JURAGAN ARJUNA

BAB 246



BAB 246

0"Mereka itu baik, Romo...," kata Ningrum lagi, seolah dia hendak meyakinkanku jika benar anak-anak nakal yang berandalan itu baik. "Sebenarnya, ada alasan mereka melakukan ini. Sebelumnya hubungan kami sangat baik. Mereka adalah kakak kelasku, dan kami sering berdiskusi barang dua hal. Akan tetapi, pada suatu saat, ada seorang pemuda yang merupakan kakak kelas kami itu, kebetulan pemuda tersebut adalah pemuda paling bagus (ganteng) di sekolah, yang disukai oleh salah satu kakak kelasku itu. Dan pemuda itu...," kata Ningrum kembali terputus. "Dan pemuda itu malah sengaja mendekatiku. Jadi, kakak kelasku ini merasa jika aku telah menusuknya dari belakang. Di saat dia bercerita perkara betapa dia suka dengan pemuda ini, eh dia lihatnya aku dan pemuda ini dekat. Jadi, dia salah paham, Romo. Dia jadi berpikir yang macam-macam. Apalagi tatkala pemuda itu bilang kalau ada hati denganku. Di situlah mulai dari hal-hal seperti ini. Aku terus-terusan menjadi bahan amarah dari kakak kelasku itu sampai sekarang."     

Aku diam beberapa saat untuk mencerna ucapan dari putriku, jadi rupanya, yang ku anggap sebagai ketua ndhak lain adalah, dia telah jatuh hati kepada pemuda yang kebetulan pemuda itu secara sengaja apa endhak bilang suka kepada putriku? Aku jadi penasaran dengan pemuda itu.     

"Romo ndhak peduli, bagaimana hal ini bisa terjadi. Karena salah paham atau endhak, yang jelas perbuatan mereka sudah sangat keliru, dan Romo paling ndhak suka kalau putri semata wayang Romo sampai diperlakukan seperti ini."     

"Tapi—"     

"Kamu istirahatlah, aku menyuruh tiga kawanmu untuk menemanimu di sini. Romo mau kembali ke sekolahmu dulu."     

Setelah itu, aku bergegas kembali ke sekolah Ningrum. Di sana rupanya sudah sepi. Aku yakin, jika rapat wali murid itu sudah dimulai sekarang. Dan benar saja, tatkala aku masuk ke dalam sebuah gedung yang ukurannya cukup besar, semua orangtua mulid sudah ada di sana. Berkumpul jadi satu, dan mereka tampak menatapku dengan pandangan bingung mereka. Kuembuskan lagi napasku, kemudian aku memilih untuk duduk di kursi yang kebetulan kosong. Kulirik, di luar lima murid tadi sudah berdiri dengan rapi beserta salah satu guru yang ada di sana, seolah-olah murid itu sudah siap untuk diadili.     

"Juragan—"     

"Benar aku sangat marah dengan mereka, akan tetapi, jika kalian mengadilinya dengan cara seperti ini kurasa ini sedikit berlebihan," kataku kepada salah satu guru laki-laki yang tengah menyapaku. Guru itu tampak menebarkan pandangannya, kemudian dia kembali menunduk dan memandang wajahku.     

"Berlebihan bagaimana, Juragan?"     

"Yang para guru dan wali murid bahas hari ini adalah sikap ndhak bagus dari para murid yang sering melakukan kekerasan kepada murid lainnya, toh? Lantas, kenapa lima murid nakal itu berdiri berjejer di depan ruangan ini?" tanyaku kepada guru itu, dari papan namanya, guru itu bernama Agus.     

"Kami hanya memberi efek jera kepada mereka, Juragan. kami ingin mereka menjadi contoh untuk para wali murid, agar memberikan efek jera kepada mereka, Juragan,"     

Aku tersenyum kecut mendengar hal itu, kemudian aku menarik pundak guru itu agar dia ikut duduk di sampingku. Kebetulan, kursi sampingku masih kosong. Sebab sedatangku di sini, semua orang tampak benar-benar aneh melihat ke arahku, seolah-olah aku ini makhluk asing yang terdampar di ruangan ini.     

