JURAGAN ARJUNA

225



225

0"Perempuan seperti itu, seharusnya kamu pertahankan, bukan malah kamu tinggal."     

Aku langsung bersimpuh di kaki Romo Adrian, aku merasa telah berpikir sangat sempit. Sehingga semua yang ada di dalam otakku semua keliru. Benar, sejatinya apa yang dikatakan oleh Romo Adrian adalah benar adanya, jika sejatinya aku terlalu sempit menilai Manis. Aku terlalu cetek dan ndhak mempercayainya. Padahal dulu, sebelum ini, dia dengan diam mencintaiku dengan segala keanggunannya. Tanpa ucap, tapi cinta itu selalu ia jaga meski aku selalu bercumbu dengan yang lainnya.     

"Romo, maafkan aku, toh. Entah kenapa aku merasa aku bukanlah anak Romo. Aku sama sekali ndhak bisa mewarisi sifat-sifat terpuji Romo. Pikiranku terlalu dangkal dalam melihat sebuah permasalahan. Lebih-lebih itu adalah mengenai permasalahan hati. Lantas, Romo... apa yang harus aku lakukan? Aku benar-benar merasa sebagai manusia buta, sekarang."     

Romo berjongkok, kemudian dia menuntunku untuk berdiri. Sembari mengelus punggungku dengan sangat lembut. Kemudian dia tersenyum dengan begitu hangat.     

"Bukankah sudah Romo katakan, kalau penilaianmu terhadap masalah hati benar-benar mewarisi sifat biungmu? Lebih-lebih dulu, tatkala biungmu sedang mengandungmu. Jangankan ada perempuan yang bercakap dengan Romo, ada nyamuk perempuan gigit kulit Romo saja pasti dicemburui," aku tersenyum mendengar ucapan Romo itu. Masak toh Biung sampai secemburuan itu? "Namun kamu jangan pernah bilang jikalau kamu ragu dengan garis keturunanmu. Romo adalah romomu, itu terbukti dari wajahmu yang Gusti Pangeran berikan mirip Romo, toh? Caramu berinteraksi dengan orang-orang bawah, caramu berpikir, dan ndhak pernah sekalipun membeda-bedakan orang, percayalah itu semua adalah warisan dariku. Meski kadang, ketus dan berkata kasar juga merupakan ciri khasmu. Namun bagaimana lagi, toh. Kamu memiliki dua Romo, jadi ndhak salah jika semua watak kedua romomu menempel pada dirimu. Watak yang kamu bawa sedari lahir, dan watak yang terbentuk karena kamu diarawat oleh seseorang. Dan semua itu, ndhak ada yang salah, Arjuna. Karena setiap orang punya ciri khasnya sendiri."     

Aku kembali diam mendengarkan ucapan Romo itu, bahkan untuk perkara kecil aku ndhak pernah sadar sama sekali. Aku kemudian mengajak Romo untuk duduk, menyaksikan dalam diam tangisan pilu dari sosok Manis itu. jika benar dia sedang sesakit ini karena rasa takutnya atas kehilanganku, maka kembali bukankah hal yang tepat untuk kulakukan sekarang? Namun, apa yang aku beratkan di sini? Aku menoleh ke arah Romo Adrian, aku tahu ini salah, aku tahu ini keliru. Berada di alam yang ndhak seharusnya aku berada sampai berkali-kali. Namun sejatinya, tatkala aku sadar, tatkala aku bangun yang kutakutkan hanya satu. Jika aku ndhak mampu kembali menembus alam ini, bahwa aku ndhak mampu bertemu dengan romoku lagi untuk selama-lamanya. Aku ndhak ingin itu. Sebab bagaimanapun, aku baru saja bertemu dengan Romo. Bagaimana bisa aku harus berpisah dengannya lagi untuk selama-lamanya?     

"Jadi, apakah aku harus kembali, Romo?" tanyaku yang agaknya masih meragu. Kulihat wajah Romo dengan sangat rinci agar tatkala aku rindu dan mungkin aku ndhak bisa kembali akan kubingkai wajah itu di dalam hati. Tatapannya, senyumnya, dan perlakuan hangatnya, akan senantiasa kukenang selalu. Aku jadi paham, aku jadi tahu apa yang dirasa oleh Biung sekarang. Dan pantas saja Biung sampai detik ini sangat mendamba Romo meski Romo sudah ndhak ada, dan meski dia sudah memiliki suami lainnya. Sebab bagaimanapun, sosok Romo Adrian ndhak akan pernah bisa tergantikan.     

