JURAGAN ARJUNA

BAB 241



BAB 241

0Biung diam, dia ndhak menjawab ucapanku sama sekali. Aku hanya bisa tersenyum getir. Rasanya, aku telah menjadi lancang, karena telah menggurui dan memarahi biungku seperti ini. Pun seolah memaksanya untuk memilih. Sebab sejatinya, aku juga tahu. Jika cinta yang ditawarkan oleh kedua romoku adalah di waktu yang berbeda. Cinta mereka ndhak pernah sama. Meski, untuk Romo Nathan telah memendam lama rasa cinta itu di dalam lubuk hatinya.     

Hanya saja, aku benar-benar ndhak ingin, setiap kali Biung mengingat Romo Adrian kemudian dia menjadi sangat egois, dan melupakan untuk menjaga hati seseorang yang ada di sisinya. Hanya itu saja, aku ingin Biung tahu tempat dan kondisi. Jika sekarang ndhak lagi sama. Jika Romo Adrian telah lama tiada. Jadi, bukankah lebih baik, cinta itu seharusnya dipendam di hatinya saja? Cukup dia, dan Gusti Pangeran yang tahu segalanya.     

"Bukan... bukan seperti itu, Arjuna. Sungguh, kamu telah keliru menilai Biung. Biung mencintai Romo Nathan dengan tulus, dan sepenuh hati Biung. Akan tetapi, untuk urusan ini Biung benar-benar ingin bertemu dengan Romo Adrianmu, meski untuk sekali. Sekali saja Biung ndhak apa-apa. Biung hanya... Biung hanya ingin mengucapkan salam peripisahan Biung kepada Romo Adrian. Biung hanya ingin menyampaikan salah terakhir Biung kepada Romo Adrian. Satu-satunya hal yang Biung ndhak pernah bisa lakukan sampai sekarang. Satu-satunya hal yang selalu membuat dada Biung sesak. Kenapa... alasan apa sampai romomu memilih untuk pergi, di saat Biung telah mengandung kamu. Apa kamu pernah berada di posisi Biung, Arjuna? Tatkala kamu kehilangan orang yang sangat kamu cintai bahkan tanpa ada kata perpisahan sedikit pun. Tatkala malam itu kamu masih bersamanya, tatkala malam itu kamu masih bisa duduk berdua dan berbincang dengannya, tatkala malam itu kamu masih bisa mengelus rambutnya, dan memeluk tubuhnya. Tapi, di malam itu juga, di malam itu juga, kamu harus kehilangan dia dengan cara tiba-tiba. Apa kamu pernah merasakan rasanya jadi Biung?"     

Aku langsung memeluk tubuh Biung, kucoba untuk tenangkan tubuhnya yang bergetar hebat. Biung menangis dalam dekapanku, dan itu karena ucapanku yang telah menyakiti hati Biung. Aku merasa benar-benar keliru, atas apa yang ada di dalam hati Biung. Rasanya andai bisa, ingin sekali aku menarik semua ucapanku, karena aku benar-benar ndhak tahu jika semuanya malah akan seperti ini.     

"Maafkan aku, Biung. Maafkanlah anak ndhak bergunamu ini. Maafkan aku," kataku yang terus kuulang-ulang.     

Tapi, Biung masih diam, aku ndhak tahu apa arti diamnya itu. Apakah Biung marah kepadaku, atau Biung sedang menata hatinya. Aku benar-benar ndhak tahu.     

"Ndhak usah kamu hakimi biungmu lagi. Bahkan aku ndhak peduli seberapa penting artiku di dalam hatinya. Aku ndhak peduli jika selama ini aku hanya menjadi pelampiasan cintanya. Yang kupedulikan hanyalah, aku bisa bersama biungmu, aku bisa memiliki biungmu, dan aku bisa memberikan apa yang kurasakan kepada biungmu. Itu semua sudah cukup. Ndhak perlu aku tahu perihal yang sangat rinci itu, sebab sejatinya aku yakin... bersama biungmu, aku sudah bahagia. Dan aku ndhak mau lancang, untuk meminta lebih dari itu."     

Tubuhku menegang, tatkala Romo Nathan mengatakan hal itu. Dan setelahnya, Biung tampak menggelengkan kepalanya, kemudian dia melepaskan pelukanku. Lalu, dia memeluk tubuh Romo Nathan semakin erat.     

