JURAGAN ARJUNA

BAB 223



BAB 223

0"Kamu kok begitu, sih," katanya lagi, hendak meraih tanganku tapi kutepis dengan kasar, bahkan sampai dia nyaris terjatuh.     

Kulirik dia dengan tatapan yang benar-benar ndhak suka, entah kenapa meski faktanya dia tengah mengandung anakku pun, rasanya aku sama sekali ndhak ada perasaan iba atau kasihan dengannya.     

"Jangan harap hanya karena di perut sialanmu itu ada anakku, lantas kamu bisa dekat denganku, Widuri. Sebab, sampai detik ini aku masih mengingat dengan jelas kebusukanmu untuk mendapatkan itu semua. Dan di mataku, bayimu itu tidak lebih hanya alat yang kamu akan gunakan untuk menggerogoti hartaku," setelah mengatakan itu, aku langsung pergi. Masuk ke dalam kamar kemudian membanting pintu dari dalam.     

Ada sebuah langkah masuk, membuka pintu itu kemudian menutupnya. Apakah Widuri sekarang telah lancang sampai dia masuk ke dalam kamarku?     

"Sudah kubilang, bahkan sampai kamu dan anak sialanmu itu mati jangan harap bisa mendapatkan iba dariku, paham kamu!"     

Bentakku, yang masih memunggunginya. Tapi, ndhak ada balasan sama sekali. Aku menoleh, ternyata yang masuk bukanlah Widuri, melainkan Manis.     

Kenapa dia masuk ke kamar, apakah ada barangnya yang barangkali tertinggal? Aku langsung mengabaikannya, memilih untuk duduk di atas ranjang sembari memijat pelipisku yang tiba-tiba terasa sangat sakit. Ini, hari ke berapa aku ndhak bisa tidur? Sampai kepalaku terus pusing seperti ini.     

"Apa maksudmu berkata itu di depan Romo seperti tadi?" tanyanya, ternyata dia masih ndhak terima dengan apa yang kukatakan, toh.     

Aku ndhak menjawabi ucapannya, selain terus memijat kepalaku. Rasanya, bumi seperti berputar-putar membuatku nyaris kehilangan kesadaran diri.     

"Kamu berkata jika aku ini telah lancang membawa laki-laki ke rumah ini. Apakah kamu pikir, kamu itu ndhak lancang membawa perempuan ke rumah ini?"     

"Apa kamu pikikir... perempuan itu kubawa ke sini dengan keinginanku?"     

"Bukankah dulu dia pergi ke sini denganmu? Kamu jangan lupa atas kesalahanmu, Arjuna. Dan sekarang seolah kamu memutar-balikkan fakta, aku baru tahu kalau kamu adalah laki-laki paling egois yang pernah aku temui. Tatkala kamu melakukan kesalahan, kamu seolah berharap alam semesta untuk memaafkan dan memaklumi kesalahanmu. Namun, tatkala ada orang lain yang berbuat salah, kamu mengadili seolah-olah dia adalah pendosa yang paling kotor di dunia."     

Manis memandangku dengan bengis, tapi tatkala dia melihatku berjalan sempoyongan membuatnya kaget. Dia hendak menyentuh lenganku, tapi aku menepisnya.     

"Ndhak usah sentuh-sentuh! Bukannya kamu ndhak mau aku sentuh!" bentakku.     

Aku hendak keluar dari kamar, tapi rasanya letak pintu itu menjadi semakin jauh dan berputar. Manis berjalan cepat, hendak menghadangku. Tatapannya tampak kaget melihat keadaanku.     

"Kamu mau ke mana? Duduk!" perintahnya, tapi kuabaikan. ��Wajahmu pucat, Arjuna! Kamu mimisan!"     

"Peduli apa kamu! Sudahlah, kamu sudah ndhak peduli denganku. Seharusnya kamu sekarang pergi pacaran, toh!"     

"Arjuna!"     

Aku kembali berjalan, tapi semakin lama tubuhku semakin terasa sangat ringan. Hingga akhirnya....     

Bruk!!     

"Kangmas!"     

*****     

"Kenapa kamu ke sini lagi, Le?"     

Aku berjalan mendekat, kemudian memeluk sosok yang sedang bicara itu. Entah kenapa, aku merasa lebih nyaman di sini.     

"Aku rindu Romo," kubilang.     

"Kamu ini benar-benar seperti anak kecil," ujar Romo lagi.     

Aku ndhak menjawabi, sebab kurasa apa yang Romo ucapkan adalah benar adanya. Aku benar-benar seperti anak kecil, memang. Bahkan untuk menyelesaikan perkara seperti ini saja aku ndhak bisa, apalagi perkara lainnya. Hanya karena perkara kesalahanku, kemudian aku cemburu aku ndhak bisa menyelesaikannya dengan dewasa.     

