JURAGAN ARJUNA

BAB 252



BAB 252

0Akhirnya, aku pun kalah dengan Rianti. Duduk seperti manusia paling ndhak berguna sedunia raya. Karena Manis langsung ditarik paksa untuk masuk ke kamar bersama dengan Abimanyu, sementara aku ditendang dengan cara ndhak manusiawi di sini.     

Lagi, aku mendengus, sembari bertopang dagu di dalam gubug yang dibuat oleh Paklik Junet tepat di tengah-tengah kebun depan rumahku. Padahal, sedari perjalanan pulang aku sudah membayangkan, betapa bahagianya diriku bisa bertemu dengan Manis kemudian kami menikmati hari-hari yang panjang bersama. Mumpung dia libur, mumpung aku ndhak ada kerjaan. Namun nyatanya, sayang seribu sayang, apa yang menjadi angan rupanya ndhak bisa jadi kenyataan. Aku, dengan perasaan yang sangat malang, terdampar di sini sendirian. Duh Gusti, betapa malang nasib makhlukmu yang lucu ini.     

"Wajahmu tampak benar-benar kusut, Bang. Ada apa?" tanya Bima, dia datang menghampiriku, kemudian duduk. Sembari meletakkan sebungkus rokok beserta korek apinya. Kukerutkan keningku, dia tampak tersenyum. "Bertengkar lagi dengan Rianti?" tebaknya, aku hanya mengangguk saja. Dan dia malah tertawa. "Aku benar-benar tidak habis pikir, sepertinya aku baru tahu kali ini jika ada seorang Adik—Abang yang sudah sama-sama dewasa tapi kerjaannya ribut terus. Persis seperti tikus dan kucing,"     

"Mungkin sifat, dan kebiasaan kami yang berbeda. Itu sebabnya selalu membuatnya naik pitam. Padahal, saat kecil dulu, tatkala kami baru saja bertemu, dia adalah seorang adik perempuan yang benar-benar lugu dan imut. Entah sejak kapan itu, sifat menyebalkannya mendarah daging dengan begitu nyata. Bima...," kataku sembari menepuk-nepuk bahu Bima. "Kamu yang sabar, ya. Kamu pasti tekanan batin menikah dengan perempuan yang lebih mirip seperti nenek lampir itu,"     

Dan lagi-lagi, Bima kembali tertawa mendengar ucapanku, sepertinya perkataanku seolah menjadi perkara yang sangat lucu untuknya. Kukerutkan keningku, perlahan tawa itu memudar, berganti dengan senyuman yang penuh arti. Ada apa? Apakah dia mengenang hal-hal romantisnya bersama dengan Rianti dulu? Jika iya, maka aku ndhak mau mendengar. Untuk apa mendengarkan hal romantis Rianti, toh faktanya, dia ndhak pernah memberiku kesempatan untuk berbuat romantis kepada istriku sendiri.     

"Aku tahu, Bang Arjuna pasti lebih paham tentang sifatnya dibandingkan denganku. Namun demikian, jujur, di balik sifat menyebalkannya itu, dia benar-benar sangat lucu," jawab Bima mantab.     

Aku hanya mencibir, lucu? Rianti lucu? Dilihat dari mananya Rianti itu lucu? Bahkan dilihat dari monas dengan menggunakan teropong pun Rianti ndhak ada lucu-lucunya sama sekali. Yang ada, semakin dilihat, semakin Rianti membuat sakit mata.     

"Ya, meski begitu dia tetap adikku. Jangan pernah sakiti, dan jangan sampai membuat dia menangis. Kamu harus janji itu kepadaku, Bim," kubilang pada akhirnya.     

Bima mengangguk, kemudian dia kembali menghela napas panjang. Seolah-olah tengah memikirkan sesuatu.     

