

Aku langsung menarik tubuh Manis sampai dia jatuh di atas ranjang, kemudian kupandangi wajah cantiknya yang kini sudah berada di bawahku, senyumku mengembang, melihatnya yang tampak malu-malu itu.     

"Sayang, apa kamu tahu, sekarang bukan waktunya kamu untuk malu-malu,"     

Aku langsung melumat bibirnya, dan dengan cepat melucuti pakaiannya. Dan Manis pun melakukan hal serupa. Kukecupi leher jenjangnya yang putih, sampai Manis terus melengkuh, mengcengkeram rambutku dengan sangat kuat.     

"Aku mencintaimu, Sayang. Aku mencintaimu, mencintaimu, mencintaimu...."     

"Aku juga mencintaimu, Arjuna,"     

Aku kembali menenggelamkan wajahku ke dada Manis, kuhirup dalam-dalam aroma khas istriku. Rasanya, ndhak akan pernah merasa puas meski berkali-kali aku mencicipinya, rasanya ndhak akan puas meski setiap hari aku bersamanya. Gusti, semoga ndhak akan ada lagi hal yang membuatku jauh darinya, semoga ndhak ada lagi hal yang membuat hubungan kami hancur. Sebab, aku ndhak akan mampu dengan ujianmu yang satu itu. Aku ndhak akan mampu, dengan perkara yang satu itu.     

*****     

"Jadi, bagaimana? Abang mau menginap di rumahku untuk semalam, kan?" tawar Bima.     

Ini adalah kali ke lima Bima menawariku untuk tinggal. Dan itu benar-benar menyebalkan. Dia ini, rupanya ndhak peka juga, toh. Aku kan butuh waktu berdua dengan Manis. Aku butuh sebuah penyatuan untuk menjajaki cinta kami agar semakin kuat dan dalam.     

"Ayolah, Bang, Ibu dan Ayah sudah lama tidak bertemu denganku. Nanti pasti mereka akan banyak tanya kalau Abang pulang. Aku harus membuatnya sibuk malam ini agar dia tidak banyak tanya, Bang," rengek Bima lagi.     

"Jadi maksudnya, kamu ini ingin mengumpankanku untuk orangtuamu, betul?" tanyaku pada akhirnya. Bima meringis, dan ringisannya itu benar-benar jelek sekali. Untung dia adik iparku, kalau endhak sudah kutusuk-tusuk dia pakai tusukan sate.     

"Kalau Abang mau, nih, Abang minta apa aja sama aku akan aku kabulin, Bang. Asal tidak minta aku gantung diri atau pisah dari Rianti saja,"     

"Ck!" decakku. Lihatlah Rianti itu, langsung mengsam-mengsem ndhak jelas, kayak bagus saja senyumnya itu. Bisa-bisa dia jadi besar kepala karena ucapan dari Bima. "Ya sudah, ini terpaksa. Ini bukan berarti aku membantumu karena aku adalah Kangmas dari Rianti. Akan tetapi, aku ini membantumu karena kamu adalah kawanku. Anggap saja seperti itu, karena aku ndhak mau melihat salah satu orang yang ada di sini jadi besar kepala dan berpikir ndhak-endhak lagi,"     

"Siapa yang Kangmas maksud, aku?" selorohnya. Dia benar-benar, mulutnya itu, lho. Pengen kulempar dengan sempaknya Suwoto.     

"Besar kepala sekali, kamu? Memangnya kamu pikir, yang ada di dalam mobil ini cuma ada kamu? Kita ini berempat."     

"Tapi Kangmas jelas-jelas bilang kalau Kangmas ndhak mau membuatku besar kepala, toh. Itu jelas sekali kalau Kangmas menghinaku?"     

"Ih, kurang kerjaan benar aku menghina perempuan hina sepertimu."     

"Kangmas!"     

"Istriku sayang, nanti malam selepas kita bercakap dengan orangtua Bima, kita harus kelon (bercinta) lagi yang banyak, ya. Keluarkan desahan-desahan mautmu yang menggoda itu."     

