JURAGAN ARJUNA

BAB 224



BAB 224

0Sejenak Romo terdiam mendengar ucapanku itu, dan rahangnya tampak mengeras. Aku sama sekali ndhak tahu tentang apa yang dia pikirkan. Namun kurasa, melihat mimik wajahnya yang tampak kaku itu, dia benar-benar sedang ndhak senang.     

Lalu, kudengar suara isakan perempuan. Jauh... sangat jauh sampai aku ndhak tahu siapa perempuan itu. Yang kulihat hanyalah, sosoknya kini tengah terduduk, sambil menangisi seseorang yang sedang terkulai lemah di atas tanah. Tangisannya sangat menyayat hati, bahkan sampai membuat semua orang bersedih mendengarnya. Jujur, aku sendiri ndhak tahu, untuk apa sosok itu berada di situ. Menangisi kepergian seseorang yang mungkin bahkan ndhak peduli dengannya. Aku kembali tersenyum kecut, seolah aku tengah berkaca dengan kejadian itu. sekarang, mungkin, aku sedang sekarat, dan apakah Manis akan menangisiku seperti perempuan itu? Atau malah dia akan bahagia? Sebab dia sempat berkata, kematianku adalah hal yang selalu dia doakan setiap waktu.     

"Apa kamu yakin akan keinginanmu itu, Anakku?" tanya Romo setelah lama kediamannya.     

Aku mengangguk pasti, tapi Romo malah tersenyum ke arahku. Seolah-olah aku ini adalah perkara yang sangat lucu.     

"Seumpama jika kamu mati hari ini, apa kamu siap kehilangan semuanya yang ada di dunia? Ya, mungkin kamu ndhak membutuhkan ketenaran sebagai seorang Juragan, sebab saat ini kamu merasa, harta dan tahta telah membuatmu menjadi bahan rebutan dan yang akhirnya, membuat perempuan yang kamu cinta menjauh karena perkara itu. Namun keluarga?" Romo berjalan mengitari tubuhku, kemudian dia berdiri membelakangiku, menghela napasnya sembari mengikat kedua tangannya di belakang punggung. "Apa kamu sudah siap ndhak bertemu dengan biungmu, romomu, adikmu, anak asuhmu, serta... istrimu? Apa kamu ndhak berpikir bagaimana mereka tatkala ndhak ada kamu?"     

"Romo percayalah kepadaku, bahkan jika aku benar-benar mati pun, kehidupan akan tetap berjalan seperti biasanya. Dan kehilangan hanya akan dirasakan sekejap saja. Bahkan atu mungkin, salah satu di antara mereka bahagia jika aku sudah ndhak ada lagi di dunia. Lantas, apa yang membuatku harus takut untuk singgah dengan Romo di sini?"     

"Anakku, Arjuna... sepertinya kamu telah salah kaprah. Sadar ndhak kalau apa yang kamu lakukan ini namanya adalah egois?" kata Romo. Aku terdiam, ndhak paham dengan ucapan Romo Adrian. "Apa kamu pernah sekali saja berpikir, bagaimana hancurnya hati biung, dan romomu tatkala tahu kalau kamu meninggal? Apa kamu sekali saja berpikir, bagaima dengan kehidupan mereka setelah kamu meninggal? Mereka telah kehilangan anak perempuannya yang pergi entah ke mana. Lantas, kamu memilih dengan cara pengecut pergi begitu saja? Lari dari masalah? Pernah kamu berpikir bagaimana Romo Nathanmu menjalani semua ini? Menghadapi semua masalah ini sendirian? Kehilangan satu-satunya yang bisa membantunya, dan dia harus mengurusi semuanya, ditambah dengan masalah yang terjadi di rumah. Di usia senjanya, apa kamu ndhak merasa kasihan dengan orangtuamu, Arjuna? Terlebih, Romo Nathanmu telah didiagnosa sakit jantung, itu adalah perkara yang serius. Kehilangan orang yang dianggap pegangan, pasti akan benar-benar menghancurkannya begitu saja. Dulu... Romo Nathanmulah yang setia di sisimu, dan biungmu tatkala kalian merasa sangat hancur kehilangan Romo. Ndhak peduli saat itu kalau biungmu telah kehilangan kewarasan, menjadi bahan gunjingan, dan bahkan harus membersihkan kotoran biungmu setiap hari. Untuk setelahnya, dia harus merawatmu, mendidikmu, dan bahkan selalu menjagamu persis seperti dia menjaga anak kandungnya sendiri. Dan sekarang saat semuanya seolah terbalik, kamu yang seharusnya wajib untuk membalas budi sebagai anak untuk berdiri paling kokoh demi romomu, malah-malah ingin pergi hanya sekadar untuk melarikan diri. Arjuna, itu adalah benar-benar hal yang ndhak patut untuk kamu lakukan. Terlebih...," kata Romo terhenti, kemudian dia memandang sosok perempuan yang menangis itu, lalu dia menunjuk dengan dagunya. ��Apa kamu benar-benar ndhak tahu siapa yang ada di sana? Siapa perempuan yang menangis begitu lirih di sana? Apa kamu benar-benar ndhak tahu siapa dia, Arjuna?" tanya Romo.     

