JURAGAN ARJUNA

BAB 230-B



BAB 230-B

0Pagi ini, agaknya benar-benar sangat indah. Sebab aku sudah berada di rumah. Berdiri di depan jendela kamar, sembari melihat hijaunya pemandangan dari kebun depan. Sembari menikmati mentari pagi yang baru saja menampilkan sinar keperkasaan. Hangatnya tampak begitu nyata, seolah bergelayut manja dan menyatu dengan hawa sejuk yang perlahan mulai menghilang.     

"Sayang, waktunya sarapan," kata Manis, dia berjalan mendekat kemudian memelukku dari belakang. Kucium pipinya sekilas, kemudian kubalikkan posisi, sehingga dia yang berada di depan dan aku memeluknya dari belakang.     

"Aku ndhak mau sarapan di luar. Aku maunya sarapan kamu saja," godaku.     

Manis langsung mencubit pinggangku, kemudian dia menggenggam dengan erat lenganku yang merengkuhnya sedari tadi.     

"Semalaman sudah berapa kali? Masih kurang?" dia bilang. Aku mengangguk semangat.     

"Memangnya siapa yang ndhak merasa kurang kalau dilayani oleh istri tercinta."     

"Tapi aku mau bimbingan skripsi dulu, Kangmas."     

"Dengan laki-laki ndhak tahu diri itu?" tanyaku. Seketika kegembiraanku langsung lenyap tatkala mendengar ucapan itu dari mulut Manis. Dan emosiku kembali tersulut karenanya mengingat dosen ndhak tahu malu itu.     

"Ndhak boleh bilang seperti itu, toh."     

"Lha aku harus bagaimana? Hanya orang ndhak tahu malu yang merangkul perempuan yang sudah bersuami, sampai diantar pulang lagi," kataku. Hendak pergi, tapi Manis menahanku, menahan posisi tanganku agar tetap merengkuhnya.     

"Benar memang dia ada rasa denganku. Sebab, dia pernah mengatakan itu secara langsung dan tegas," aku hendak membuka rengkuhan itu, tapi lagi-lagi Manis menahannya. Dadaku benar-benar terasa seperti terbakar tatkala mengingat kejadian waktu itu. Dan bahkan sampai detik ini aku sama sekali ndhak tahu, apa yang dosen mata keranjang itu lakukan kepada istriku tatkala aku berada di rumah sakit. "Tapi ketahuilah, Kangmas. Kejadian beberapa waktu yang lalu itu, aku diam bukan karena aku ingin disentuh pun diantar olehnya. Aku diam karena sebenarnya aku telah tahu jika waktu itu kamu mencariku. Aku sengaja melakukan itu, karena aku ingin melihat kamu cemburu."     

"Apa? Ingin melihat aku cemburu?" tanyaku sengaja mengulang perkataannya. Apa dia pikir, cemburu itu semenyenangkan itu, toh. Dasar istriku ini!     

"Iya, gantian... kamu terus-terusan membuatku cemburu. Jadi, aku ingin kamu tahu apa yang selama ini aku rasakan kepadamu. Dan sekarang, setelah kejadian itu, aku ndhak melakukan apa pun yang di luar batas seorang mahasiswa dengan dosen, Kangmas. Kamu bisa pegang kata-kataku. Aku hanya ingin cepat lulus, agar bisa segera kembali ke Kemuning, membangun sebuah klinik di sana agar aku bisa mengabdikan diriku kepada masyarakat yang ada di sana."     

"Tapi, sebelum itu kamu harus mengabdikan dirimu dulu kepadaku, Sayang," bisikku. Mengangkat tubuh Manis, membuat dia agaknya meronta untuk minta turun.     

"Kangmas, nanti aku telat!"     

"Aku ndhak peduli! Aku bisa mengantarkanmu ke kampus."     

"Tapi—"     

"Sekali lagi!"     

"Ih, genit!"     

*****     

"Arjuna...," aku menoleh ke arah sumber suara, Widuri tampak mendekat ke arahku dengan sungkan. Aku diam ndhak pergi, tapi juga ndhak begitu mempedulikannya. Memangnya, dia siapa sampai harus kupedulikan? Dia bukan siapa-siapa. Dia hanya perempuan yang benar-benar sangat menyebalkan. Perempuan yang membuatku bisa masuk ke dalam perangkapnya dengan sangat sempurna. "Bagaimana keadaanmu? Aku kangen sama kamu."     

"Baik," kujawab sekenanya. Kemudian, aku meletakkan buku yang sedari tadi kubawa, melihat Manis yang baru saja keluar dari kamar karena telah bersiap, kemudian aku berdiri.     

"Widuri, kamu butuh apa?"     

