JURAGAN ARJUNA

BAB 227



BAB 227

0Hari ini adalah hari ke lima, setelah aku sadarkan diri dari koma. Dan hari ini aku masih belum boleh pulang. Aku belum berbicara sepatah kata pun, sebab tenagaku masih belum cukup pulih untuk sekadar bekata-kata. Yang bisa kulakukan hanyalah, makan bubur, minum obat, kemudian tidur. Ya, tidur sepanjang hari. Bahkan sampai harus melewati hari-hari yang kurasa sangat menjenuhkan ini.     
0

Kulihat Manis masuk ke dalam ruanganku, dia tampak lelah. Meletakkan tasnya di salah satu kursi, kemudian melepaskan jas putihnya. Itu adalah jas kebanggakan seorang dokter, toh? Jadi, istriku sekarang sudah ditugaskan di sebuah rumah sakit? Di mana? Apa di sini?     

Dia memandangku yang sedari tadi memandangnya, kemudian dia tersenyum. Berjalan mendekat ke arahku sembari mencium keningku.     

"Hari aku kuliah, skripsiku sudah hampir selesai karena aku mengerjakannya lebih awal. Dan aku sudah magang di salah satu rumah sakit untuk keperluan kuliahku, Kangmas. Oh ya, dan tinggal beberapa bulan lagi...," kata Manis tampak terputus, dia mengambil bubur yang ada di meja, kemudian duduk di sebelahku, setelah membenahi posisiku dari tiduran ke duduk. "Sebentar lagi, Widuri akan merayakan tujuh bulanan anaknya," lanjutnya kemudian, menyuapiku dengan bubur yang ada di tangannya dengan begitu telaten.     

"A... aku... ingin... pulang," lirihku. Rasanya tenggorokanku benar-benar terasa sakit, suaraku terdengar serak dan parau.     

Manis memandangku, memerhatikanku dengan seksama untuk sekadar memahami apa maksud dari ucapanku itu.     

"Aku... ingin... pulang," ulangku lagi.     

Sebuah senyum tercetak manis di bibir istriku, kemudian dia mengelus rambutku dengan sayang. Aku menangis, memandang istriku, aku menangis karena dia masih sudi merawatku setelah apa yang kuperbuat padanya. Aku menangis karena dia masih sudi mencintaiku. Untuk Manis istriku, ketahuilah kamu adalah perempuan terhebat di dunia ini.     

"Iya, Sayang... nanti kalau kamu sudah sembuh kita pulang, ya...," jawabnya dengan sangat hangat. "Kamu kenapa menangis? Apa ada yang sakit? Apa perlu aku panggilkan dokter?"     

Manis hendak pergi, tapi kugenggam tangannya erat-erat untuk menahannya. Manis kembali memandangku, kemudian dia mendekat ke arahku. Kucium tangannya, kemudian aku menggeleng, hendak memberitahukan dia kalau aku ndhak butuh seorang dokter. Yang kubutuhkan sekarang hanya dia, itu saja.     

"Aku... ndhak ada yang... sakit," kubilang, Manis kemudian mengangguk paham. "Aku... hanya merasa... bersyukur," rasanya tenggorokanku benar-benar terasa sangat sakit meski hanya mengatakan sepatah kalimat saja. "Karena... memiliki... istri sepertimu."     

"Aku juga, aku juga merasa bersyukur punya suami sepertimu," bisiknya di telingaku. Aku menggeleng kuat, sebab aku merasa jika apa yng dikatakan ndhaklah benar sama sekali. Bagaimana bisa dia bersyukur memiliki suami sepertiku? Suami yang bahkan ndhak ada bagus-bagusnya ini, yang hanya bisa menyakitnya, yang hanya bisa melukai perasaan, dan menduakan cintanya.     

"Jadi, Kangmas cepatlah sehat, ya, nanti kita pacaran. Selama ini kita ndhak pernah pacaran, toh. Jadi, aku ingin tatkala kamu sembuh nanti kita benar-benar akan mengabiskan waktu berdua. Kemana-mana berdua, sampai dunia pun iri kepada kita. Aku ingin menebus semua waktu yang kulewatkan denganmu, Kangmas. Aku ingin menebus semua amarah kita terdahulu. Sebab aku merasa, selama ini waktu berdua kita terlalu sedikit. Kita terlalu sibuk dengan urusan kita masing-masing."     

Aku menganggi menjawabi ucapan Manis, kemudian aku tersenyum. Dia kini kembali tersenyum, kemudian meminumiku air.     

