JURAGAN ARJUNA

BAB 226



BAB 226

0Aku ndhak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada diriku, sebab semuanya berlalu begitu saja dengan sangat cepat. Bahkan aku merasa jika selama ini aku sehat-sehat saja, tapi bagaimana bisa mendadak aku selemah ini. Ndhak berdaya dan tampak menyedihkan dengan begitu nyata.     

Hingga akhirnya aku kembali sadarkan diri, semua orang yang kukenal berkumpul menjadi satu mengelilingiku. Mereka tampak menangis, seolah aku adalah sosok sekarat yang sebentar lagi akan dijemput oleh mailakat.     

Aku terdiam untuk beberapa saat tatkala telingaku berdengung dengan sangat kencangnya. Kemudian kulihat sosok Romo Adrian beserta Eyang Kakung Marji berdiri di antara orang-orang itu. Dia tersenyum ke arahku. Seolah sedang menyapa.     

Bahkan, aku sendiri ndhak tahu apa yang harus aku lakukan, bahkan rasanya nyawaku ndhak sedang berada di tempat. Aku seperti terpisah oleh ragaku sendiri.     

"Mau bagaimana lagi, Pak, Bu... ini semua karena luka yang didapat dari kecelakaannya yang dulu, yang berdampak sampai sekarang. Mungkin benar jika fisik luar dari Pak Arjuna tampak baik-baik saja, sama seperti orang-orang pada umumnya. Akan tetapi organ dalam terlebih otaknya tidak sepenuhnya seperti orang yang sehat. Ada bekas jahitan di sekitar dada yang terlihat begitu dalam, dan saya lihat juga kepalanya pernah mengalami pendarahan. Sekarang, yang bisa kita lakukan hanya berdoa, semoga Tuhan bisa memberikan keajaiban untuk Pak Arjuna. Akan tetapi, saya juga mau memberi semangat kepada orangtua Pak Arjuna, dan istri dari Pak Arjuna, jika benar operasinya berjalan dengan lancar. Jadi, sabarlah... Pak Arjuna pasti kuat dan bisa melewati ini semua. Dia pasti bisa sembuh, karena banyak orang yang menyayanginya."     

"Lantas... lantas, berapa persem kemungkinan suami saya sembuh, Dok?" kulihat Manis tampak frustasi, matanya yang sembab menatap dokter itu penuh harap.     

Lama sang dokter hanya diam, dia ndhak mengatakan apa pun. Kemudian dia menjawab, "kadang keajaiban selalu ada bagi orang-orang yang selalu berdoa."     

Setelah mengatakan itu, sang dokter lantas pergi keluar dari ruangan. Membuat semua orang menangis sesugukan.     

"Pak, Bu, sebenarnya saat pasien sedang kritis tidak boleh dijenguk oleh banyak orang. Cukup satu orang saja yang mau menjaga pasien di dalam. Yang lainnya boleh keluar."     

"Aku ndhak mau! Siapa kamu berani-beraninya memerintahku! Aku adalah seorang Romo yang ingin menemani putranya, jadi jangan pernah kamu memerintahku! Paham kamu!" bentak Romo kepada seorang perawat yang ada di sana.     

Perawat itu tampak berbisik kepada kawan lainnya, untuk kemudian mereka memilih untuk keluar. Mungkin dia pikir, percuma memberitahu Romo, sebab mungkin ada puluhan orang pun ndhak akan membuat Romo untuk bergegas keluar dari ruangan ini.     

Kupandang lagi semua orang yang ada di sana, aku tampak kaget tatkala melihat ada Rianti, juga Bima. Dan di antara mereka ada sosok anak laki-laki kecil yang wajahnya sangat bagus (tampan), anak laki-laki kecil itu memeluk kaki Bima dengan sangat erat.     

Aku kembali tersenyum melihat pemandangan itu. Apakah itu anak dari Rianti, dan Bima? Jika iya, maka aku akan sangat bahagia. Sebab akhirnya ternyata keduanya benar-benar telah disatukan oleh cinta. Hubungan yang awalnya kuharap ndhak mungkin terjadi, kini telah bersatu dalam satu ikatan suci, dan dikaruniai seorang anak selucu itu. Jadi, itu adalah keponakanku?     

"Arjuna bangun, toh! Ini Biung, Arjuna," tangis itu tedengar menyayat telinga membuat siapa pun yang mendengarkannya terluka. Untuk kemudian, tubuh Biung terkulai lemah ndhak sadarkan diri, membuat Romo panik luar biasa.     

Romo, Rianti, dan Bima berusaha mengurusi Biung, segera keluar dari ruanganku untuk meminta pertolongan pertama. Untuk kemudian, hanya tersisa Manis, yang terus diam dalam isakannya sembari menggenggam tanganku erat-erat. Dan di sisi lain, Romo Adrian pun berpamitan, seolah dia memberiku waktu untuk berdua dengan istriku. Namun sepertinya percuma, ragaku benar-benar tampak terkapar ndhak berdaya.     