"Itu ndhak akan pernah menjadi penyelesaian masalah yang baik dan benar. Lantas, tujuan apa yang hendak para guru sampaikan dengan menjadikan mereka contoh? Apa karena aku ada di sini, lantas kalian takut, makanya kalian menindak sampai seperti ini? Apa kalian ndhak berpikir mental mereka tatkala harus dilihat oleh banyak orang dewasa, dan dengan dijuluki sebagai contoh dari anak nakal yang telah menyakiti dari siswa lainnya. Itu adalah perkara yang sangat buruk. Jadi, kalau ingin menyelesaikan masalah putriku, yang aku inginkan bukan di depan banyak orang seperti ini. Tapi cukup di ruangan yang ada ke lima murid tersebut, semua guru, dan beserta orangtua dari lima murid tersebut."     

"Baik, Juragan—"     

"Aku akan keluar, menunggu kalian di luar saja. Kalau kalian sudah selesai, urusannya baru denganku."     

Aku langsung keluar, tapi sebelumnya aku melihat orang-orang yang ada di sana berbisik-bisik sembari terus melihat ke arahku.     

"Sebenarnya, semua wali murid yang melihat Juragan di sini itu mereka semuanya merasa aneh dengan Juragan...," kata Pak Agus lagi, aku menoleh ke arahnya, bingung. Apa yang aneh dariku? Aku ini manusia, lho, bukan lelembut. "Untuk ukuran seorang seumuran Juragan, terlebih wajah Juragan yang tampak awet muda, mereka mengira Juragan ini datang ke sini bukan karena menjadi salah watu wali murid. Akan tetapi, Kangmas dari salah satu wali murid yang ada di sini. Seperti ndhak masuk akal begitu, Juragan, laki-laki semuda Juragan punya anak yang sudah sekolah menengah atas,"     

Aku tersenyum mendengar penuturan itu, benar-benar sangat lucu sekali. Kenapa bisa mereka berpikiran seperti itu, toh.     

"Aku sama sekali ndhak bisa berkata-kata mengenai hal ini...," jawabku pada akhirnya. "Mungkin saja, wajah rupawanku ini terlalu disayangkan untuk menjadi tua, itu sebabnya Gusti Pangeran ndhak memberiku wajah tua."     

Pak Agus tampak terkekeh, kemudian kami pun berjalan keluar. "Omong-omong, memangnya Juragan ini usianya berapa, toh? Ada empat puluh tahun? Pasti belum ada, toh? Masih kepala tiga, benar?" tanyanya.     

Aku kemudian ndhak menjawabi pertanyaan itu, tapi kutepuk bahu Pak Agus berkali-kali. "Bukankah untuk menjadi seorang Romo itu ndhak peduli kita umur berapa? Tapi mental dan kesiapannya saja."     

Pak Agus kemudian tertawa, lalu dia pun mengangguk. "Menikah di usia berapa, Juragan?" tanyanya lagi.     

"Yang jelas setelah lulus kuliah," kujawab.     

"Lho, kuliah jurusan apa, Juragan?" tanyanya semakin tertarik. Aku langsung meliriknya sekilas, kemudian berjalan mendahuluinya. "Aku pikir Juragan ndhak perlu kuliah, cukup mengurusi perkebunan yang banyak itu, toh. Lha Juragan saja sudah kaya raya. Sepertinya, tanpa pendidikan pun uang Juragan ndhak akan ada abisnya."     

"Ucapanmu itu benar, Pak Agus. Tapi, ucapanmu juga keliru...," kataku pada akhirnya. Dia mengerutkan keningnya, seolah ndhak paham dengan apa yang kukatakan. "Faktanya, zaman sekarang ini adalah semakin maju. Setiap dari inovasi, dan pola pikir selalu berkembang setiap waktu. Terlebih, orangtuaku bukanlah orangtua yang kolot dan buta ilmu. Bagi mereka, pendidikan itu nomor satu. Dan setelahnya adalah bonus. Terlebih bagiku, semakin banyak ilmu semakin banyak juga ilmu pengetahuan serta pengalaman yang kita dapatkan. Jadi, sangat akan menyenangkan jika menjadi seorang yang kaya harta, juga kaya ilmu. Bukankah seperti itu?" tanyaku. Pak Agus langsung tersenyum, seolah dia benar-benar menyetujui ucapanku.     

"Juragan Arjuna benar-benar pemuda panutan semua orang. Aku baru tahu, jika ada laki-laki yang usianya masih sangat muda, akan tetapi pemikirannya benar-benar sangat matang seperti ini. Jarang benar, ada orang yang berpikir sampai sejauh ini, Juragan. Jadi, pantas kalau Juragan telah menjadi sukses dan sebesar ini."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.