"Oh ya, Kangmas. Rianti kini sudah memiliki anak. Dia akhirnya pulang juga. Katanya rindu kepada Romo, dan Biung. Andai Kangmas tahu kejadian yang mengharukan itu. Bahkan Romo menangis tersedu-sedu, sekarang Romo agaknya sedikit terhibur, dari memikirkanmu setiap waktu. Karena dia sudah ada kawan main, yaitu cucunya. Yang benar-benar sangat manja," Manis kembali bercerita, dan aku mendengarkan dengan sangat setia. "Kemarin itu Abimbanyu meminta gendong Eyang Kakungnya, muter-muter di pelataran depan. Sampai-sampai Eyang Kakakungnya malam harinya minta pijit sama Paklik Sobirin. Tatkala Eyang Kakungnya mau berduaan dengan Eyang Putrinya, Abimanyu merengek minta tidur dengan Eyang Kakung, dan Eyang Putrinya. Andai Kangmas tahu ekspresi Romo saat itu," Manis tampak terkekeh, dan hal itu pun berhasil membuatku ikut tersenyum.     

Abimanyu? Jadi, Abimanyu adalah nama dari anak Rianti? Abimanyu adalah keponakanku.     

"Padahal di pewayangan, Abimanyu itu anak dari Arjuna, ya. Sekarang, di sini Abimanyu anak dari Bima," celetuknya lagi.     

"Iya... jadi bingung, nanti... anak kita... namanya siapa," kataku pada akhirnya.     

Manis kembali terdiam, dia seolah tengah membayangkan sesuatu. Kemudian, dia menghela napas panjang, dan memandang ke arahku.     

"Nanti kita pikirkan, tapi aku ndhak mau nama pewayangan," jawabnya.     

"Kenapa?"     

"Aku melihat dengan jelas seperti kisah konyolmu ini. Tatkala kamu diberi nama Arjuna, dan lihat... apa yang terjadi denganmu? Bahkan, kisah di pewayangan dengan kisah cintamu ndhaklah jauh berbeda. Kamu, terlalu direbuti perempuan-perempuan, dan itu benar-benar membuatku ndhak suka. Kalau perlu, nanti, jika anak kita adalah laki-laki, aku akan memberi nama yang artinya kesetiaan, kesucian cinta, atau bahkan arti yang seorang laki-laki ndhak jadi kejar-kejaran oleh perempuan mana pun, selain perempuan yang benar-benar dia cinta."     

"Lantas, jika anak kita... perempuan?" tanyaku. Dia diam sejenak, seolah-olah tampak berpikir dengan keras. "Aku... ingin menamainya Sinta,"     

"Toh, pewayangan lagi. Sinta, nanti anak kita dibawa kabur Rahwana bagaimana, toh, Kangmas? Bisa-bisa bingung kita mencarinya."     

Aku tertawa mendengar perkataan Manis itu, bahkan rasanya dadaku benar-benar terasa nyeri. Manis langsung gugup, menepuk-nepuk dadaku dengan lembut. Kemudian, dia kembali membantuku untuk minum.     

"Kangmas ini, mbok ya ndhak usah tertawa dulu, toh," marahnya.     

"Kamu.. lucu,"     

"Ya jelas lucu, toh. Istrinya siapa?"     

"Paklik Sobirin?"     

Dia langsung melotot tatkala aku mengatakan itu, kemudian dia menepuk dadaku dengan kasar. Aku kesakitan, buru-buru membuatnya kembali lembut kepadaku. Aku kembali tersenyum melihatnya yang sangat cerewet seperti itu, seolah-olah hatinya benar-benar sedang bahagia, seolah-olah rasa lelah yang dia rasakan ndhak ia rasakan sama sekali.     

Pelan, kugenggam tangannya, membuat Manis memandangku dengan bingung, kemudian kukecup lagi punggung tangannya yang mungil itu.     

"Istriku yang cantik... petapa beruntung aku memilikimu... terimakasih. Terimakasih telah sudi bersamaku, terimakasih telah sudi menjadi istriku, dan tetap bertahan denganku... aku mencintaimu," kubilang dengan seluruh ketulusan hatiku.     

Manis mengulum senyum, kemudian dia memandangku dengan tatapan jenakanya itu. Entah apa yang hendak dia katakan, aku benar-benar ndhak tahu, tapi aku cukup penasaran dengan hal itu.     

"Mencintaiku dengan sepenuh hati?" tanyanya, aku mengangguk. "Janji ndhak bakal terjerat perempuan lain lagi?" tanyanya lagi, aku kembali mengangguk. Rasa bersalah kembali menyeruak di dadaku dengan sangat nyata. "Janji ndhak akan sakit-sakit lagi?" aku kembali mengangguk, kini aku kembali tersenyum mendengar pertanyaannya itu. "Janji akan selalu di sisiku selamanya?" aku kembali mengangguk. "Janji akan sabar menghadapi sikapku?"     

"Iya, Sayang. Apa pun, aku janji."     

"Maka, aku juga mencintaimu, Kangmas."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.