JURAGAN ARJUNA

BAB 234



BAB 234

0"Memangnya jumlah dari semua mainan itu berapa? Bahkan mainan satu tokomu ini saja mampu aku bayar saat ini juga," ketusku kepada si pemilik toko. "Kamu punya telepon, kan? Jangan sampai kamu cukup miskin untuk tidak punya sebuah telepon," ejekku lagi.     

Si pemilik toko pun langsung mengajakku masuk ke dalam kemudian aku segera memberitahu Paklik Sobirin untuk segera datang dan membawa mainan-mainan Abimanyu. Awalnya, Abimanyu menolak sebab dia mau membawa semua mainan itu bersamanya. Dengan sedikit rayuan akhirnya sebuah solusi tercapai. Paklik Sobirin sembari membawa mainan-mainan itu, mengikuti kami ke kampus dulu untuk menjemput Manis.     

Memang benar-benar, anak kecil sangat unik. Berpisah dengan mainannya saja, bahkan seperti berpisah dengan kekasih hatinya.     

"Juragan, apa ini benar-benar ndhak apa-apa?" tanya Paklik Sobirin, sembari melihat mobil yang dia bawa penuh dengan mainan. Aku mengulum senyum, pasti nanti orang-orang mengira jika Paklik Sobirin adanag Abang-Abang penjual mainan keliling. "Masalahnya, nanti orang rumah ndhak ada yang marah, Juragan? Mainan sebanyak ini, lho. Bahkan kita bisa membuka toko dan menjualnya lagi mainan-mainan ini," katanya kemudian.     

Aku tahu maksud dari Paklik Sobirin, pasti dia takut jika Romo, Biung, dan orangtua Abimanyu akan marah. Karena mereka merasa aku terlalu memanjakan anak yang bahkan sudah tertidur pulas ini. karena telah membelikan mainan sebanyak ini. Tapi, mau bagaimana lagi, aku baru saja bertemu dengannya setelah sekian lama, bahkan aku saja ndhak tahu berapa pasti usia keponakanku sekarang ini. Jadi, aku ndhak salah, toh jika aku membelikan mainan ini? Hitung-hitung mainan ini adalah penebus mainan-mainan yang ndhak bisa kubelikan kepadanya selama ini.     

"Paklik tahu balai kerjaku ada satu sekat ruang yang cukup besar, toh?" tanyaku kepada Paklik Sobirin, dia mengangguk kuat-kuat pertanda paham. "Nanti tatkala aku masuk ke dalam rumah, semua orang pasti akan melihat Abimanyu. Tugas Paklik adalah, sembunyi-sembunyi memasukkan semua mainan ini ke dalam balai kerjaku. Paham?"     

"Paham, Juraganm" setelah Paklik Sobirin mengatakan itu, kami pun langsung menuju ke Universitas Manis. Dan ndhak menunggu waktu lama, Manis rupanya sudah berada di parkiran.     

"Paklik kenapa ada di sini juga?"     

"Iya, Ndoro. Saya diutus Juragan untuk membawa mainan dari Juragan kecil," jawab Paklik Sobirin dengan sopan.     

Manis tampak mengerutkan keningnya, dia melihat ada Abimanyu yang sudah tidur lelap di jok belakang sambil memeluk sebuah mobil-mobilan truk. Dan di sekitarnya sudah ada beberapa mainan. Namun, agaknya Manis langsung kaget tatkala melihat mobil Paklik Sobirin, yang bahkan dari dalam, dampai atas mobil itu penuh dengan semua maninan.     

"Duh Gusti, itu benar-benar mainan Abimanyu? Itu mau beli mainan untuk dibuat main atau dijual lagi, toh?" tanyanya yang agaknya bingung.     

Paklik Sobirin menggerak-gerakkan matanya kepadaku, seolah ingin mengadu kepada Manis, jika semua ini karena ulahku.     

"Kangmas yang membelikan semua ini? Nanti Romo, dan Biung pasti akan marah, Kangmas. Mainan ini terlalu—"     

"Sudah... sudah, ayok masuk. Kalau kamu terus mengomel, nanti Abimanyu akan bangun," kataku memotong ucapannya, memaksanya untuk masuk dan menyuruh Paklik Sobirin untuk jalan terlebih dulu. "Sayang, aku hanya ingin menyenangkan Abimanyu, bukan untuk membuatnya manja. Lebih-lebih, aku membelikannya mainan bukankah baru pertama kali ini? Aku ndhak bisa melihatnya tatkala masih di kandungan, aku ndhak bisa melihatnya waktu dia dilahirkan, aku ndhak bisa menggendongnya tatkala dia kecil dulu. Dan sekarang, untuk sekali saja, apa aku ndhak boleh membelikannya mainan? Anggap saja mainan-mainan itu adalah mainan yang kuberikan kepadanya dari dia lahir sampai sekarang,"     

