JURAGAN ARJUNA

BAB 244



BAB 244

0Pagi ini aku agaknya sudah rapi, tengah bersiap untuk pergi ke Purwokerto. Ya, tempat di mana anak perempuanku sedang menuntun ilmu di jenjang sekolah menengah atas. Sebenarnya, banyak sekali pilihan yang kuberikan kepadanya dari deretan nama kota di Jawa Tengah, atau pun di Jakarta. Namun mau bagaimana lagi, katanya dia ingin bersekolah di tempat yang menjadi kenang-kenangan keluarga. Di mana lagi kalau ndhak di sini.     

Aku berjalan menyusuri lapangan sekolah Ningrum, sembari membenahi kemejaku. Tapi, ada yang aneh di sini. Kenapa semua orang melihat ke arahku? Apakah penampilanku ada yang ndhak jelas? Kurasa aku baik-baik saja, penampilanku juga biasa saja. Ndhak ada yang istimewa juga.     

"Dik, kamu mau mencari adikmu? Bukannya seharusnya ini adalah rapat wali murid?" aku kembali kaget, tatkala mendengar teguran dari seseorang yang baru saja menepuk bahuku.     

Dik, dia bilang? Duh Gusti, memangnya berapa usiaku sekarang sampai tega-teganya dia memanggilku dengan sebutan, Dik.     

Kuperhatikan sosok yang kini sudah berjalan di sampingku, kulihat usianya sepertinya ndhak jauh beda dariku. Kok ya dia bisa memanggilku Dik.     

"Lihatlah, semua orang memandangmu. Hari ini diwajibkan orangtua yang datang. Tapi kenapa seorang pemuda yang datang ke sekolah. Apakah kamu ndhak ingi menjadi salah satu wali murid, dan akan melamar bekerja menjadi seorang guru di sini?" tanyanya lagi.     

Kuembuskan napasku berat, sebab pertanyaannya benar-benar sangat mengangguku. Orang ini benar-benar ndhak tahu sopan-santun. Lebih-lebih, orang-orang dan seisi sekolah yang kebetulan berada di depan sekolah juga ndhak punya sopan-santun. Bagaimana bisa mereka memandangku dengan pandangan yang seperti itu.     

"Omong-omong, ada perkara apa sampai ada pertemuan wali murid mendadak seperti ini, Paklik?" sindirku kepada orang itu. Biarkan saja kupanggil dia Paklik, salah sendiri dia terus-terusan memanggilku, Dik.     

"Ada beberapa masalah yang dialami para siswa, Dik. Lebih-lebih katanya, ada salah satu siswa di sini yang suka diganggu oleh kakak tingkatnya. Entah kenapa alasannya, tapi dari anakku, dia bilang kalau murid itu tinggal di kota ini sendiri, yang jaga hanya seorang abdi dari rumahnya yang ada di kampung. Sampai detik ini anak itu ndhak pernah sama sekali membawa salah satu orangtuanya untuk ke sini. Dan dari kejahilan-kejahilan tersebut, terjadi dengan ndhak terkontrol dan keterlaluan, yang mengakibatkan salah satu guru tahu dan menindak tegas perkara ini."     

Rahangku mengeras mendengar penuturan dari orang ini. Siapa lagi anak yang dimaksud kalau bukan Ningrum, putri semata wayangku.     

Aku langsung bergegas berlari menuju ke arah ruang guru. Jadi, kemarin kenapa dia merengek untuk mengenalkanku kepada kawan-kawannya adalah, untuk membuktikan jika dia memiliki Romo, jika selama ini dia dijahili oleh kawan-kawannya? Jadi, dia meminta untuk izin libur lebih lama karena dia merasa enggan untuk kembali bersekolah lagi karena sering diusili oleh kawan-kawannya? Dan itu, lagi-lagi karena ulahku. Gusti, kenapa? Kenapa aku selalu menjadi masalah bagi orang lain. Kenapa aku selalu saja membuat semua orang menderita? Ndhak adakah barang sekali saja, aku bisa memberikan senyum kepada semua orang? Ndhak bisakah aku memberikan hal itu meski untuk sekali saja?     

"Aaa! Bagus (ganteng) benar Kangmas itu! Gusti!"     

Aku langsung menatap mereka dengan sinis, karena teriakan ndhak jelas mereka. Anak bau kencur, mencoba untuk merayu orangtua, rupanya.     

"Maaf...," kataku, pada salah seorang guru yang baru saja keluar dari sebuah ruangan. Guru itu tampak kaget, matanya melotot, wajahnya kemudian bersemu merah. Sembari membenahi anak rambutnya, dia pun tampak malu-malu. "Bu Guru tahu, di mana kelas dari Ningrum Hendarmoko?" tanyaku kepadanya.     

