JURAGAN ARJUNA

BAB 233



BAB 233

0"M... mau apa kamu?!"     
0

Aku masih berjongkok di depan Abimbanyu yang saat ini sedang duduk di atas ranjangku, aku tersenyum memerhatikan wajah mungilnya. Aku ndhak menyangka, jika aku akan memiliki seorang keponakan setengil ini. Masih kecil saja sudah seperti ini, apalagi kelak tatkala dia dewasa? Bisa-bisa dia akan memiliki mulut pedas seperti Romo juga Rianti.     

"Matamu bagus seperti bundamu," kubilang, sembari memerhatikan mata bulatnya. Seednahknya, keturunan dari Rianti ndhak memiliki mata kecil sepertiku, pun seperti Romo. "Tapi bentuk hidungmu sama sepertiku, garis wajahmu juga sepertiku. Dari pada menjadi anak dari ayahmu, bukankah kamu ini lebih cocok sebagai anakku?"     

"Tidak mau, cih!" marahnya. Dan itu berhasil membuatku kaget. Anak kecil ini. "Enak saja! Aku tidak mau! Ketampanannku ini kuperoleh dari Ayah, dan Bunda. Bukan dari siapa pun, apalagi dari orangtua jelek sepertimu,"     

Duh Gusti anak ini, dia belajar menjelek-jelekkan martabat orangtua yang sangat berkarisma sepertiku dari siapa? Apa dia ndhak tahu siapa aku ini? Apa jangan-jangan dia sudah diracuni Rianti untuk membenci Pakdhenya sendiri? Jika iya, maka aku ndhak akan segan-segan untuk mencuci otak anak ini dan kubuat dia berbalik membenci bundanya sendiri.     

"Orangtua jelek? Kamu tidak tahu siapa aku ini?"     

"Siapa yang peduli siapa kamu!" bentaknya, agaknya aku kaget dengan ucapannya yang ketus itu.     

"Oh, oke... kamu mau menjadi musuhku? Tidak masalah, jadi aku tidak perlu pergi ke toko robot dan mobil-mobilan untuk membelikan bocah tengik mobil-mobilan," aku hendak berjalan pergi. Tapi Mata Abimanyu mendengar kata mobil-mobilan itu tampak bersinar terang. Sepertinya, jebakanku sudah mengenai sasaran.     

"Mobil-mobilan?"     

"Tentu, di Jakarta ada toko mobil-mobilan paling besar, semua macam mobil-mobilan ada, sepeda ada, dan mainan apa pun ada."     

"Serius? Mobil-mobilan yang bisa dinaikin ada? Yang pakek remot ada?" semangatnya. Sepertinya sekarang dia sudah lupa, kalau niatnya sedari awal adalah membenciku.     

"Jangankan mobil yang ada remotnya dan bisa dinaikin. Mobil bisa terbang, dan dibuat kemana-mana saja ada."     

"Serius? Kamu mau pergi dengan siapa? Kapan?"     

"Kenapa kamu tanya seperti itu?" tanyaku, berjalan kembali ke arahnya sembari mendekat. Kumainkan alis tebalku, dan itu berhasil membuat wajahnya tampak masam.     

"Aku—"     

"Padahal aku hendak mengajak anak laki-laki yang bernama Abimanyu ikut. Tapi, sayang sekali. Dia tidak menyukaiku. Jadi lebih baik aku pergi sendiri saja."     

Aku berjalan ke arah pintu, tapi tangan kecil itu langsung menarik ujung bajuku. Membuatku mengulum senyum karena melihat tingkah lucunya itu.     

"Aku mau...." katanya.     

"Mau? Mau apa?"     

"Aku mau ikut kamu!" jelasnya. Aku kembali tersenyum. Tapi aku buru-buru pura-pura ndhak peduli lagi dengannya.     

"Kamu? Kamu siapa? Tidak ada yang bernama kamu di sini," godaku lagi kepadanya.     

Dia menghentakkan kakinya, sembari mengerucutkan bibirnya. Benar-benar persis seperti bundanya, tatkala dia menginginkan sesuatu tapi ndhak aku turuti. Kok ya yang jelek-jelek nurunnya dari bundanya, toh.     

"Kamu itu Ayah Besar! Sudah besar masak gitu saja tidak tahu!"     

"Tapi kamu harus berjanji satu hal,"     

"Apa?" tanyanya penasaran, sepertinya dia sudah ndhak sabaran untuk segera pergi membeli mainan.     

"Kamu harus berada di pihakku. Saat kamu kusuruh melakukan apa pun, kamu harus menurutinya. Dan aku akan membelikan semua mainan yang kamu suka. Bagaimana? Setuju?"     

Abimanyu tampak berpikir keras, antara setuju atau endhak. Untuk kemudian dia mengangguk kuat-kuat sembari menyodorkan jari kelingkingnya.     

