JURAGAN ARJUNA

BAB 228



BAB 228

0"Jadi, hari ini aku boleh pulang, Dok?" tanyaku.     

Pagi ini adalah pagi harian aku diperiksa, dan kata dokter jika semua yang ada di dalam tubuhku sudah benar-benar sehat. Hanya butuh istirahat beberapa hari di rumah untuk memulihkan tenaga, dan itu sudah lebih dari cukup. Dan untuk sementara aku ndhak boleh memaksakan diriku untuk bekerja, dan membebankan semua masalah pada pikiranku yang agaknya kecil ini.     

"Iya, Pak, Anda boleh pulang hari ini. Nanti suruh keluarga Bapak untuk ambil resep obat di apotek, ya, Pak, sebelum pulang. Dan minggu depan, Bapak kontrol lagi ke sini," jawabnya kemudian.     

Aku mengangguk semangat, ndhak sabar ingin memberitahu Manis perkara ini. Aku ingin memberinya kejutan, jika aku sudah boleh pulang sekarang. Padahal perkiraannya aku baru boleh pulang minggu depan. Sepertinya, Manis benar-benar membodohiku, atau sedang mengerjaiku dan membuatku berpikir jika penyakitku ini adalah penyakit yang sangat ganas.     

Setelah dokter mengatakan hal itu, dia pun berpamitan. Dan setelah itu aku langsung cepat-cepat berbaring. Saat ini adalah jam di mana Manis berkunjung, dan aku harus berpura-pura masih sangat lemas sehingga dia ndhak curiga kalau aku sudah boleh pulang sekarang.     

Dan benar saja, Manis telah datang. Setelah ia meletakkan tasnya dia pun mendekat ke arahku. Memeriksaku yang pura-pura tidur.     

"Sudah jauh lebih sehat," gumamnya, aku yakin agaknya dia lega melihat perkembanganku yang semakin membaik, sebab dia bilang dia telah rindu aku di rumah. Dia ingin segera pulang, dan bisa mengurusku dengan kedua tangannya sendiri. Tanpa harus ditinggal-tinggal seperti ini.     

Pelan aku membuka mata, pura-pura jika saat ini aku sedang bangun tidur. Manis tampak tersenyum sumringah, kemudian melambaikan tangannya. Seolah, kami ini ndhak bertemu lama kenapa dia sampai berlebihan seperti ini, toh.     

"Hai, kamu," dia bilang, aku nyaris tertawa. Mungkin niatnya mau romantis-romantisan, tapi kurasa sekeras apa pun dia mencoba akan tetap ndhak bisa.     

"Hai, juga, aku rindu," kubilang, untuk menanggapi sapaannya agar dia ndhak kecewa.     

"Sudah berapa lama kira-kira kita ndhak ketemu?" tanyanya lagi.     

"Kira-kira tujuh jam, enam menit, tujuh belas detik," jawabku kemudian.     

Kini, Manis duduk di dekatku, dipandang lekat-lekat wajahku, kemudian dia bertopang dagu. Entah apa maksud dari tatapannya itu, yang jelas hanya ditatap olehnya seperti ini saja benar-benar membuatku grogi dan malu.     

"Kangmas...," katanya, kini dia tampak malu-malu sembari memainkan jarinya di dadaku. "Kapan pulang? Aku rindu,"     

Aku tersenyum mendengar ucapannya. Aku tahu, sejatinya rindu yang dimaksud bukan sekadar rindu hanya ingin berjumpa denganku saja, akan tetapi rindu akan yang lainnya.     

Duh Gusti, rasanya ingin sekali mengatakan kepada Manis jika hari ini aku sudah boleh pulang. Tapi, jika aku mengatakannya sekarang, ndhak akan jadi kejutan lagi, toh. Aku harus sabar, sedikit lebih lama lagi.     

"Ini, kita sudah bertemu, Sayang? Apa masih saja rindu?" tanyaku. Manis malu-malu menundukkan wajahnya dalam-dalam. Ronanya sudah tampak merah menggemaskan membuatku ingin sekali menarik tubuhnya dalam pelukanku saat ini juga. "Atau... kamu rindu yang lainnya?" tebakku.     

Dia langsung memandangku, kemudian dia memalingkan pandangannya, tapi di bibirnya terukir sebuah senyum jenaka.     

"Rindu yang lainnya apa, toh, Kangmas? Kangmas kan ada satu, ndhak ada yang lainnya."     