"Kamu ini, bisa mengurus perkebunan dengan baik. Bisa mengurus para abdi dan pekerjamu dengan baik. Bahkan sekarang kamu melangkah untuk membangun sebuah pabrik dengan baik. Tapi rupanya, untuk masalah hati kamu benar-benar mewarisi hati biungmu,"     

"Entahlah, Romo. Sejatinya, yang paham dengan watak, dan sifat Biung adalah Romo. Jika Romo mengatakan itu, bisa jadi aku benar-benar mewarisi gen hati Biung. Tapi kurasa, di dekat Romo, Biung ndhak mungkin bisa bersikap seegois ini. Biung pasti akan merasa aman dan nyaman. Iya, toh?"     

Mendengar pertanyaanku itu, Romo pun tersenyum. Kemudian dia menghela napas panjangnya.     

"Dulu... dulu sekali, biungmu sempat cemburu, dengan istri-istri Romo sebelumnya. Dan karena cemburnya membuat Romo hilang akal, memperkenalkannya begitu saja kepada istri-istri Romo. Kamu tahu, biungmu adalah pencemburu yang ulung."     

Aku sama sekali ndhak menyangka, jika sejatinya Biung bisa bersikap seperti itu juga. Biung seorang pencemburu yang ulung? Ah, jadi penasaran ingin melihatnya tatkala Biung cemburu dengan Romo.     

"Bukankah kamu seharusnya kembali? Ada banyak orang yang mengkhawatirkanmu sekarang, Le."     

"Aku lelah, Romo... aku mau istirahat," jawabku. Romo tampak memandangku dengan tatapan hangat itu. Mungkin Romo bingung, perkara lelah yang aku maksudkan itu.     

"Jika lelah istirahatlah," jawabnya. Aku tersenyum getir mendengar ucapannya, kemudian kudongakkan wajahku ke atas, untuk memandang langit luas.     

"Romo di otakku sedang banyak sekali masalah yang kupikirkan. Bagaimana perkebunan bisa berkembang dan bisa mensejahterakan masyarakat kampung, bagaimana dengan nasib pabrik yang kubangun, apakah akan sukses? Sebab aku telag bertaruh banyak untuk pabrik itu. Di mana gerangan Rianti, yang sama detik ini ndhak aku temukan keberadaanya. Ditambah masalahku dengan Manis. Memikirkan semua masalah ini, bahkan membuatku nyaris ndhak bisa memejamkan mata, Romo. Aku berpikir, jika mungkin aku berhenti, jika mungkin aku bisa memilih, aku ndhak mau terlahir sebagai seorang Juragan, aku ndhak mau terlahir sebagai seorang Arjuna. Karena, kurasa semua pokok masalah ini adalah karena aku anak seorang Juragan, kaya raya, punya kedudukan. Hal itu yang membuat semua orang ingin berada di sampingku, ndhak peduli suka atau ndhak suka. Ndhak peduli dengan melakukan cara apa pun. Dan itu benar-benar membuatku lelah, Romo," sejenak aku terdiam, kemudian menghirup napas dalam-dalam. Rasanya, dadaku benar-benar sangat sesak memikirkan hal ini.     

"Andai aku adalah pemuda biasa, pasti semua hal ndhak akan sesulit ini, toh. Pasti aku bisa bahagia dengan perempuan yang kucinta, tanpa ada satu orang pun yang bisa mengusiknya. Pasti aku ndhak perlu memikirkan nasib banyak orang, dan lain sebagainya. Itu benar-benar membuatku lelah."     

"Lantas, apa yang sekarang kamu inginkan, Le?" tanya Romo pada akhirnya. Dia memandangku, seolah-olah dia akan mengabulkan apa pun yang aku mau.     

"Apa yang aku mau, Romo?" tanyaku dengan nada putus asaku. "Apakah jika aku mengatakan apa yang aku inginkan semuanya benar-benar akan berakhir seperti yang kumau?"     

"Kalau kamu ndhak mengatakan apa yang kamu inginkan, mana mungkin Romo tahu, toh, Le."     

Kutelan ludahku tatkala Romo mengatakan hal itu, kemudian kupandang dia dengan tatapan nanarku.     

"Biung sudah bahagia dijaga dengan Romo Nathan yang dia cinta. Mungkin, sekarang Biung sudah ndhak perlu aku, toh, Romo. Jadi tugasku sudah diwakili oleh Romo Nathan...," kataku membuka suara. "Jadi, aku mau di sini saja. Aku mau sama Romo saja,"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.