JURAGAN ARJUNA

BAB 243



BAB 243

0Pagi ini, kami sarapan dalam diam. Ndhak ada percakapan, palagi gelak tawa dari orang-orang yang biasanya akan kami lakukan di sini. Kulirik satu kursi yang tampak kosong, dengan piring yang masih tengkurap. Dulu, di kursi kosong itu ada sosok angkuh yang selalu ingin dilayani bak ratu. Tapi sekarang, sosok itu telah menghilang. Bukan untuk sembunyi agar aku bisa mencari. Tapi, pergi dengan cara yang abadi.     

"Simbah Widuri sudah Romo beritahu, dan dia juga sudah mengambil pengasihan yang ia tanam di tubuh cucunya...," kata Romo membuka suara. Aku mengangguk menjawabi ucapan Romo, sembari tersenyum sekadarnya. Rasanya benar-benar berat, semuanya tampak begitu berat. "Dan lusa, Romo, dan Biung akan kembali ke Kemuning, Arjuna."     

"Kembali ke Kemuning? Ada apa, Romo? Apa terjadi sesuatu di perkebunan?" tanyaku pada akhirnya.     

Romo tersenyum tipis, dia ndhak langsung menjawabi ucapanku. Karena sibuk memasukkan makanan ke dalam mulutnya, sembari mencari-cari kata yang pas untuknya mengeluarkan suara.     

"Kami ke sini kan niatnya mau berkunjung saja, toh. Karena ada masalahmu waktu itu. Dan berkunjung pun ada waktunya untuk pulang. Benar kami merasa nyaman, tapi biar senyamanpun rumah orang, ndhaklah akan lebih nyaman rumah sendiri meski sederhana adanya."     

Aku tersenyum mendengar ucapan dari Romo. Benar, memang. Senyaman, dan sebagus apa pun sebuah hunian, benar-benar ndhak bisa menggantikan kenyamanan, dan kehangatan dari tempat tinggal kita yang sesungguhnya. Mungkin terkesan sederhana, namun rasanya kita telah memiliki segalanya tatkala kita sudah kembali ke sana.     

"Dan aku, rencananya minggu depan mau kembali ke rumah Abang Bima dulu, untuk setelahnya kami akan kembali ke Kemuning," kini giliran Rianti yang berbicara. Aku, dan yang lainnya hanya mengangguk paham. Mau bagaimana lagi, sekarang Rianti telah memiliki suami. Dan tanggung jawab Rianti, adalah mutlak ada di tangan suaminya. Terlebih Bima, sosok yang sudah jelas bertanggung jawab, dan dapat dipercaya.     

"Aku mau berdiskusi dengan Ayah, Bang. Sebab bagaimanapun, aku adalah anak satu-satunya di keluarga. Terlebih beberapa bulan yang lalu, kata salah satu dari tangan kananku. Ayah sakit, dan perusahaannya tidak terurus. Kalau bukan aku yang mengurusnya, siapa lagi. Saudara-saudaranya, benar-benar tidak bisa diandalkan."     

"Wah, adikku akan menjadi istri dari seorang pemilik perusahaan besar? Pasti dia akan lebih angkuh, dan sombong dari pada menjadi anak dari seorang Juragan Besar."     

Rianti langsung menginjak kakiku, kemudian dia melotot. Sembari membenahi sanggulny yang ketinggalan jaman itu dia pun berkata, "Kangmas itu ndhak usah iri apalagi cemburu. Memang dasarnya takdir dari adikmu ini luar biasa bagus. Ibarat kata, tatkala Biung mengandungku, Biung itu mimpi ketiban ikan emas. Makanya hidupku penuh dengan keberkahan. Lahir dari keluarga terhormat, dan bisa menikah dengan pemuda yang kaya-raya. Sudah, Kangmas ndhak usah iri seperti itu, toh. Kalau Kangmas, kan, pasti dulu Biung mimpinya makan cicak,"     

"Dasar adik sontoloyo, kamu!"     

"Lho, kenyataan, toh? Seluruh hidup Kangmas penuh cobaan, dan ujian. Andai aku bisa menulis cerita, pasti kisah hidup Kangmas bisa dibuat sebuah film layar lebar yang judulnya. Pemuda yang dari lahir sampai dewasa ndhak pernah ada bahagia-bahagianya, kasihan istrinya hidup penuh duka lara."     

"Bicara lagi tak tusuk bibirmu itu pakai garpu!"     

"Coba sini, kalau berani! Aku ndhak takut!"     

"Dasar!"     