"Kangmas, kamu tahu... tadi kamu sempat sekarat, kamu kejang-kejang, dan itu benar-benar membuat kami ketakutan. Takut jika terjadi sesuatu yang fatal kepadamu, dan lebih dari itu semua adalah, takut jika kami terpaksa harus kehilanganmu. Romo, dan Biung pasti akan sangat hancur. Termasuk aku juga," Manis meundukkan wajahnya, kini punggungnya bergetar hebat, air matanya menetes dengan begitu deras di punggung tanganku, dan entah kenapa aku merasa hangatnya cairan bening itu.     

"Kamu harus bangun, Kangmas... harus. Apa kamu ndhak kasihan dengan orangtuamu, yang bahkan semenjak kamu dibawa ke sini sampai sekarang mereka ndhak mau makan, atau tidur barang sebentar. Sampai-sampai aku takut jika mereka akan ambruk. Dan kamu... dan kamu bisa lihat, toh, Biung ndhak sadarkan diri karena tenaganya sudah diluar batas, dan dipaksa untuk selalu di sisimu, menemanimu. Biung sudah merasakan kehilangan Romo Adrian, laki-laki yang begitu dia cinta. Jadi sekarang, apa kamu tega melihatnya kehilangan lagi, Kangmas? Satu-satunya keturunan dari Romo Adrian, satu-satunya tanda cinta yang Biung miliki. Apa kamu ingin melihat kehancuran Biung lagi?"     

Manis kini terdiam, dia seolah ingin menata hatinya lagi, kemudian dia memandang wajahku, dengan rasa frustasinya itu. Kini, air matanya kembali terjatuh, napasnya terdengar begitu sesak. Dan itu benar-benar sangat menyakitkan. Ingin sekali aku mengusap pipinya, tapi aku ndhak bisa, ingin sekali aku memeluk dan menenangkannya, tapi aku juga ndhak bisa. Aku hanya bisa melihat perempuan yang kucintai menderita, dan ini lagi-lagi karena ulahku. Aku... adalah sang pendosa yang luar biasa.     

"Sampai kapan... sampai kapan kamu hendak menghukumku seperti ini, Kangmas? Ndhak puaskah kamu telah membuatku menangis karena perempuan jahat itu? Lantas sekarang kenapa Kangmas tega membuatku menangis untuk kesekian kalinya? Ndhak puaskah Kangmas membuatku ketakutan kehilanganmu tatkala Kangmas lebih memilih perempuan itu? Lantas kenapa sekarang Kangmas ingin meninggalkanku lagi? Apa yang sebenarnya yang Kangmas mau? Apa yang sebenarnya yang Kangmas inginkan? Apa jangan-jangan, Kangmas sebenarnya ndhak mencintai aku? Itu sebabnya Kangmas lebih memilih pergi dari pada untuk singgah bersamaku? Di sisiku selamanya, Kangmas? Iya!"     

Manis langsung menangis meraung, sembari menyembunyikan wajahnya di perutku. Aku benar-benar ndhak tahu, jika dia sampai sefrustasi ini. Hatiku benar-benar terasa sakit, hatiku benar-benar terasa sangat hancur, tatkala melihat perempuan yang kucintai sampai seperti ini karenaku. Dan di luar pintu kaca sana, kulihat ada Widuri, matanya pun ikut sembab, memandang ke arahku tanpa kedip. Dia menangis dalam diam, untuk kemudian dia... pergi.     

Gusti, apa yang sebenarnya tengah engkau siapkan untukku? Apakah aku benar-benar akan mati sekarang? Tapi rasanya, melihat ini semua aku benar-benar ndhak bisa. Gusti, bisakah aku tarik lagi ucapanku beberapa waktu yang lalu ketika aku ingin tinggal bersama Romo karena aku merasa lelah? Aku ingin sekali lagi berjuang bersama dengan mereka. Gusti, aku mohon... sudilah kiranya engkau memberikan kesempatan itu lagi denganku. Aku masih ingin menghabiskan waktuku dengan orangtuaku, aku masih ingin menghabiskan waktu dengan istriku. Aku ndhak mau membuatnya menangis lagi karenaku, aku ndhak mau membuatnya hancur lagi karenaku. Dan kumohon Gusti, tolong kabulkanlah permintaan egoisku ini.     

Dan lagi, tiba-tiba aku merasa seperti tercekik, Manis tampak kaget tatkala alat yang menyambung pada tubuhku itu berbunyi dengan sangat nyaring. Dia berteriak histeris minta pertolongan, teriakannya mulai menggila sembari terus menggoyangkan tubuhku, serta memanggil namaku berkali-kali. Aku bahkan ndhak tahu apa yang harus kulakukan, sebelum kesadaranku benar-benar... menghilang.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.