"Kangmas, kamu ndhak tahu kalau di sini ada Abimanyu? Apa jangan-jangan kamu sengaja mengatakan itu agar Abimanyu mendengarnya?" marahnya lagi kepadaku.     

"Cih! Ndhak usah berlagak suci, kayak kamu ndhak pernah nganu-nganu dilihatin Abimanyu saja. Asal kamu tahu, Abimanyu sudah cerita semua kepadaku!" seruku ndhak mau terima.     

Wajah Rianti tampak memerah, dia ingin marah tapi dia sudah merasa kalah. Aku kembali tersenyum, rasakan saja, perempuan jelek. Aku akan membuatmu ndhak bisa berkata apa-apa lagi bahkan sampai kamu bersujud di kakiku sembari berkata kalau kangmasmu ini adalah pemuda yang paling ndhak bisa dikalahkan di seluruh dunia.     

"Memangnya Abimanyu bilang bagaimana, Bang?" tanya Bima pada akhirnya, rupanya Bima cukup penasaran juga.     

���Tidak, tidak bilang apa-apa, rahasia," jawabku.     

Bima langsung mencibir, tapi aku ndhak mempedulikannya. Memilih fokus di balik kemudi sampai kami sampai di rumah Bima.     

Saat kami turun, aku agak terkejut dengan apa yang terjadi di rumah Bima. Ada orang-orang berpakaian serba hitam berdiri berjejer, lima di bagian kanan, lima di bagian kiri. Orang-orang itu berdiri dengan sangat tegap. Aku sampai ndhak tahu, untuk apa mereka berdiri seperti itu? Apa kaki mereka ndhak lelah terus berdiri seperti itu sepanjang waktu?     

"Mereka itu kalau bahasa Abang adalah abdi dalem keluargaku, Bang," kata Bima, yang rupanya dia paham, jika aku sedikit merasa canggung dengan keberadaan orang-orang itu.     

Seendhaknya, kalau abdi di tempatku lebih manusiawi. Mereka ndhak pernah berdiri dengan seperti itu. Bahkan kurasa, abdi-abdiku ndhak ada itu yang merasa teraniaya atau melakukan pekerjaan yang benar-benar berat. Apa jangan-jangan aku terlalu baik kepada abdiku makanya mereka ndhak ada takut-takutnya denganku?     

"Ayo masuk, Bang, jangan sungkan," ajak Bima lagi.     

Aku pun mengangguk. Jujur aku ndhak begitu kaget dengan rumah megah, nan mewah milik Bima. Sebab bagaimana pun, aku sudah beberapa kali berada di sini. Hanya saja, aku menjadi merasa canggung sekarang tatkala melihat ada hal-hal yang aneh di sini. Seolah-olah, Bima ini adalah putra mahkota dari sebuah kerajaan, dan orang-orang yang berdiri tanpa gerak seperti reco (patung) itu adalah pengawal Bima yang patuh. Dan melihat dari sisi ini, aku pun cukup takjub dengan Bima. Dengan kekayaan yang sebanyak itu, dia bahkan sama sekali ndhak pernah merasa sombong.     

Aku merasa seperti semut di sini, benar-benar kecil dan merasa jika aku ini benar-benar manusia yang berasal dari kampung. Seolah, tingkat kesetaraan kami benar-benar telah berbeda jauh.     

"Bima?!"     

Langkahku terhenti, tatkala Bunda dari Bima memanggil nama putranya, kemudian dia berlari, memeluk putranya dengan sangat erat. Tangis itu pun terpecah. Aku ndhak bisa membayangkan, bagaimana ekspresi Biung dan Romo waktu itu, waktu Rianti dan Bima kembali ke rumah. Pasti, ekspresinya ndhak kalah jauh dari ekspresi orangtua Bima ini.     

"Kamu ini ke mana saja? Apa kamu tidak tahu bagaimana Bunda, dan Ayah memikirkanmu? Terlebih, saat ada Nak Arjuna datang ke sini untuk mencarimu. Kamu ini...," marah Bunda Bima, sambil memukul tubuh putranya dengan pelan. "Tega sekali membuat Ayah, dan Bunda cemas!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.