JURAGAN ARJUNA

BAB 232



BAB 232

0Setibanya di rumah, kulihat kerak telur yang ada di tangan sembari mendengus sebal. Andai bukan karena permintaan Manis, aku pasti ndhak akan sudi untuk membelikan kerak telur ini untuk perempuan sialan itu. Tapi, mau bagaimana lagi, toh. Kalau aku ndhak seperti ini nanti Manis akan benar-benar marah kepadaku.     

Aku berjalan masuk ke dalam rumah, Widuri tampak sibuk makan rujak. Buah mangga yang masih muda dimakan dengan begitu lahap. Bahkan, gigiku saja terasa ngilu melihatnya, tapi dia makan itu seperti makan mendoan. Benar-benar ndhak merasa masam sama sekali.     

"Arjuna," sapanya, sembari melihatku.     

Aku memalingkan wajahku, kemudian meletakkan kerak telur itu di atas meja. Dia tampak begitu bahagia, membuka kerak telur itu, kemudian memakannya dengan sangat lahap. Bahkan, dia mengabaikan rujaknya tadi.     

"Ini untukku, kan? Kamu membelikannya sendiri, kan?" tanyanya.     

Tapi, ndhak kujawabi. Aku kemudian pergi, kulihat dari kejauhan, Widuri memakannya dengan perasaan yang senang. Mungkin benar kata Manis, jika yang menginginkan itu sebenarnya bukanlah Widuri, akan tetapi bayi yang ada di kandungannya. Mungkin benar, jika kali ini Widuri ndhak sedang bersandiwara, tapi dia sedang benar-benar ngidam yang sebenarnya.     

"Kangmas."     

"Kamu..." aku langsung menarik tangan Rianti, untuk kemudian kuajak dia menuju ke teras belakang. Dia menurut dalam diam. "Sekarang, bisa jelaskan semua kepadaku, dari mana saja kamu sampai menghilang bertahun-tahun, lalu kemudian kamu kembali dengan seorang anak. Tanpa kabar sampai membuat Romo jatuh sakit hanya karena memikirkan putri satu-satunya yang ia sayang hilang tiba-tiba tanpa kabar."     

Ya, semenjak kepulanganku ke rumah, aku benar-benar belum sempat bicara empat mata dengan Rianti. Bahkan dia seolah menghindariku, mungkin dia tahu jika kami hanya berdua seperti ini, aku akan menghujaninya dengan pertanyaan-pertanyaan yang memojokkan. Dan itu aku benar-benar ndhak peduli. Biarkan saja dia membenciku kalau mau, sebab aku benar-benar kesal dengan perempuan menyebalkan satu ini.     

"Orangtua ini, cerewet sekali, toh, rupanya...," katanya, sembari mencubit hidungku. Kemudian dia duduk di kursi, membuatku mengikuti langkahnya. "Asal Kangmas tahu, yang punya masalah bukan hanya Kangmas, dan Romo, juga Biung saja. Aku juga. Terlebih, awal-awal aku menikah dengan Bima, seolah seluruh alam semestaku hancur, seolah bumiku telah hancur. Aku, harus menelaah semuanya, aku harus mencari jati diriku lagi. Andai saja aku ndhak pergi, mungkin sampai detik ini aku ndhak akan bisa merasakan yang namanya berpikir dewasa, mengambil keputusan dengan kepala dingin, dan bersikap seperti layaknya perempuan-perempuan yang sudah berumah tangga pada umumnya. Kangmas, asal kamu tahu... dulu benciku kepada Bima adalah hal yang paling ndhak bisa kuukur bahkan sampai bumi ini kiamat sekalipun. Namun sekarang, aku memandangnya dengan cara yang berbeda. Jadi, aku sama sekali ndhak akan pernah menyesal jika aku harus pergi. Sebab pendewasaan diri ada kalanya butuh menjauh dari semuanya, sampai kita benar-benar tahu, apakah orang yang ada di sisi kita adalah orang yang benar-benar seharusnya ada, apakah orang yang kita inginkan, atau hanya sebatas pelarian."     

"Duh Gusti adikku ini, sekarang pandai benar berkata-kata. Jadi intinya, kamu telah jatuh hati seutuhnya dengan Bima, betul?"     

Rianti tampak malu-malu, belum sempat dia menjawab. Muncul sosok anak kecil, mendekat ke arah Rianti, memeluk kaki Rianti kemudian dia memandangku dengan tatapan sebalnya itu. Jika dilihat-lihat tatapan sebal dan dinginnya ini seperti siapa, toh?     

"Kamu ini siapa? Laki-laki tua yang kata Bunda disuruh untuk memanggil Ayah Besar, apa jangan-jangan kamu adalah laki-laki saingannya ayahku? Kamu mau merebut Bunda dari Ayah?" tuduhnya ndhak tahu diri.     

