JURAGAN ARJUNA

BAB 231



BAB 231

0Pagi ini aku sudah beradadi Universitas. Sesuai janji aku harus mengantarkan istriku tercinta untuk bimbingan skripsi, selain itu juga ada yang hendak aku lakukan. Yaitu mengintai dosen yang ndhak tahu diri itu untuk sadar di mana dirinya sekarang berada. Aku ingin dia menyerah, aku ingin dia berhenti mengganggu rumah tanggaku dengan istriku. Sebab bagaimanapun, aku ndhak akan pernah membiarkan dan memberi kesempatan kepada siapa pun untuk mencoba mengusik rumah tanggaku lagi.     

"Jadi dosenmu yang jelek itu di mana sekarang?" tanyaku, sok keren. Tapi, siapa peduli. Memang dosen itu keren aku, toh.     

Manis mengulum senyum, kemudian dia berkacak pinggang, memandangku dari atas sampai bawah.     

"Kenapa, toh, Kangmas? Cemburu? Ndhak percaya denganku?" selidiknya. Manis kemudian menggenggam kedua tanganku. Kutebar pandanganku, ada beberapa orang yang agaknya melihat kami. Kulihat Manis sekarang tampak lebih berani, ndhak peduli lagi perkara sungkan, dan takut jika dilihat banyak orang. "Percayalah, hatiku ini utuh satu. Ndhak bercabang apalagi terbelah. Dia hanya untukmu, bukan untuk yang lainnya. Di mataku, ndhak ada yang lebih baik dari kamu, ndhak ada yang lebih sempurna dari kamu. Jadi, mana mungkin aku berpaling, dan jatuh ke hati yang lain jika aku telah seutuhnya jatuh pada hatimu, Kangmas,"     

"Kamu tahu, Sayang, ucapanmu yang seperti ini benar-benar membuatku—" ucapanku terhenti, tatkala jari mungil Manis kini menempel sempurna di bibirku. Sambil mengherlingkan mata, dia langsung merengkuh lenganku untuk diajak untuk berjalan.     

"Nanti aku benar-benar akan telat bimbingan skripsi dan melengkapi beberapa mata kuliahku kalau kita terus bicara ndhak jelas seperti ini, Kangmas."     

"Lha terus kamu mau ngajak aku ke mana?"     

"Ya ke temu dosen, toh. Memangnya, Kangmas maunya tak ajak ke mana?"     

"Tak pikir mau mengajakku ke pelaminan."     

"Kan sudah."     

"Oh ya, aku lupa. Terus kita mau ke mana, ya, enaknya?" godaku lagi. Manis kini tampak berpikir. Sepanjang perjalanan menyusuri lorong kami benar-benar sudah dimabuk kebayang. Bagaikan pasangan yang baru kasmaran, di mana pun inginnya bermesra-mesraan, seolah dunia ini hanya milik kami berdua. Ndhak peduli jika ada berapa banyak pasang mata yang melihat kami dengan tatapan aneh mereka.     

"Kalau pergi ke surga cinta bagaimana?" tanyanya, aku mengulum senyum.     

"Di sini? Sekarang? Yang ada semua orang iri dengan tarian-tarian indah kita,"     

Manis langsung melotot, kemudian dia mencubit pinggangku. Benar-benar sakit sekali kali ini. Aku ndhak bohong.     

"Kangmas ini bagaimana, toh. Kok ya yang dipikirin itu kemana-mana itu, lho. Aku itu bahasnya perkara yang manis dan romantis. Tapi otak Kangmas ini ngeres saja. Surga cinta langsung dihubungkan dengan kelon (bercinta)."     

"Lho, aku ya ndhak salah, toh. Sekarang aku tanya sama kamu. Apa arti surga itu? Bukankah artinya tempat tertinggi dari sebuah kebahagiaan yang ndhak ada satu hal pun yang bisa menandinginya? Dan sekarang aku tanya lagi, dalam sebuah hubungan hal tertinggi yang sangat membahagiakan itu apa? Sebuah penyatuan cinta, dengan tarian-tarian indahnya, yaitu kelon (bercinta)."     

"Kangmas!"     

"Hahaha, ada apa, toh, Sayang kok panggil-panggil. Iya-iya aku ndhak akan pergi," godaku kepada Manis, yang mengabaikan rasa gemasnya itu.     

"Ih, aku serius!" rajuknya lagi.     

"Iya, aku tahu kalau kamu serius mengajakku ke surga cinta. Aku sudah ndhak sabar menantikannya."     

"Kangmas!"     

"Iya, Sayang."     

