JURAGAN ARJUNA

BAB 240



BAB 240

0"Kangmas?!"     

Aku langsung kaget, saat suara lirih Biung terdengar. Pandangan matanya, benar-benar tertuju kepada Romo Adrian. Pun juga sama, Romo Adrian ndhak sekalipun berkedip melihat ke arah Biung. Apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah Romo Adrian saat ini bukanlah sosok nyata? Atau... apakah jangan-jangan Biung melihat Romo Adrian juga?     

Aku lirik lagi, Romo Adrian, dia tersenyum dalam diamnya. Tatapannya sendu, dan penuh cinta. Bahkan mata itu tampak berkaca-kaca. Aku ndhak bisa melihat hal lain pada dirinya, selain hanya Biung saja. Aku ndhak bisa melihat hal lain pada dirinya, selain perasaan cinta. Cinta yang tulus, cinta yang dewasa, dan cinta yang penuh lemah-lembut serta penuh pengertian. Apa benar ini cinta Romo Adrian? Jika benar, aku benar-benar ndhak bisa lagi untuk menggambarkannya. Cinta yang tampak begitu dewasa, dan ndhak egois. Cinta yang selalu senantiasa melindungi, dan selalu menjaga sepanjang waktu.     

"Ada apa, Sayang? Kenapa kamu memanggilku?"     

Dan tatkala Romo Nathan datang, sosok Romo Adrian tiba-tiba langsung menghilang. Biung yang masih terdiam di tempatnya, hanya bisa menjatuhkan buliran air mata pilunya. Sampai saat Romo Nathan merangkul bahu Biung, untuk sekadar menyadarkan Biung dari kediamannya.     

"Oh, ndhak...," kata Biung, menghapus air matanya, untuk kemudian dia tersenyum ke arah Romo Nathan. Aku benar-benar ndhak tahu harus berbuat apa, aku benar-benar ndhak mengerti situasi macam apa ini. Sebab aku sendiri benar-benar merasa dilema. Apa benar untuk ukuran seseorang bisa menyimpan dua nama di hati mereka tanpa ada satu pun yang menjadi rendah, dan tinggi? Apa benar kedudukan keduanya akan benar-benar sama? Apa benar itu ada dan nyata? Sebab kurasa, dalam perkara hati, sampai mati pun ndhak akan pernah ada satu manusia yang mampu bersikap adil. "Rantangku... rantangku jatuh, Kangmas," lanjut Biung, yang berhasil membuatku melangkah mendekat ke arah mereka.     

"Romo, Biung...," sapaku. Romo Nathan tanpa banyak bicara langsung berjongkok, kemudian dia memugut semua yang telah dijatuh. Romo Nathan memang sangat jauh berbeda dengan Romo Adrian, dari segi perlakuan, sikap, dan tutur katanya. Namun demikian, aku bisa melihat dengan sangat jelas jika cinta dari Romo Nathan ndhak kalah berbeda dengan Romo Adrian, meski cara menunjukkannya ndhak serupa. Melihat seperti ini, entah kenapa hatiku sangat sakit. Melihat hal ini membuatku berpikir, jika sejatinya apa yang telah diucapkan oleh Widuri adalah benar. Sangat ndhak mungkin sama sekali ada dua orang dalam kehidupan, dan hati orang lain, jika salah satunya ndhak ada yang terluka. Entah terluka karena perasaannya sendiri, atau sekadar tahu diri, jika sejatinya hati benar-benar adalah tempat yang mustahil untuk dibagi. "Kalian ada apa ke sini? Bagaimana dengan keadaan Manis, dan Paklik Sobirin? Apa mereka baik-baik saja?" tanyaku pada akhirnya.     

"Manis masih benar-benar terpukul dengan kejadian yang dialaminya. Terlebih, kejadian itu terjadi di depan matanya. Romo benar-benar ndhak bisa membayangkan bagaimana jadi dia. Oh ya, bagaimana kondisi Widuri?" tanya Romo kepadaku. Aku masih diam, kemudian kulirik mimik wajah Biung yang tampak gelisah itu.     

"Masih ruang jenazah, Romo. Jika ingin, Romo bisa melihatnya. Oh ya, Romo... aku diberi pesan untuk diambil susuk pengasihan yang ada dirinya. Mungkin Simbah Widuri bisa membantu sebelum mayatnya dikuburkan dengan layak."     

Romo Nathan tampak mengangguk paham menjawabi ucapanku, kemudian dia mengelus bahu Biung dengan lembut. "Aku mau melihatnya dulu," pamitnya.     