Kukerutkan keningku tatkala aku mendengar Manis melontarkan pertanyaan itu. Sejak kapan istriku akrab dengan Widuri? Aku benar-benar ndhak tahu. Sebab setahuku kemarin adalah, mereka masih bertengkar. Karena sikap Widuri yang seolah-olah menjadi Ndoro, dan Manis yang masih sakit hati karena masalahku waktu itu.     

"Tidak," jawab Widuri, masih ketus. Dia sambil bersedekap memandangku, dan Manis dengan tatapan ndhak sukanya.     

Tapi, siapa yang akan peduli dengan Widuri. Mau dia suka atau ndhak suka. Di sini dia hanya tamu. Ndhak lebih dari itu.     

Kurengkuh tubuh Manis untuk kuajak pergi, tapi lenganku langsung ditahan oleh Widuri. Aku sama sekali ndhak paham, dengan apa yang dia inginkan sekarang. Padahal jelas tadi, tatkala Manis bertanya dia bilang ndhak butuh apa-apa.     

"Aku kepingin makan kerak telur yang ada di dekat monas. Nanti belikan."     

Aku langsung memandang Widuri dengan tatapan dingin, kemudian kupandang dia lagi. Entah kenapa, aku sama sekali ndhak bisa untuk barang sedikit saja iba kepadanya, meski dia telah mengandung anakku. Benar-benar ndhak bisa.     

"Kalau kamu mau, pergi beli sendiri. Ada Paklik Sobirin yang bisa mengantarmu. Toh, kamu punya dua kaki, kamu sehat dan tidak kurang apa pun!"     

"Tapi aku ingin kamu yang membelikannya. Anakmu... anakmu yang menginginkannya seperti itu."     

"Persetan dengan anak sialanmu itu!"     

"Kangmas!" tegur Manis. Dia langsung mengelus punggungku, seolah menyuruhku untuk tenang.     

Untuk kemudian, dia memegang lengan Widuri, tapi ditepis Widuri dengan sangat kasar. Ini adalah satu alasan kenapa aku ndhak bisa berbuat baik kepada Widuri sama sekali. Karena, dia yang seorang tamu di rumah ini, benar-benar ndhak menghargai Ndoro di rumah ini. Dia sama sekali ndhak bisa berbuat baik sama sekali dengan Manis.     

"Ya sudah, nanti aku carikan dulu, ya. Biar dibawa pulang sama Kangmas," hibur Manis.     

"Tidak usah! Aku tidak sudi makan dari makanan yang kamu beli, yang kamu sentuh dengan tangan kotormu itu!"     

"Kamu—"     

Aku hendak mengejar Widuri agar dia meminta maaf kepada Manis. Tapi, lagi-lagi Manis menahanku. Kemudian, dia menggelengkan kepalanya dengan mata teduhnya itu.     

"Kangmas, biarkan. Bagaimanapun, Widuri sedang mengandung anakmu. Sangat ndhak baik kalau kamu terus berkata kasar kepadanya. Suka ndhak suka, anak yang ada di rahim Widuri itu anakmu. Jadi, sedikit hormatilah dia sebagai Biung dari calon anakmu itu."     

"Tapi—"     

"Mungkin benar, jika saat ini dia benar-benar sedang mengidam kerak telur yang dibelikan oleh Romo dari anaknya, Kangmas. Sebab bagaimanapun, mengidamnya seorang yang hamil itu memang kadang-kadang sedikit ndhak masuk akal. Toh selama ini, Kangmas belum pernah sekalipun bersikap baik, ataupun menuruti keinginannya, toh? Hanya kerak telur, Kangmas. Ndhak ada salahnya," kemudian Manis kembali memegang lenganku. Senyumnya kini terukir sangat lembut. "Kangmas, perempuan yang sedang hamil itu adalah masa-masa di mana tubuh, otak, dan hati benar-benar sangat lelah. Mengandung sembilan bulan itu bukanlah perkara yang sangat mudah. Itu sebabnya, perempuan-perempuan yang sedang hamil sering kali tampak lebih manja kepada pasangannya dari pada sebelumnya. Karena mereka ingin memberitahu jika hamil adalah perkara yang sangat ndhak enak, tapi mereka harus menjalaninya dengan suka-cita. Mereka sering mual dan muntah, kadang-kadang ndhak nafsu untuk makan apa pun. Badan mulai pegal-pegal, kaki mulai membengkak. Dan yang lebih dari itu semua adalah, melahirkan benar-benar bukan perkara yang mudah. Ada nyawa yang harus dipertaruhkan untuk itu, Kangmas. Terlebih, ada tubuh yang mulanya bagus dan indah harus rela berubah menjadi besar dan kendur karena mengandung, melahirkan, menyusui, dan memberikan yang terbaik semata-mata untuk anakmu."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.