"Kangmas!" katanya lagi dengan nada yang lebih tinggi, dia terus menarik-narik tanganku, mimik wajahnya kini tampak serius. "Pak Yudha, Kangmas!" lanjutnya.     

Kutoleh, ternyata iya, ada dosen ndhak jelas itu sudah berdiri tepat di depan aku, dan Manis. Dia melipat kedua tangannya di dada, sembari memandangku yang masih merengkuh bahu Manis. Matanya melotot, seolah dialah suami Manis, dan aku adalah selingkuhan Manis yang dipergoki jalan berdua. Benar-benar, orang ini ndhak sadar diri di mana letaknya yang seharusnya berada. Ya, sampah.     

"Anda tentunya tahu, jika yang seharusnya berada di Universitas itu selain mahasiswa adalah dosen, petugas kampus, pegawai kantin, dan semua yang pekerjaannya dengan Universitas. Jadi, Anda ini yang notabenya adalah orang luar. Kenapa hobi sekali keluar masuk ke dalam Universitas? Apa tidak ada satu satpam pun yang menanyai kartu mahasiswamu?"     

"Ck! Ck! Ck!" decakku, sembari memandangnya dari bawah sampai atas. Baru jadi dosen saja gayanya sudah sok paling kuasa. Sok paling seperti raja, dan bahkan presiden negeri ini. Apalagi kalau dia adalah seorang rektor. Yang ada semua manusia yang ndhak dia suka akan dibumi hanguskan tanpa pikir panjang. "Jangankan hanya sebuah Universitas. Cari tempat paling disegani di Negara ini, tanpa sebuah kartu pun aku bisa masuk kapan saja semauku. Oh ya...," kataku terputus, kini aku tersenyum ke arahnya sembari menyilangkan tanganku di dada. "Wah, Anda ini sebagai seorang dosen benar-benar luar biasa. Perilaku Anda tidak pantas untuk dipuji sama sekali. Bahkan, saya sendiri tidak tahu bagian dari Anda yang mana yang patut ditiru oleh mahasiswa-mahasiswa Anda. Mungkin, selain ilmu yang Anda miliki yang saya sendiri tidak tahu apa ilmu itu bermanfaat atau tidak sama sekali."     

Rahang dosen itu tampak mengeras. Tapi aku sudah mengabaikannya, mencium kening Manis sembari melirik ke arahnya. Biarkan, hatinya semakin terbakar. Kalau pergi, biarkan hatinya terbakar menjadi abu.     

Manis langsung ditarik olehnya, tapi satu tangan Manis kutahan dengan erat. Mataku, dan dosen itu sudah saling menatap dengan tajam.     

"Lepaskan tangan kotormu itu dari istriku."     

"Sekarang adalah waktunya dia untuk bimbingan skripsi. Kamu, siapa pun itu, tidak ada hak untuk menganggu Manis di sini," ancamnya.     

"Kalau kamu tidak segera melepaskan tanganmu dari tangan istriku, akan kupastikan kamu pulang dari sini dengan satu tangan,"     

Manis langsung menepis tangan dosennya, dia menggenggam lenganku dengan erat. Kemudian, dia memandang dosennya itu, entah dia mau mengatakan apa.     

"Pak Yudha, saya ini sudah punya suami. Jadi tolong jaga sikap Anda. Benar jika saya ingin lulus, tapi menghormati pernikahan saya, dan menghormati suami saya adalah tugas saya sebagai seorang istri."     

Dosen itu wajahnya tampak merah, aku yakin dia malu luar biasa karena telah ditolak Manis dengan mentah-mentah. Aku tersenyum seraya menghinanya, kemudian dia langsung pergi masuk ke dalam ruangannya.     

"Kangmas...," kata Manis yang berhasil membuatku menoleh ke arahnya. "Aku bimbingan skripsi dulu, setelah itu aku ada beberpaa kelas. Kangmas boleh pulang dulu. Ohya, jangan lupa beli kerak telur untuk Widuri, jangan sampai lupa. Jangan pernah berpikir jika kamu membelinya untuk perempuan itu, sebab aku yakin kamu ndhak akan pernah sudi untuk melakukannya. Jadi anggap saja, itu titipanku, untuk dimakan oleh jabang bayimu yang ada di perutnya. Hati-hati di jalan, ya. Aku mencintaimu,"     

Setelah mengatakan panjang lebar itu, dia kemudian berjinjit. Mencium pipiku yang berhasil membuatku mematung secara tiba-tiba. Kupegang pipiku yang telah dicium olehnya, Manis sudah berlari menuju ke ruang dosen itu, untuk bimbingan skripsi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.