JURAGAN ARJUNA

BAB 235



BAB 235

0Sore ini aku ada janji dengan Manis, untuk menemainya berbelanja keperluan rumah. Ningrum sudah kembali ke sekolahnya, jadi ndhak bisa kuajak dia untuk jalan-jalan sekarang.     

"Jadi kita jalan berdua? Pacaran, toh?" kataku, keluar dari kamar sembari menggandeng tangan Manis. Tapi, dia tampak menggelengkan kepalanya, dan hal itu berhasil membuatku bingung. Kenapa dia menggeleng seperti itu? Apa maksudnya dia hendak membawa Paklik Sobirin, atau Bulik Amah untuk ikut serta?     

"Lantas, kita akan berangkat bersama siapa? Apa kamu hendak mengajak salah satu Paklik atau Bulik yang berada di sini?" tanyaku pada akhirnya.     

Lagi, Manis menggeleng, sembari mengulum senyum. Jangan-jangan, dia mau mengajak Abimanyu, atau Rianti, atau malah orangtuaku?     

"Lantas siapa yang akan kamu ajak, Sayang? Bukankah kita berencana untuk pacaran hari ini?"     

"Siapa yang bilang kita akan pacaran, toh, Sayang," kata Manis. Dia kemudian berjalan mendekat ke arah kamar Widuri, kemudian mengetuknya. Sampai si empunya kamar pun keluar. Dahiku semakin berkerut, tatkala melihat Widuri, dia memakai pakaian bagus, sembari membawa sebuah dompet. Mau ke mana perempuan satu ini? Bahkan dia rela untuk berhenti dari pekerjaannya menjadi dokter di salah satu rumah sakit, karena memilih untuk tinggal di sini. Dan setelah berbulan-bulan dia ndhak keluar sama sekali, sekarang dia malah berpakaian seolah dia hendak mau pergi saja.     

"Jadi, Kangmas. Kita ndhak pergi berdua. Jadi kita pergi bertiga," kata Manis pada akhirnya.     

"Apa, bertiga? Maksudnya?" tanyaku yang semakin bingung.     

Manis merengkuh lenganku sebelah kanan, kemudian Widuri merengkuh lenganku sebelah kiri. Dengan kasar aku menepis lengan Widuri, tapi semakin kuat pula rengkuhannya. Apa-apaan perempuan satu ini, ndhak lihatkah jika aku sedang bersama dengan istriku? Kenapa dia begitu lancang sekali!     

"Ndhak usah pegang-pegang! Aku jijik dipegang olehmu!" bentakku. Tapi, seperti biasanya, Widuri adalah perempuan paling tebal muka sedunia. Dia bahkan ndhak merasa tersindir sekalipun, yang ada hanya dia malah semakin merengkuh lenganku dengan sangat erat.     

"Ndhak usah jijik, toh, Kangmas. Lha wong kita akan pergi bertiga,"     

"Bertiga? Maksudmu, bertiga dengan perempuan ndhak jelas ini?" tanyaku untuk memastikan.     

Manis mengangguk semangat, kemudian dia merengkuh lenganku dengan manja. Senyumnya tersungging dengan sangat cantik, seolah-olah dia sangat bahagia jika suaminya digandeng dengan dua perempuan sekarang. Duh Gusti, kepalaku benar-benar terasa sakit karena mereka berdua.     

"Lagi pula, tujuan kita belanja juga untuk Widuri, Kangmas."     

"Hah?"     

Apa maksud dari Manis? Aku benar-benar ndhak paham dengan ucapan Manis yang benar-benar ndhak jelas ini.     

"Iya, kita belanja untuk Widuri dan calong jabang bayinya, Kangmas."     

"Duh Gusti, aku ndhak mau. Lebih baik kalian berangkat sendiri. Biar Paklik Sobirin atau Ucup yang mengantarkan kalian," putusku pada akhirnya.     

Aku hendak mundur, tapi dua perempuan itu langsung menarikku paksa untuk keluar rumah.     

Sementara Rianti, yang tahu kejadian itu malah tertawa terbahak-bahak, seolah-olah aku menjadi bulan-bulanan dua perempuan kejam ini adalah perkara yang sangat membahagiakannya.     

"Duh... duh... duh, Juragan Arjuna! Senang banget, toh, punya dua istri. Rukun-rukun lagi, rahasianya apa, toh, Juragan? Bikin iri saja, toh!"     

Benar, toh, dia mau meledekku. Lihat saja kalau aku sudah pulang nanti, akan aku buat perhitungan kepada perempuan lampir satu itu.     

