JURAGAN ARJUNA

BAB 237



BAB 237

0Ciit!!!     

Brak!!!     

Tubuhku rasanya seperti dihantam petir, aku mematung melihat kejadian yang ada di depanku. Widuri, sambil menggendong kucing itu berdiri, memandangi mobil truk yang melaju dengan kecepatan tinggi. Tubuhnya ndhak bergerak, bahkan saat truk itu terus menekan klakson untuknya bisa cepat-cepat pergi dari sana. Namun sayang, karena truk ndhak bisa lagi mengendalikan kecepatannya, akhirnya tubuh Widuri dihantam begitu saja oleh truk itu. Dan aku... dan aku... hanya bisa melihat tangan Widuri melambai seolah ingin meminta tolong, tapi setelah itu tangan itu terkulai begitu saja di tanah.     

Gusti... apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi? Kejadian mengerikan di depan mataku terjadi dengan begitu cepat dan tanpa ada kuasa aku untuk bisa mengubah semuanya.     

"Ndoro Manis!"     

Aku langsung menoleh, Manis telah ambruk setelah melihat kejadian itu. Dadaku terasa sesak, mataku terasa panas, aku benar-benar ndhak tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Sementara Paklik Sobirin langsung memuntahkan isi perutnya. Dan orang-orang yang mengetahui kejadian itu berkerumun untuk memastikan apa yang terjadi, untuk melihat bagaimana kondisi dari korban tabrakan itu.     

"Juragan...," tegur Suwoto, aku hampir ambruk, tubuhku panas dingin, dan bergetar hebat. Tapi, Suwoto dengan sigap memapahku. Kupandang dia dengan mata nanarku, kupandang Manis yang sudah dibawa oleh abdi dalem lainnya ke dalam rumah. "Juragan ndhak apa-apa? Jika Juragan ndhak kuat lebih baik Juragan masuk ke dalam rumah saja."     

"Siapa... siapa yang menyuruh truk itu lewat di depan rumah? Bukankah seharusnya ndhak ada kendaraan besar lewat komplek rumah kita, toh?" tanyaku pada akhirnya.     

Suwoto diam, dia sendiri mungkin ndhak tahu, bagaimana bisa ada banyak kendaraan akhir-akhir ini lewat di kompleks rumahku.     

"Jalan raya di depan, sedang ada pohon tumbang beberapa jam yang lalu, Juragan. Jadi, kendaraan-kendaraan yang ndhak sabaran mencari jalan mana yang mungkin bisa untuk dilewati agar bisa cepat sampai di tujuan,"     

Kuusap wajahku dengan kasar, bahkan saat ini aku benar-benar ndhak tahu, apa yang harus kulakukan sekarang. Semuanya sangat membingungkan.     

"Antarkan...," kataku pada akhirnya kepada Suwoto. "Antarkan aku ke sana. Aku mau melihat keadaan Widuri, Suwoto. Bagaimana keadaannya? Apa dia baik-baik saja? bagaimana dengan bayinya, Suwoto?"     

Gusti, aku harap dia baik-baik saja. Aku harap bayi yang ada di perutnya juga baik-baik saja. Sebab rasanya, aku benar-benar merasa bersalah jika sesuatu terjadi kepadanya.     

Suwoto diam, seolah dia ndhak berani mengatakan apa pun kepadaku. Dan hal ini malah semakin membuatku resah.     

"Antarkan aku, Suwoto! Apa yang sebenarnya terjadi!" bentakku kepadanya. Karena aku tahu persis, dia adalah orang pertama yang berlari melihat kondisi Widuri tepat setelah kecelakaan itu terjadi.     

"Juragan ndhak usah ke sana...," katanya pada akhirnya. "Widuri... Widuri telah meninggal, Juragan. Korban dengan kondisi seperti itu ndhak mungkin selamat, Juragan."     

"Kondisi seperti itu apa maksudku, Suwoto?!"     

"Tubuhnya tergencet ban truk, Juragan. Bahkan tubuhnya sudah ndhak utuh lagi. sementara perutnya... kondisi perutnya pun sama,"     

Mendengar hal itu aku nyaris limbung, tapi cepat-cepat kukumpulkan tenagaku untuk melihat kondisi Widuri dengan kedua mataku sendiri. Meski terseok, aku terus berjalan menuju tempat kejadian perkara. Sembari membelah kerumunan orang yang sudah ada di sana. Bisa kulihat dengan jelas, untaian gaun itu tampak terkoyak di tanah, dengan darah yang menutupi warna aslinya. Aku ingat dengan jelas, betapa bahagia Widuri tatkala aku membelikannya tadi pagi untuknya. Bahkan dia bilang, jika gaun itu adalah gaun yang paling disukainya. Aku masih ingat dengan jelas, tatkala dia bilang ingin memakai gaun itu untuk makan malam romantis bertiga. Namun kenapa... namun kenapa semua ini harus terjadi?     