"Duh, Bunda dan Ayah Besar ini bagaimana, sih. Sudah besar kok masih bertengkar seperti anak kecil," celetuk Abimanyu yang berhasil membuatku, dan Rianti diam.     

Semua orang yang ada di sana langsung tertawa, karena ucapan dari Abimanyu itu. sementara aku dan Rianti, masih saling melotot satu sama lainnya.     

"Usiamu berapa, toh, Le? Pandai benar kamu berkata sepedas itu kepada orangtua?" tanyaku pada akhirnya.     

"Empat tahun!" jawabnya semangat.     

Aku kembali mengerutkan keningku. Empat tahun? Kemudian, pandanganku teralih kepada Bima, dan Rianti.     

"Jadi, Dik Rianti langsung hamil?" selidikku. Bima tampak diam sembari menggaruk tengkuknya. Aku sama sekali ndhak paham, bagaimana bisa untuk ukuran seorang yang saling benci akan bisa langsung membuat anak dan langsung hamil seperti itu? Jadi, bagaimana proses mereka membuatnya? Apa tatkala mereka sedang ndhak sadarkan diri?     

"Sudahlah, Arjuna... apa yang kamu bingungkan dari proses menetasnya keponakan bagusmu itu? seharusnya kamu bahagia, adikmu bisa cepat-cepat memiliki anak. Kok ya malah bertanya yang endhak-endhak."     

"Bukan begitu, Romo... hanya saja aku bingung, bagaimana prosesnya? Masak ya ada, bertengkar kok ya kelon (bercinta) itu, lho."     

"Kangmas!"     

"Arjuna!"     

Dan aku langsung dilempar mulai dari kain lap, sendok, bahkan makanan. Baik Biung, Rianti, dan Juga Manis langsung melotot ke arahku. Salahku apa, Gusti? Kenapa aku bisa dimarahi oleh semua orang yang da di sini?     

"Ada anak kecil bicara ndhak sopan. Lagi pula, kamu itu seorang Juragan. Gemar bernar berbicara ndhak sopan di depan banyak orang. Apa kamu ndhak pernah belajar tata bicara, dan tata tingkah laku selama kamu hidup menjadi seorang Juragan?"     

Dasar Rianti, paling pintar kalau menggurui soal perkara ini. kuembuskan napasku, tapi Biung, juga Manis masih melotot ke arahku. Sepertinya, mereka masih sangat marah. Dan aku ndhak tahu, letak salahku di mana.     

"Iya, iya... aku minta maaf," kataku mengalah. Iya aku mengalah, aku minta maaf. Tapi aku masih ndhak terima dikalahkan oleh Rianti. Awas saja kalau dia macam-macam lagi. Aku punya seribu satu cara untuk balas dendam kepadanya.     

"Bima, beritahu kepada istri tersayangmu ini. Kalau bicara mbok ya di jaga. Jangan asal mangap saja. Aku ini kangmasnya, loh."     

"Dia tidak salah, Bang. Aku rasa semua yang diucapkan oleh Rianti adalah benar."     

Bagai ndhak punya kawan, mereka semua mendukung Rianti. Aku langsung memilih diam, kemudian makan dalam diam.     

"Permisi, Juragan. Maaf mengganggu," kata Paklik Sobirin. Aku menoleh, tumben benar ada abdi dalem yang berani mengganggu tatkala kami sedang makan bersama seperti ini.     

"Ada apa, Paklik? Bicaralah," kataku pada akhirnya.     

"Ndoro Ningrum, meminta Juragan Arjuna lusa untuk datang ke sekolahnya, ada rapat untuk wali murid, Juragan."     

Aku menganggukkan kepalaku, kemudian menyuruh Paklik Sobirin untuk kembali ke tempatnya. Kemudian, aku mengerutkan kepalaku. Ada apa? Tumben benar ada rapat wali murid kok sampai harus aku sendiri yang datang? Padahal biasanya, yang ke sana adalah Paklik Junet.     

"Kamu bisa ikut aku lusa?" tanyaku pada Manis pada akhirnya.     

"Ndhak bisa, Kangmas. Kuliah sedang genting-gentingnya."     

Mendengar hal itu aku kembali mengangguk. Ndhak apa-apa, aku bisa menitipkan Manis kepada Rianti, juga Suwoto untuk beberapa hari di sini. Aku mau kembali ke Kemuning dulu kemudian datang ke sekolah Ningrum. Aku benar-benar penasaran, ada apa dengan anak perempuanku itu. Ndhak ada apa-apa, toh? Semuanya baik-baik saja, toh? Gusti, kenapa aku jadi gampang risau seperti ini, toh? Apa ini perkara Widuri yang masih menganggu alam sadarku?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.