"Oh, itu.. kelasnya ada di ujung, pas depannya UKS, Kangmas," jawabnya, yang berhasil membuatku mengerutkan kening. Kangmas gundulmu, dasar guru kok seperti itu.     

Aku langsung berlari menuju ke arah sana. Tapi, Ningrum sama sekali ndhak ada di mana-mana. Selain, tatapan aneh anak-anak yang ada di dalam sana. Membuatku kembali berpikir keras.     

"Lho, Paklik! Ada di sini, toh?" sapa salah seorang... kawan Ningrum? Oh ya, aku ingat, mereka kan yang ada di Jakarta kemarin, toh.     

"Aku mencari Ningrum, di mana dia?"     

"Kami juga mencarinya, Paklik. Ndhak ada di mana-mana, dan kami kuatir."     

"Kuatir kenapa?" tanyaku setengah mendesaknya. Aku bisa melihat mimik takut dari kawan-kawan Ningrum itu.     

"Sebenarnya... sebenarnya—"     

"Sebenarnya apa?!" tanyaku dengan nada sedikit lebih tinggi. Kawan-kawan Ningrum tampak menatapku dengan terkejut, membuatku mengusap wajahku dengan kasar. "Sebenarnya selama ini Ningrum sering dijahili oleh kakak tingkat, Paklik. Entah apa alasannya, tapi mereka selalu saja membuat seribu satu cara untuk menjaili Ningrum. Hampir setiap hari kami kelabakan mencari keberadaan Ningrum. Yang akhirnya setiap kami tahu, Ningrum sudah ada di tempat-tempat terpencil di sekolah dengan keadaan yang benar-benar ndhak terduga. Bahkan karena hal itu, Ningrum sering ndhak mengikuti pelajaran. Sehingga nilai-nilainya turun."     

Gusti, apa yang sebenarnya terjadi di sini? Bagaimana bisa aku ndhak tahu tentang hal yang terjadi kepada putriku sendiri. Dan sebenarnya, pekerjaan dari abdi dalem di rumah serta Paklik Junet itu, apa, toh? Apa mereka ndhak pernah bisa melihat keadaan putriku tatkala ada di rumah? Kurang ajar!     

"Eh, kamu kok bisa kenal sama pemuda bagus itu. Siapa?" tanya salah seorang anak sekolahan lainnya sembari menyikut lengan kawan Ningrum.     

"Antarkan aku keliling sekolah," ajakku pada akhirnya.     

Mereka bertiga langsung mengangguk semangat, seolah ajakanku adalah hal yang sangat menyenangkan bagi mereka.     

Dan akhirnya, aku berjalan di belakang anak sekolah itu, menyusuri setiap sudut terpencil dari sekolah ini. Sepertinya aku harus memindahkan anakku ke sekolah lain yang lebih bagus, dari pada tetap berada di sini. Semua gurunya bahkan ndhak ada tanggung jawabnya sama sekali.     

Brak!!     

"Berani kamu sama aku! Siapa kamu! Dasar, kemayu (sok cantik)!"     

Aku langsung memberi aba-aba kepada tiga kawan Ningrum, tatkala sayup-sayup mendengar suara bentakan dari seseorang.     

"Kamu ini ndhak tahu malu! Kamu hanya orang miskin ndhak tahu diri!"     

Aku langsung berjalan ke arah sebuah gudang belakang sekolah. Gudang tua yang bahkan mungkin sekarang sudah dialih fungsikan. Kulihat juga, jarak gudang dan gedung sekolah cukup jauh. Jadi, pantas saja kawan-kawannya ndhak menemukan keberadaan Ningrum.     

"P... Paklik, di sana itu, kabarnya banyak lelembutnya, toh. Angker! Kalau siang sering ada tangisan perempuan, Paklik! Lebih baik ndhak usah ke sana, toh," kata salah satu kawan Ningrum sembari memegang lenganku kuat-kuat, tangannya gemetaran, dan wajahnya pucat pasi.     

"Aku pawangnya lelembut. Kalian ndhak usah takut," jawabku. Langsung berjalan ke arah gudang itu, membuat mereka bertiga langsung berlari menuju ke arahku. Ketiganya saling dempet, dan memegangi ujung kemejaku erat-erat.     

Prak!!!     

Brak!!!     

"Ningrum!"     

Ada lima anak perempuan, berdiri memutar, mereka berlagak layaknya seorang preman. Dan yang ada di tengah adalah Ningrum, mereka terkapar ndhak berdaya, dengan memar-memar, dan deraian air mata.     

Ke lima perempuan itu, memandang ke arahku kaget. Berbeda denganku, yang sudah memandang mereka dengan penuh kebencian yang luar biasa. Aku ndhak akan pernah tinggal diam, atas apa yang telah mereka lakukan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.