Kupejamkan mataku tatkala tahu bagaimana kondisi tubuh Widuri, bahkan yang tersisa seolah hanya bagian dada ke atas. Mata Widuri tampak terbuka, dengan llidah yang menjulur keluar. Kubantu mata itu agar terpejam, kemudian kutundukkan wajahku. Bahkan, bayiku yang ada di perutnya, aku benar-benar ndhak bisa tahu di mana jasadnya. Semuanya benar-benar hancur. Hancur sehancur-hancurnya.     

"Widuri, rencana apa lagi yang hendak kamu lakukan kepadaku ini? Bukankah kamu sendiri yang mengajakku serta Manis untuk pergi malam ini? Pergi makan malam romantis bertiga. Tapi kenapa kamu pergi, Widuri? Kenapa?!" aku benar-benar hancur. Hancur bukan berarti aku merasa telah jatuh hati dan kehilangan Widuri, endhak... endhak sama sekali. "Aku bahkan baru saja ingin memaafkanmu, dan mulai menerima bayi yang ada di dalam perutmu itu adalah anakku. Aku baru saja ingin berdamai dengan takdir sialan yang dulu hampir menghancurkan rumah tanggaku. Tapi sekarang apa? Sekarang tatkala aku sudah mau mulai menerima semuanya, kejadian seperti ini datang lagi, datang lagi dengan cara yang bertubi-tubi. Lantas... lantas, apa yang harus kukatakan kepada simbahmu, Widuri, apa?!"     

"Juragan, sabar... Juragan," Suwoto, terus mencoba untuk menenangkanku. Sampai akhirnya, polisi dan ambulan datang, untuk menyelesaikan kejadian di sini.     

Aku, dan Suwoto diajak oleh polisi, untuk sekadar memberikan keterangan, sebab kebetulan kami adalah salah satu orang yang ada di sana saat kejadian itu. Aku hanya berdoa kepada Manis agar dia ndhak terpukul dengan kejadian ini, dan aku hanya bisa berharap kepada Gusti Pangeran, seendhaknya, untuk membuat Widuri dan bayinya tenang di surga loka. Semoga mereka bisa bahagia, dari pada di sini bersamaku mereka terus merasa tersiksa. Ndhak aku akui, dan selalu saja kumaki-maki. Gusti, kenapa setiap kali aku mengingat akan hal itu, rasa bersalah terus saja bergelayut manja di hatiku.     

"Aku benar-benar merasa berdosa, Suwoto. Selama ini, aku selalu berkata kasar dan memakinya, bahkan terus-terusan menyumpahinya juga bayi yang ia kandung mati. Apakah ini... apakah ini adalah jawaban dari Gusti Pangeran? Tatkala aku telah mulai memaafkannya, Gusti Pangeran menamparku dengan sumpah serapah yang dulu kulakukan kepadaya. Suwoto, seharusnya aku ndhak perlu mengatakan itu, toh?"     

"Juragan, ndhak ada yang perlu disesali sama sekali. Sedih, boleh, tapi menyesal jangan. Andaikan pun toh, Widuri masih hidup pada nantinya. Ndhak akan menutup kemungkinan jika dia akan berulah lagi. Terlebih setelah dia merasa telah memiliki anak darimu, Juragan. Sebab bagaimanapun, bagi saya, Juragan. Dalam sebuah hubungan laki-laki dan perempuan, ndhak ada yang namanya bahagia bertiga, menjadi kawan, dan akan hidup rukun selamanya. Bahkan, istri dua saja ndhak mungkin bisa rukun, apalagi orang ketiga itu pada dasarnya melakukan kecurangan di awal. Yang ada hanya, mereka hanya akan saing menyakiti, sampai pada saat salah satu di antaranya mengangkat kedua tangan dan menyerah. Mungkin, ini salah satu jawaban dari doa Juragan Arjuna, jika hal terbaik adalah dengan terus bersama dengan Ndoro Manis. Tanpa harus memasukkan perempuan luar mana pun untuk membuat seolah kalian bisa baik-baik saja tatkala bertiga."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.