"Endhak... bukan seperti itu. Kita sudah bersama puluhan tahun, apa kamu masih ndhak mempercayaiku? Kita sudah pernah tahu rasanya terpisah, kita sudah pernah merasakan arti dari cemburu. Dan pada masa terpisah itu, aku pun sudah lama merenung akan arti hadirmu di sisiku. Jadi, kamu jangan pernah merasa keliru, Kangmas. Sebab kenyataannya benar-benar ndhak seperti itu,"     

"Romo... Biung, maafkanlah aku," kataku pada akhirnya. Aku benar-benar ndhak mau, hubungan mereka menjadi ndhak enak karenaku. Mereka sudah melalui banyak hal, dan hanya karenakulah hubungan mereka semakin renggang, aku ndhak mau sampai itu terjadi. "Aku sama sekali ndhak ingin pembahasan yang lalu terulang-ulang dan membuat kalian menjadi jenuh, sungguh. Hanya saja, mungkin aku yang terlalu picik, sehingga menilai hanya sebelah pihak tentang apa yang terjadi dulu. Jadi, aku mohon, maafkan aku,"     

Romo Nathan menghela napasnya, kemudian dia tersenyum ke arahku. Menepuk punggungku dengan lembut.     

"Aku juga ndhak mau jika Romo Adrian, seolah-olah menjadi duri di antara hubungan kalian. Itu sama saja, membuat Romo yang ada di alam sana benar-benar ndhak tenang. Aku hanya ingin, di usia kalian ini, kalian bisa hidup bahagia, hidup penuh cinta, dan menikmati hari tua kalian dengan bahagia. Itu saja, ndhak lebih. Sebab yang diingkan Romo Adrian adalah itu, bisa melihat kedua orang yang terpenting dalam hidupnya bisa bahagia, bisa merasakan cinta sampai ujung masa hidup mereka."     

Mendengar itu, Biung pun tersenyum simpul, kemudian dia mengenggam erat tanganku.     

"Jika nanti kamu bertemu dengan Romo Adrian lagi, sampaikan kepadanya, bahwa dia ndhak perlu mencemaskan Biung. Dia ndhak perlu takut bagaimana nanti Biung. Sebab, dia telah mengirimkan orang yang tepat untuk menjaga Biung. Bilang kepada romomu, kalau Biung sudah bahagia, dan pengorbanannya ndhak sia-sia. Bilang kepada romomu—"     

"Dari pada Biung menitipkannya denganku, bukankah seharusnya Biung mengatakannya langsung," kubilang, Biung, dan Romo Nathan mengerutkan keningnya, ndhak paham dengan apa yang telah aku ucapkan.     

"Maksudmu apa, Arjuna?" tanya Romo Nathan pada akhirnya.     

"Dia... ada di sana. Romo Adrian, ada di sana," kataku, sembari menunjuk sudut ruangan. Di sana sosok Romo Adrian, dan Eyang Kakung Marji tampak berdiri, dengan senyum hangat mereka. "Biung dan Romo Nathan bisa mengatakan semuanya di tempat peristirahatan Romo Adrian. Kalian ditunggu di sana. Romo ingin kalian kunjungi,"     

Lagi, mendengar hal itu Biung langsung menangis. Dia langsung memeluk tubuh Romo Nathan dengan sangat erat. Tangisannya terpecah, tapi aku sama sekali ndhak tahu lagi harus berbuat apa selain berkata jujur kepada mereka.     

"Terimakasih, Arjuna... terimakasih, Putraku," kata Romo Nathan, dan Romo Adrian secara bersamaan.     

Aku ndhak bisa berbuat apa-apa selain tersenyum, sebab melihat tangisan Biung, sepertinya aku telah melakukan kesalahan besar. Bukan melakukan hal yang luar biasa sampai harus diucapkan oleh terimakasih oleh semua orang.     

"Jadi sekarang aku tahu, jika selama ini Romo Adrian rindu dengan kalian. Itu sebabnya, Romo sering berkunjung ke rumah. Untuk sekadar melihat keadaan kalian. Apakah kalian selama ini jarang berkunjung ke makam Romo Adrian?" tanyaku pada akhirnya.     

"Hampir setiap bulan, biungmu berkunjung ke makam Romo Adrian. Tapi mungkin di sana, biungmu ndhak banyak bicara. Itu sebabnya, apa yang dipendam dalam hati masih saja tampak menyesakkan dada. Sekarang Romo paham, sejatinya maksud dari Romo Adrian adalah, jika dia rindu kepada kami, rindu agar kami bisa bercerita dengannya. Rindu agar kami bisa berbagi suka dan duka dengannya. Ya, Romo Adrian ingin hal semacam itu."     

"Maka lakukanlah, Romo... sebab bagaimanapun, kita ndhak akan pernah tahu bagaimana berartinya seseorang sebelum dia kehilangan orang itu untuk selamanya."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.