"Janji, aku setuju!"     

"Sip!"     

*****     

"Ayah, aku mau robot-robotan yang banyak. Mau mobil-mobilan yang banyak. Sama sepeda yang bisa menyala. Ada?"     

Setelah kami pergi, Abimanyu terus saja berceloteh dengan logat yang baru saja hampir lancarnya itu. Aku sama sekali ndhak menyangka, jika untuk menyenangkan dan mengambil hatinya hanya butuh dengan hal semudah ini. Bahkan sedari tadi, dia nyaris ndhak mau turun dari gendonganku.     

"Mau berapa? Tiga, atau empat?" kutanya.     

Dia yang belum bisa berhitung pun mengacungkan sepuluh jarinya dengan semangat, kemudian dia menjawab, "lima!"     

Aku tertawa melihat hal itu. Dia ini bagaimana, toh. Masak lima tapi jari yang dia acungkan sepuluh.     

"Itu sepuluh bukan lima."     

"Ya sudah, sepuluh," dia bilang dengan entengnya.     

"Terus bawa pulangnya bagaimana?" tanyaku, dia tampak berpikir keras. Seperti paham saja.     

"Ya sudah, nanti kita beli mobil truk, untuk bawa pulang mainan-mainanku."     

"Oh, iya," ucapku, sambil masih tertawa. Duh Gusti, apa dia pikir sebuah truk bisa dibeli dengan begitu mudahnya? Dan hanya untuk mengangkut mainan-mainannya pulang. Dasar Abimanyu ini.     

Setelah sampai di sebuah toko, Abimanyu pun segera meronta untuk turun, melihat banyak mainan yang dipajang membuatnya benar-benar hilang kendali.     

Aku hanya bisa berjalan mengekorinya, sementara pemilik toko tampak sigap takut jika Abimanyu terjatuh.     

"Maaf, Pak... anaknya mau beli apa?" tanya pemilik toko itu.     

"Biarkan dia memilih barang apa pun yang dia suka. Nanti aku akan membayarnya," kubilang.     

Si pemilik toko akhirnya mengangguk, kemudian dia seolah jadi pemandu untuk Abimbanyu. Menunjukkan beberapa koleksi terbarunya, yang mungkin di masa ini koleksi itu benar-benar yang paling bagus.     

Abimanyu tampak sumringah, dia benar-benar sangat bersemangat karena mainan-mainan itu. Mainan-mainan bahkan jika dibawa ke Kemuning, mainan-mainan itu akan menjadi benda yang sangat langka. Atau kalau ndhak begitu, mereka pasti berpikir jika mainan-mainan tersebut bukan hasil karya manusia. Tapi, hasil ciptaan dari Gusti Pangeran.     

Maklum saja, Kemuning berada di lereng gunung. Tempatnya yang termasuk masuk ke dalam dari kecamatan membuatnya agaknya sedikit tertinggal dari segi apa pun itu. Tapi aku yakin, Kemuning adalah sumber dari hasil kekayaan bumi. Hijaunya Kemuning menjadi paru-paru negeri, dan hasil alamnya ndhak kalah dari tempat lainnya. Terlebih, tempat wisata Kemuning yang sebentar lagi akan dibuka karena pembangunannya sudah hampir selesai, membuat Kemuning akan menjadi kampung halaman yang maju. Maju dari segi apa pun itu. Dan tatkala penduduk luar mengetahui Kemuning, mereka akan takjub dan berkata, kampung yang sangat hijau, yang seolah enggan untuk ditinggali tatkala kita bertandang (datang).     

"Ayah, aku mau ini, ini, ini, dan semua ini!" teriak Abimanyu, yang agaknya benar-benar mengagetkan lamunanku.     

Kulihat dari deretan mainan yang dia beli benar-benar hampir seperempat dari isi toko itu. Duh Gusti keponakanku yang satu ini, bisa ndhak dia membeli dengan berpikir dulu. Kalau sebanyak ini nanti aku harus membawanya bagaimana?     

"Kamu yakin semuanya itu?" tanyaku untuk sekadar memastikan. Tapi, lagi-lagi, Abimanyu mengangguk mantab. Seolah semua pilihan ini benar-benar adalah mainan yang dia sukai.     

"Jadi bagaimana, Pak? Anak Bapak minta semua itu. Apa uang Bapak cukup?" tanya si pemilik toko.     

Rupanya sedari tadi yang dipikirkan si pemilik toko ini takut jika aku ndhak punya uang untuk membayar, toh? Padahal yang kutakutkan sebenarnya, dengan apa aku harus membawa pulang mainan-mainan itu. Hanya membawa mobil sedan, dan semua mainan Abimanyu ndhak akan muat kutaruh mana pun. Lebih-lebih setelah ini aku langsung menjemput Manis di Universitas. Duh Gusti, kepalaku pusing sekali.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.