"Kembalilah, mereka sangat membutuhkanmu sekarang. Tugasmu masih banyak, Le. Perjalananmu masih panjang. Jadi, kamu harus melewati apa pun yang akan kamu hadapi dengan kuat, ikhlas, dan sabar. Sebelum Gusti Pangeran menyuruhmu untuk... pulang."     

Aku mengangguk menjawabi ucapan Romo, kemudian aku berjalan mendekat ke arah sosok yang mirip Manis itu. pelan-pelan dinding yang ndhak tambak itu menghilang, sehingga menyisakan sosok Manis dengan sangat nyata sekarang. Aku berjongkok tepat di sampingnya yang tengah bersimpuh, sembari memandang wajahku sendiri yang tampak terkulai lemah sembari memejamkan matanya rapat-rapat. Kupandang lagi Manis yang masih menangis. Sepertinya, dia bahkan ndhak bisa melihatku barang sekejap.     

"Apa kamu benar-benar mencintainya?" kutanya. Tapi, Manis sama sekali ndhak menjawab. Jadi benar, dia ndhak melihat keberadaanku sama sekali.     

Aku tersenyum kecut sembari terus menemaninya. Untuk kemudian, tiba-tiba aku merasa seperti terseret sebuah pusaran. Tubuhku seperti ditarik dengan magnet yang sangat kuat. Kemudian dihempaskan begitu saja dengan cara yang menyakitkan.     

Hap!     

"Arjuna!"     

"Kangmas!"     

Mataku melotot, napasku terasa tersengal tatkala aku mendengar namaku dipanggil. Bahkan, ada setitik air mata yang terjatuh dari sudut mataku.     

Aku di mana? Apakah aku berada di rumah sakit? Tapi, pandanganku masih benar-benar kabur untuk sekadar mengetahui di mana gerangan aku sekarang.     

Tubuhku rasanya kaku, kepalaku terasa begitu berat. Bahkan jemariku rasanya benar-benar ndhak bisa untuk kugerakkan sama sekali.     

"Kamu sudah bangun, Kangmas?" dan suara lirih itu kembali membangunkanku, kulihat perlahan dari sosok yang kian jelas. Ada Manis, dengan mata sembabnya memandangku dengan penuuh kekhawatiran. Sementara di sisi lainnya ada Biung, dia terus menggenggam tanganku seolah enggan untuk dilepas.     

Kuhelakan napasku lagi, dadaku benar-benar terasa sakit sekali. Untuk kemudian aku melihat pada sekeliling rumah sakit ini.     

"K... kamu," kataku, hendak mengelus pipi Manis tapi aku ndhak kuasa. Akhirnya, Manis menggenggam tanganku, dan meletakkan pipinya pada tanganku. Aku kembali tersenyum karena hal itu, sebab kurasa semuanya kini telah kembali. Cintaku, rumah tanggaku, serta... Manisku.     

Manis langsung memelukku, membuatku terbatuk karena tubuhnya yang menindih dadaku. Tapi untuk sesaat aku ndhak protes lagi, selain mengelus punggungnya dengan kekuatanku yang lemah ini.     

"Maafkan aku, Kangmas... maafkan aku...," kata itt bahkan telah diulang-ulang beberapa kali, seolah mengatakannya sekali saja ndhak cukup membuatnya puas. "Maafkan aku telah membuatmu kepikiran, toh. Maafkan aku karena telah membuatmu menjadi seperti ini, maafkan aku," ulangnya lagi.     

Aku menghela napasku, kemudian Manis langsung melepaskan pelukannya. Kini dia duduk, sembari menggenggam tanganku dengan sangat erat kemudian diciumnya berkali-kali.     

"Sungguh aku ndhak ada hubungan apa-apa dengan dosen itu. Aku benar-benar hanya bimbingan skripsi, ndhak lebih, Kangmas. Namun jikalau Kangmas melihat aku bersamanya dengan kondisi yang ndhak wajar, itu semata-mata karena aku ingin Kangmas tahu bagaimana rasanya jadi aku, bagaimana rasa sakitnya jadi aku, dan bagaimana rasa kecewanya jadi aku. Tanpa aku berpikir, jika apa yang kulakukan malah menambah beban pikiran Kangmas, yang mengakibatkan Kangmas jadi jatuh sakit seperti ini. Maafkan aku."     

Aku mengangguk lemah menanggapi ucapan dari Manis, tapi tiba-tiba napasku seperti tercekat, bahkan aku ndhak bisa napas sama sekali. Mataku terasa sangat panas sekadar menahan rasa sakit ini, dan pada akhirnya semuanya menjadi... gelap.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.