"Ya, barangkali yang diirindu ndhak sekadar berjumpa denganku, akan tetapi rindu yang lainnya dariku," kataku. Gusti, kenapa aku ikut grogi juga, toh, membahas perkara seperti ini dengan Manis. Dia ini istriku, yang lebih dari enam tahun kukawini. Namun kenapa, aku benar-benar merasa begitu ndhak karu-karuan. Apa yang terjadi kepadaku? Atau karena aku, dan dia sudah berbulan-bulan ndhak melakukannya, jadi tatkala membahas perkara ini menjadi sedikit canggung.     

"Ehm, rindu apanya, ya?" dia bilang, sembari meraba-raba jawaban yang agaknya tepat untuk dia ucapkan. Sepertinya, gengsinya cukup tinggi juga untuk sekadar bilang, 'aku rindu kelon (bercinta) dengan Kangmas' tapi, ndhak apa-apa. Dia ini perempuan, jadi sepertinya aku yang harus bergerak duluan. Namanya juga aku sperma, dan dia sel telur. Ya di mana-mana sperma yang bergerak menuju sel telur untuk bisa penyatuan, ndhak ada ceritanya sel telur yang berlari mengejar sperma. Meski nyatanya, untuk perkara melamar saja aku kalah darinya. Gusti, memalukan sekali, toh, aku ini.     

"Barangkali rindu bibirku, yang biasanya mencumbu bibirmu setiap waktu," godaku. Wajah Manis langsung memerah, dia memejamkan matanya sembari tersenyum malu. "Atau rindu tangan kokohku ini, untuk mendekapmu sepanjang waktu?"     

Ah, kenapa aku jadi ikut-ikutan melankolis seperti ini, toh? Kenapa aku tiba-tiba menjadi sok puitis? Kayak tanganku ini bisa memberikan kehangatan saja sampai bisa dirindu dia, kayak bibirku ini bisa saja memberikan kenikmatan tatkala mencumbunya. Arjuna... Arjuna, ingat... dia adalah Manis, istri yang pernah kamu sakiti. Salah ucap seperti ini, takutnya malah membuat dia mengingat kenangan yang dulu. Untuk kemudian dia berpikir, jika tangan dan bibirku juga pernah mencumbu perempuan lain selain dia. Sialan!     

"Kurasa lebih dari itu," jawabnya. Aku kaget, tatkala dia mengulum senyum, sembari mengedipkan matanya nakal.     

Dan dengan spontan, kutarik tangannya dan tubuhnya jatuh dengan mulus dalam dekapanku.     

"Lebih dari itu? Coba sebutkan, kira-kira seperti apa, agar aku bisa mempraktikannya sekarang," bisikku.     

Manis hendak menjauh, tapi tangannya kutahan. Wajahnya yang hendak ia sembunyikan di dadaku pun kutahan, sampai kedua matanya memandangku dengan lekat.     

"Ini di rumah sakit, Kangmas."     

"Hanya cium, ndhak masalah, toh?" bujukku.     

"Kalau sebentar... boleh," ucapnya lagi dengan jawaban menggantung. Kini, kudekatkan lagi wajahku, sampai jarak di antara wajah kami hanya tinggal beberapa inci.     

"Lama saja, hitung-hitung menebus rindu."     

Aku langsung melumat bibirnya, dan Manis ndhak menolak sama sekali. Kuangkat tubuh Manis untuk naik ke atas ranjang, tapi tiba-tiba....     

Krek!     

"Arjun—"     

Aku langsung menoleh, melihat orang yang hendak masuk di balik pintu itu. Rupanya orang itu adalah Romo dan Biung.     

Gusti benar-benar memalukan! Aku tersenyum kaku, sementara Manis langsung menyembunyikan wajahnya di dadaku karena malu. Sementara Romo, dan Biung malah saling tukar pandang sembari mengulum senyum mereka. Pasti setelah ini, aku akan jadi bahan olok-olokan, lihat saja. Aku ndhak percaya jika Romo ndhak melakukannya.     

"Oh, kalian... sedang kangen-kangenan, toh?" kata Romo, seolah menggoda kami. "Ya sudah... ya sudah... orangtua yang sudah puas dengan hal-hal seperti itu mau keluar dulu. Silakan... silakan dilanjut kangen-kangenannya,"     

Dan pintu itu ditutup, membuatku dan Manis hendak melanjutkan adegan yang sempat terputus tadi. Tapi lagi-lagi, tatkala aku mencium bibir Manis, Romo lagi-lagi membuka pintunya. Dasar orangtua sialan ini!     

"Satu lagi pesan Romo, nanti ah uh ahnya ndhak usah keras-keras. Kamar-kamar di sebelahmu bisa mendengar kegiatan panas kalian."     

"Romo!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.