Dan kini tinggallah aku berdua dengan Biung, kami benar-benar saling diam. Seolah-olah kami ndhak tahu harus mengatakan apa pada situasi seperti ini.     

"Apakah kamu sering melihat romomu, Arjuna?" tanya Biung pada akhirnya.     

Napasku terasa tercekat, ludahku mendadak kering. Bahkan untuk sekadar bernapas pun aku benar-benar merasa susah. Aku benar-benar ndhak tahu, jawaban apa yang harusnya kuberikan kepada Biung. Semua benar-benar terasa mustahil.     

"Aku baru tahu dari Paklik Marji, jika sejatinya romomu memiliki kelebihan. Trah pertama laki-laki dari darah Hendarmoko, memiliki kelebihan. Itu sebabnya mereka mendapat abdi yang mengerikan seperti Suwoto. Mereka lebih peka dari yang lainnya, mereka bisa melihat dan merasakan apa yang manusia lainnya ndhak bisa lihat, dan rasakan. Apa tebakan Biung itu benar?" tanyanya lagi.     

Kuhelakan napasku berat, kupandang langit-langit rumah sakit yang kini tampak temaram. Entah, aku harus menjawabnya seperti apa. Aku benar-benar ndhak tahu.     

"Arjuna...."     

"Dulu waktu kecil, benar memang aku bisa merasakan hal-hal yang aneh. Tapi aku ndhak bisa melihat lelembut, Biung. Hanya saja, setelah kejadian di hutan dengan Minto dulu, dan tatkala aku bertemu dengan Suwoto, aku semakin sering melihat sosok-sosok aneh. Juga sering bertemu dengan... Romo,"     

Biung lantas langsung memelukku, kemudian tangisannya terpecah. Dia terus-terusan menyebut nama Romo Adrian. Kulirik berkali-kali arah lorong di mana Romo Nathan pergi, aku benar-benar ndhak mau jika Romo Nathan mendengar hal ini, aku benar-benar ndhak mau jika Romo Nathan akan salah paham dan hancur karena ini.     

"Kenapa kamu ndhak bilang kepada Biung, Arjuna. Kenapa kamu ndhak bilang kalau kamu sering bertemu dengan sosok romomu, kenapa?!" Biung memukul-mukul dadaku, tapi aku benar-benar ndhak bisa berbuat apa-apa lagi. "Kamu tahu, toh, Biung rindu romomu. Biung benar-benar sangat rindu."     

"Biung, tenanglah, Biung. Aku mohon," kataku mencoba menenangkan Biung. "Dengan Biung seperti ini, ini sama saja dengan Biung menyakiti hati Romo Nathan. Apa Biung ndhak juga paham? Dengan Biung bersikap seperti ini, itu sama saja jika Biung mengnancurkan hati Romo Nathan. Apa Biung benar-benar ndhak bisa mengerti tentang ini, Biung? Apa benar Biung ndhak kasihan dengan Romo Nathan? Dia...," kataku sambil menunjuk lorok yang gelap gulita itu, "adalah laki-laki yang telah berkorban banyak untuk Biung. Dia, adalah laki-laki yang bahkan menerima Biung apa adanya, mencintai Biung tanpa syarat. Dia... adalah laki-laki yang bahkan mau menerima Biung, tatkala dia tahu jika di hati Biung telah terbagi, jika di hati Biung telah ada orang lain selain dirinya. Dan bahkan mungkin, jika dia telah mengira jika dirinya hanyalah pelampiasan Biung semata."     

"Bukan... bukan seperti itu, Arjuna, kamu salah paham."     

"Aku ndhak salah paham, Biung. Sebab sejatinya, aku benar-benar ndhak percaya ucapan atau pun teori perkara hati bisa menyimpan dua nama di ruang yang berbeda. Aku ndhak percaya jika hati akan bisa bersikap adil kepada dua nama yang ada di dalamnya. Sebab, Gusti Pengeran pun telah mengatakan, sampai kapan pun hati adalah satu-satunya tempat yang ndhak akan pernah bisa untuk berbagi. Hati, ndhak akan pernah bisa adil dalam urusan cinta, dan rasa, Biung."     

"Arjuna—"     

"Jika... jika andai kata, Romo Adrian masih hidup. Akankah segalanya akan berubah? Jika seandainya keduanya masih belum berikatan dengan Biung, maka siapa yang akan Biung pilih? Romo Nathan, atau Romo Adrian?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.