Dasar anak kecil ini, lancang benar mengatakan hal sekeji itu kepada Pakdhenya sendiri. Dasar, anak ndhak tahu diri.     

Aku hendak marah, tapi di otakku terbesit sebuah akal jahil untuk mengerjainya. Aku, akan membuat dia berpikir semakin aneh, bahkan sampai dia merasa sebal denganku sampai sejadi-jadinya.     

Aku langsung menarik tangan Rianti, kemudian kupeluk tubuhnya erat-erat, kuciumi kening dan pipinya. Membuat Rianti berontak bukan main. Dan Abimanyu tampak semakin marah, dengan tenaga kecilnya dia berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan pelukanku kepada bundanya.     

"Lepaskan! Lepaskan Bunda! Apa yang kamu lakukan kepada Bunda! Lepaskan! Bunda itu milik Ayah! Jangan curi Bunda dari Ayah!" teriaknya histeris, dengan mata yang sudah berkaca-kaca, aku benar-benar ingin tertawa. Sepertinya, memiliki anak laki-laki seru juga. Bisa digoda seperti ini sepanjang waktu.     

"Ayahmu? Ck! Bahkan dia tidak level denganku. Kamu tahu siapa aku? Laki-laki yang sangat tampan dan mapan, yang telah menjerat hati bundamu untuk pertama kali. Iya, kan, Sayang."     

"Kangmas ini apa-apaan, toh. Gemar benar mengerjai anak kecil!" marah Rianti.     

"Ayah! Eyang Kakung! Eyang Putri! Bundaku mau dicuri oleh laki-laki jahat! Tolong Bunda! Tolong Bunda!"     

Semua orang yang ada di rumah ini langsung berkumpul dengan serentak. Lihatlah, betapa sangat sakti teriakan anak kecil ini. Hanya dengan teriakan manjanya, semua penghuni di sini sudah tunduk kepadanya. Dasar, anak kecil.     

"Eyang Kakung! Ayah! Dia... dia... hiks!" katanya terputus, dia sudah menangis, sambil menunjuk ke arahku. Sementara wajahnya sudah ia sembunyikan di kaki Romo. "Dia laki-laki jahat! Dia mau merebut Biung dari Romo!" teriaknya mengadu.     

Semua orang yang tahu penjelasan Abimanyu, langsung berkacak pinggang, kemudian mereka melotot ke arahku. Hey, aku hanyalah korban. Kenapa mereka malah memarahiku sekarang?     

"Arjuna, sekali lagi kamu menggoda keponakanmu, Romo benar-benar akan memukul bokongmu!" marah Romo pada akhirnya.     

"Oh, jadi sekarang Romo ndhak menyayangiku? Sekarang Romo ndhak mau membelaku? Sekarang Romo membela anak kecil itu? Duh Gusti, guna-guna apa yang digunakan anak kecil itu sehingga romoku sendiri sekarang memusuhiku. Aku benar-benar harus menyentilnya keluar dari rumah ini."     

"Arjuna Hendarmoko!" kini giliran Biung yang marah.     

Abimanyu kembali menangis, kini dengan tangisan yang semakin menjadi. Karena Romo kuwalahan, kini dia digendong oleh Bima.     

' "Kamu itu dibohongi sama Ayah Besar. Ayah Besar itu adalah Abang dari bundamu, Sayang. Jadi mana mungkin, seorang Abang akan menikahi adiknya sendiri, kan?"     

"Tapi dia tadi bicara seperti itu, Ayah. Tapi—"     

Ucapannya kini terhenti, tatkala aku mengambilnya dari pelukan ayahnya. Wajah Abimanyu tampak pucat, mulutnya tiba-tiba langsung diam seribu bahasa.     

"Kamu ini tidak sadar? Bukankah seharusnya Abimanyu itu anaknya Arjuna? Lantas kenapa bisa Abimanyu menjadi anaknya Bima? Sini, kamu jadi anakku sekarang."     

Kuajak dia masuk ke dalam kamar, tapi Abimanyu kembali menangis. Terus meronta untuk diturunkan, aku yakin jika dia takut denganku. Karena belum terbiasa. Siapa suruh juga orang-orang di rumah ini ndhak memperkenalkanku sedari awal kalau aku ini Pakdhenya, pasti dia ndhak akan setakut dan seasing ini denganku, toh.     

"Ayah! Eyang Kakung! Tolong! Aku mau diculik! Aku mau diculik orang jahat!" teriaknya terus-terusan. Segera kukunci kamarku, dan melepaskannya. Dia duduk di atas ranjang, memandangiku dengan mata bundarnya. "M... mau apa kamu?!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.