Manis menghela napas panjang, kemudian dia mengangguk-anggukan kepalanya. "Aku tahu, apa yang Kangmas maksudkan. Pun denganku, sebenarnya sama juga seperti Kangmas. Rasanya, ingin sekali menebus waktu yang ndhak bisa kulalui untuk berada di sisi Rianti, dan untuk sekadar mengurus keponakanku satu-satunya. Namun ndhak seberlebihan seperti ini juga, Sayang. Hmm, tapi ya mau bagaimana lagi, toh. Semuanya sudah terlanjur. Nanti-nanti jangan seperti ini, ya? Dari pada membelikannya mainan sebanyak ini, bukankah lebih baik kita bisa memenuhi hal yang lainnya yang lebih manfaat."     

"Iya—"     

"Aku tahu, jika sejatinya Bima sendiri sangat berkecukupan dalam hal materi. Leb-lebih Romo hendarmoko, tapi ndhak ada salahnya toh jika kita ikut serta untuk memberikan yang terbaik untuk Abimanyu?"     

"Iya, Sayang, iya... aku nurut. Aku janji ndhak akan seperti ini lagi, ya," rayuku. Manis kemudian tersenyum, kemudian mengangguk. Dia memandang ke belakang, melihat ada tiga buah bola kecil berwarna-warni, jika dipencet bola itu berbunyi.     

"Aku minta satu, ya, Kangmas," katanya.     

"Untuk apa? Kamu mau mainan seperti anak kecil ini?"     

Dia agaknya menggeleng, kemudian dia kembali tersenyum simpul kepadaku. "Bukan untukku...," katanya terputus. "Tapi untuk anakmu. Jabang bayi yang ada di perut Widuri. Kamu membelikan banyak mainan ini untuk Abimanyu, pasti Widuri sedih hatinya, karena satu pun ndhak kamu pikirkan untuk membelikan mainan untuk calon anakmu."     

Aku menghela napas mendengar ucapan Manis ini, semua rasa bahagiaku seketika menjadi tawar.     

"Untuk apa, toh? Usia kandungannya juga belum enam bulan. Masa lahirnya masih lama. Kita bisa membelikannya nanti-nanti, kan? Toh kata Biung juga, sebelum mendekati persalinan, ndhak boleh sekali untuk membelikan barang-barang."     

"Kenapa seperti itu, Kangmas?"     

"Ya, ndhak tahu. Aku tahunya itu dulu tatkala Bulik Amah hendak membelikan hadiah kepada Bulik Sari yang saat itu baru hamil lima bulan. Katanya ndhak ilok alias ndhak baik. Karena takutnya, bayi itu lahir sebelum waktunya, atau malah dia gugur dan ndhak jadi lahir ke dunia. Entah itu benar apa endhak, tapi bukankah kita seharusnya mengikuti tradisi orangtua?"     

Manis kembali mengangguk, kemudian membawa tiga bola kecil itu. Senyumnya tercetak simpul, namun aku tahu jika ada kesedihan tercetak jelas pada bola matanya.     

"Nanti, kita akan membeli banyak mainan untuk anak kita," ucapku. Dia langsung menoleh, kemudian dia mengangguk kuat, bibirnya memang tersenyum. Namun air matanya langsung meleleh begitu saja di kedua pipi.     

Manis, percayalah, nanti kita pasti akan memiliki buah hati. Saat ini memang aku tampak terlihat diam, karena aku ingin fokusmu ndhak bercabang. Kuliah yang benar, jika sampai nanti tatkala kamu lulus kuliah kita masih belum mendapat keturunan, aku akan menggunakan berbagai cara agar aku bisa mendapatkan keturunan darimu. Apa pun itu, pasti aku akan tempuh dengan senang hati.     

Kuusap air mata Manis, kemudian kucium tangannya. Dia memandangku sembari diam, memerhatikan setiap apa yang kulakukan.     

"Sekarang fokus pendidikanmu. Setelah itu barulah kita fokus tentang masalah lainnya, ya. Sudah... sudah ndhak usah sedih dan berkecil hati. Mungkin saat ini kita belum diberi kesempatan memiliki momongan bukan berarti ada yang salah dari kamu. Bisa saja Gusti Pangeran tahu, karena kamu sudah cukup sibuk dengan semua hal yang kamu lalui. Jadi, Gusti Pangeran ingin melihatmu agaknya santai dulu. Aku janji, akan bekerja keras untuk kita."     

"Kerja keras?" tanyanya, yang sekarang kesedihannya berganti dengan sebuah senyum jenaka.     

"Ya jelas, bekerja keras di atas ranjang," bisikku kemudian.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.