Kutoleh sosok itu, kemudian aku menggeleng lemah. Sebab benar, aku ndhak tahu. Jarak pandangku ndhak cukup menembus jarak yang jauh ini. Terlebih, ada seperti sekat yang ndhak kasat mata yang membatasi pandanganku dengan sosok itu. Sekat yang seolah memisahkan antara dunia kami berdua.     

"Jadi, apakah rasa cintamu hanya sedangkal ini sampai kamu ndhak tahu siapa perempuan itu?"     

Mendengar pertanyaan Romo Adrian, aku lantas menoleh. Kukerutkan keningku ndhak paham, kemudian aku kembali memandang sosok itu dengan serius. Lama, lamat-lamat sosok itu kian jelas. Dan mataku langsung terpaku tatkala tahu siapa sosok yang tengah menangis tersedu itu. Dia adalah...Manis? Untuk kemudian, aku melihat siapa gerangan sosok yang terbaring di tanah, dan jatungku tiba-tiba berhenti berdetak, tatkala tahu jika sosok itu adalah aku.     

"Itu adalah gambaran dari apa yang telah terjadi sekarang. Saat ini, entah di mana ragamu berada. Tapi, selalu ada dia yang menangisi keadaanmu. Apakah tangisannya menunjukkan kebahagiaan jika kamu pergi dari dunia ini? Apakah tangisannya menunjukkan jika dia mendoakanmu mati setiap hari? Endhak, Arjuna... endhak. Tangisannya bahkan bisa Romo rasakan dengan sangat pilu. Tangisan penuh cinta dan kekhawatiran. Tangisan takut akan kehilangan orang yang dia cintai. Apa kamu ndhak bisa sedikit saja mencerna apa yang telah Romo katakan beberapa waktu yang lalu?"     

Aku menundukkan wajahku dalam-dalam, sepertinya aku sedang salah besar sekarang. Mengenai pandanganku tengang hidup, juga pandanganku tentang Manis.     

"Perempuan tatkala marah, terlebih marahnya itu karena cemburu, maka dia akan mengatakan hal yang sebalinya yang ada pada hatinya. Itu semua bukan berarti jika dia ndhak cinta. Akan tetapi dia hanya meluapkan rasa kecewa yang mendalam karena perilaku orang yang dicinta telah menyakiti hatinya. Dan jikalau istrimu telah berbuat di luar batas sampai membuatmu merasa jika dia benar-benar telah membencimu, bisa saja bukan itu yang dia maksudkan, toh? Mungkin saja dia ingin memberi efek jera kepadamu, dengan dia dekat dengan laki-laki lain, agar kamu bisa tahu apa yang ia rasakan dulu. Agar kamu bisa paham dan mengerti, jika cemburu itu bukanlah perkara yang lucu."     

Mendengar ucapan Romo Adrian, benar-benar membuatku merasa tertampar. Apakah benar apa yang diucapkan oleh Romo tentang kejadian Manis? Apakah karena aku terlalu picik, dan sabarku kurang luas itu sebabnya aku memukul rata Manis seperti perempuan-perempuan lainnya.     

"Kamu tahu Manis lebih dari siapa pun, Arjuna. Apakah kamu pikir, dengan cintanya yang segila itu kepadamu dia akan dengan muda berpaling darimu? Bukankah dulu, tatkala kalian masih berkawan, tatkala rasa cinta itu masih belum bertuan, dia dengan diam, dan tenang menyimpannya dengan sangat apik? Bahkan sampai dia melihatmu bercumbu dengan banyak perempuan dia bahkan masih dengan sangat apik menjaga cintanya tanpa berkurang sedikit pun."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.