"Jujur, Bang, saat ini aku benar-benar bingung...," katanya. "Di sisi lain, ada sebuah tanggung jawab dari Ayah, di mana aku harus melanjutkan usahanya yang dia rintis dari enol. Ayah sepertinya sudah kualahan dengan berbagai tekanan dari pihak-pihak yang ingin menggeser kedudukannya di perusahaan. Aku tahu, jika Ayah memang belum bisa disebut tua, tapi biar bagaimanapun, zaman telah berubah. Dia berdiri sendiri dengan tekanan dari banyak pihak, pasti lama-lama dia akan tumbang. Terlebih sekarang, kesehatan Ayah sudah mulai terganggu. Tapi di sisi lain...," kata Bima terhenti, kemudian dia menundukkan wajahnya dalam-dalam. Aku tahu, sejatinya jika hatinya saat ini sedang bergejolak, dengan pikiran-pikiran yang benar-benar di luar batas kemampuannya. Antara dilema, dan bimbang, harus mengambil keputusan seperti apa. "Tapi di sisi lain, bisa terjun pada sebuah perkebunan terlebih bisa menciptakan suatu tanaman yang kuat adalah hal yang benar-benar membuatku senang, Bang. Aku merasa, seperti menemukan jati diriku sendiri. Terlebih, aku bisa melihat jika Rianti lebih nyaman dan damai jika dia tinggal di desa. Aku benar-benar bisa melihat bagaimana dia selalu menyunggingkan seulas senyum, saat dia melihat hijaunya kebun yang membentang luas di depan mata. Aku ingin selalu memberinya hal terbaik, Bang. Dan hal terbaik itu adalah, memberinya sebuah kehidupan seperti apa yang dia inginkan."     

"Bima bisa aku memberi saran kepadamu sebagai seorang Kangmas?" tawarku, Bima langsung menoleh, kemudian dia mengangguk dengan senyuman simpulnya. "Sebagai seorang anak, wajib bagimu untuk berbakti kepada orangtua. Terlebih, saat ini orangtuamu memang benar-benar membutuhkanmu. Pun dengan apa yang kamu impikan untuk memberi kehidupan yang diinginkan Rianti, keduanya benar-benar ndhak ada yang salah sama sekali. Namun demikian, Bima. Untuk saat ini, menjadi egois bukanlah hal yang harus kamu prioritaskan. Sebagai seorang laki-laki, sebagai seorang yang mendapatkan tanggung jawab atas keputusanmu yang mana pun itu, bukankan mengambil langkah dan memilih yang bagimu lebih membutuhkanmu saat ini adalah hal yang terbaik? Masalah perkebunan Romo, kamu ndhak usah khawatir, ada aku dan Romo yang akan mengurusnya. Kamu, jika ingin membuat bibit-bibit unggul lagi sesuai dengan mimpimu kamu bisa melakukannya, kan? Kamu bisa melakukannya di rumahmu, atau aku akan membuatkan lahan yang dekat dengan rumahmu. Dengan begitu, kamu bisa menjalankan hobi yang kamu gemari, sejalan dengan pekerjaan di perusahaan. Dan setelah tanaman siap tanam, nanti orang-orangku yang akan memgambilnya untukku. Dan masalah keinginan Rianti...," kataku terputus, aku kembali menepuk-nepuk bahu Bima sekadar untuk menguatkan hatinya. "Kamu bisa merubah rumahmu seperti rumah di Kemuning, toh. Jika kamu tidak punya halaman depan yang luas, kamu bisa pakai halaman belakang, halaman samping, atau bahkan atap, untuk membuat sebuah kebun kecil untuk Rianti, agar tatkala dia bangun tidur dia bisa melihat hijaunya pemandangan seolah dia berasa di Kemuning. Sama halnya seperti kebun ini, aku sengaja membeli sepetak tanah kosong di depan rumah agar tatkala Manis melihat saat bangun tidur, dia bisa melihat hijaunya pepohonan, dan warna-warni bunga. Setidaknya, mereka akan merasa nyaman, dan merasa segar dari penatnya menggeluti kehidupan yang mungkin sangat jenuh. Kamu tahu lah, pekerjaan yang benar-benarnya membuat jenuh, penat serta melelahkan adalah sebagai ibu rumah tangga. Yang kita lakukan banyak, dari bangun tidur sampai mau tidur lagi, dan yang lebih para dari itu adalah, setiap hari selalu berada di rumah, ndhak bisa melihat dunia luar. Itulah penatnya. Jadi sekali-kali, ajak dia jalan-jalan, biar dia ndhak jenuh, dan berikanlah dia sedikit kesibukan lain, agar dia ndhak merasa penat."     

"Masukan dari Abang benar-benar berguna sekali, Bang. Dengan ini juga aku bisa mantab untuk menjalani pilihanku. Ya, meski aku tidak akan menampik jika nanti, aku akan sering ke Kemuning. Entah kenapa berada di sana aku merasa telah kembali pulang."     

"Lantas jika kamu merasa seperti itu, bagaimana ceritanya kamu bisa menghilang selama bertahun-tahun lamanya. Bisa kamu jelaskan itu kepadaku, Adhimas Bima?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.