"Duh... duh—"     

"Diam, kalau kamu terus bicara akan kulempar kotoran kerbau, kamu!" marahku kemudian.     

"Hiii takut!" bantahnya sembari memeluk dirinya sendiri seolah dia benar-benar ketakutan. Aku hendak melemparnya dengan sendalku, tapi dia langsung menutup pintu kamar dari dalam dengan rapat-rapat. Awas saja dia. Nanti kalau sudah pulang, aku akan benar-benar memberi perhitungan kepadanya, sampai dia kapok dan ndhak berani lagi untuk mengataiku seperti itu.     

Terlebih, tumben benar kedua orang ini rukun? Widuri, dan Manis, rukun? Ada apa?     

"Kenapa kalian tampak rukun?" tanyaku, tatkala kami sudah berada di perjalanan. Dan benar saja, aku seperti supir. Manis ndhak mau duduk di depan, dia memilih duduk di belakang bersama dengan Widuri. Benar-benar menyedihkan sekali hidupku ini rupanya.     

"Mau bagaimana lagi, kita bertengkar pun tidak akan mengubah keadaan. Dan tidak ada kemajuan apa pun. Jadi kurasa, rukun adalah hal terbaik. Toh pada akhirnya, aku juga akan menjadi istrimu, dan anakku akan menjadi putra pertamamu yang akan mendapatkan warisan paling besar di antara anak-anakmu yang lainnya. Iya, kan?"     

Kuputar bola mataku, sembari melirik ke arah Manis yang tampaknya mengulum senyum. Sepertinya aku benar-benar sedang dikerjai oleh mereka berdua. Benar-benar sangat menyebalkan sekali, toh.     

"Siapa yang mau menikahimu? Jika aku harus terpaksa menerima anak yang ada di perutmu itu, bukan berarti aku harus menikahimu. Pulang saja ke rumahmu setelah kamu melahirkan. Atau, asuh dan besarkan bayimu juga. Jika kamu mau tinggal pun terserah, tidak ada yang peduli. Tapi perkara menikah, jangan pernah berharap. Sebab itu hanya mimpi!"     

"Aku—"     

"Sudahlah, hentikan, Manis. Aku sudah ndhak ingin berdebat perkara masalah ini. Dan aku juga benar-benar ndhak berniat untuk menambah istri. Satu saja, sudah cukup. Aku ndhak mau istri lagi. Paham?"     

Widuri agaknya cemberut, sementara Manis agaknya tertawa karena ucapanku. Tapi aku ndhak peduli, kepalaku benar-benar pusing jika terus dipaksa untuk menikah lagi. Punya istri satu saja, rewel, dan repotnya benar-benar di luar nalar manusia. Apalagi punya istri banyak. Aku juga heran, kenapa banyak benar laki-laki yang begitu gemar mengoleksi istri. Apakah mereka pikir, burungnya bisa masuk ke banyak lubang adalah suatu kebanggaan? Toh, lubang perempuan mana pun rasanya tetap sama. Malah-malah, menambah masalah dan sakit kepala saja memiliki istri lebih dari satu. Aku benar-benar ndhak bisa membayangkan jika benar aku memiliki istri yang lebih dari satu, tatkala semuanya kebutuhan lahir batin harus diberikan dengan cara adil, dan merata. Bisa-bisa aku mati muda, karena terus dipaksa melayanin hasrat perempuan-perempuan dengan cara bergantian. Kenapa, aku malah merinding membayangkan tatkala hal itu terjadi.     

"Jadi kita ini mau ke mana dulu?" tanyaku pada akhirnya, membuang jauh-jauh pikiran kotorku. Karena aku benar-benar ndhak mau memikirkan hal yang mengerikan itu lagi.     

"Kita ke toko baju, Kangmas. Sudah lama Widuri ndhak berbelanja. Pakaian yang dipakai juga itu itu saja. Sepertinya, seharusnya kita harus menemaninya berbelanja dan jalan-jalan untuk sekadar melepas penat."     

"Apa itu harus? Jika dia butuh bukankah seharusnya dia bisa membelinya sendiri? Kenapa kita harus repot-repot mengantarkan? Bahkan aku harus merekalakan untuk ndhak melakukan semua pekerjaanku hanya karena menemani Widuri belanja. Benar-benar ndhak jelas sama sekali,"     

Tapi, aku pun menepi juga. Mencari salah satu toko pakaian yang kiranya saat ini sudah buka. Untuk kemudian aku diam di tempat, dan mempersilakan mereka berdua untuk berbelanja berdua. Sebab, aku benar-benar ndhak akan mau melakukannya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.