JURAGAN ARJUNA

BAB 222



BAB 222

0"Apa Romo ndhak berpikir, jika cinta Biung kepada Romo masihlah sama? Hanya saja yang membuat beda adalah, rasa kecewa Biung yang mendalam kepada Romo? Sehingga membuat Biung menjadi seperti ini. Terlihat ndhak peduli, dan dingin. Tapi, itu karena dia sangat mencintai Romo."     

"Entahlah, Ndhuk. Romo juga ndhak tahu. Kurasa semua orang di rumah ini pun ndhak buta, perkara apa yang telah kulakukan. Namun pun, semua orang di sini juga tahu, jika yang kulakukan bukan karena inginku. Dan semua yang telah kuusahakan untuk berbaikan dengan biungmu. Namun, laki-laki adalah laki-laki, Ndhuk. Mereka memiliki karakter, dan sifatnya sendiri. Bisa saja dia akan terus memohon sampai putus asa agar dia mendapatkan maaf dari perempuan yang dia cinta. Akan tetapi, jika terus didingini, dan dibalas dengan hal yang menyakitkan hati lainnya maka laki-laki itu pasti akan memilih mundur. Bukan karena mereka ndhak ingin meminta maaf atau merasa jika mereka sudah lelah dengan apa yang telah diusahakannya. Hanya saja, mereka berpikir jika apa yang telah mereka lakukan itu percuma. Kamu tahu, laki-laki itu egoistis, itu sebabnya mereka disebut sebagai kaum laki-laki."     

Ningrum agaknya menundukkan wajahnya, sepertinya dia cukup frustasi dengan perkara yang aku, dan Manis hadapi saat ini. Aku yakin, sebagai seorang anak, jika mau ndhak mau, sadar, ndhak sadar, sebenarnya dialah yang pada akhirnya menjadi korban atas apa yang terjadi sekarang.     

"Ndhuk...," kataku pada akhirnya yang membuat Ningrum memandangku. "Kamu ndhak perlu cemas, ndhak usah kamu memikirkan hal-hal yang ndhak perlu. Fokus saja pada sekolahmu, menjadi anak yang pintar, dan sukses. Fokus pada semua yang ingin kamu raih. Satu hal yang Romo janjikan kepadamu, kalau Romo, dan Biung ndhak akan kenapa-napa, ndhak akan ada kisah Bapak dan Emakmu akan terulang lagi, ndhak akan ada kisah perkara saling menyakiti, dan bahkan berpikir sampai bercerai. Percayalah."     

"Apakah Romo tahu, jika hal yang lebih menyakitkan dari pada menyakiti fisik adalah perang batin? Sebab luka yang disebabkan oleh sakit hati, jauh lebih menyakitkan dan susah hilang dari pada luka yang diperoleh bagian luar tubuh kita mana pun, Romo."     

"Romo tahu," aku kembali tersenyum kepada Ningrum. "Dan Romo janji, hal itu ndhak akan terulang lagi."     

"Tapi—"     

"Nah sekarang, pekerjaanmu kan masih banyak. Ayo kita selesaikan, setelah itu kamu tidur. Dan besok Romo akan mengantarmu bertemu kawanmu itu, memberikan pekerjaanmu ini dan meminta izin untuk tambahan libur. Bagaimana?"     

"Siap, Romo!"     

Dan setelah percakapan yang ndhak ada gunanya ini, aku kembali sibuk dengan pekerjaan-pekerjaan sekolah Ningrum. Atau malah aku merasa, jika pekerjaan-pekerjaan sekolah Ningrum ini adalah bentuk dari pelarian dari semua rasa sebalku kepada Manis tadi. Rahangku kembali mengeras tatkala mengingat Manis, dengan manja diantar pulang oleh dosen itu, kemudian pintunya dibukakan oleh dosen itu. Apa dia ndhak ada otak? Apa dia barang sebentar ndhak bisa berpikir? Ini rumah siapa? Kenapa dia sangat lancang membawa laki-laki lain pulang? Kurang ajar!     

*****     

Sore ini, aku, Ucup, Suwoto, dan Romo baru saja pulang dari meninjau pabrik yang sekarang sudah dalam tahap pembangunan. Kami memutuskan untuk bercakap-cakap sebentar di teras rumah. Sembari menikmati sore kami yang indah. Indah, karena aku baru saja bertemu dengan orangtua Bima, dan aku ndhak mendapatkan kabar apa-apa.     

Aku hendak menyanyakan kabar Bima, dan Rianti yang barangkali mereka tahu. Akan tetapi, sebelum aku bertanya, merekalah yang bertanya terlebih dahulu. Jadi sudah jelas jika, Bima, dan Rianti juga ndhak izin kepada orangtua Bima untuk minggat. Oh ya, aku lupa. Namanya juga minggat, bagaimana bisa mereka meminta izin? Yang ada namanya itu bukan minggat. Tapi, jalan-jalan, toh.     

"Jadi setelah ini, kita tinggal menunggu ha-hal penting lainnya selesai, toh? Untuk pengerjaannya pasti butuh waktu yang lebih panjang dari perkiraan kita?" Romo tampak membuka suara.     

Aku hanya mengangguk pelan menjawabi ucapannya, tanpa mengeluarkan suara. Sebab mulutku sudah penuh dengan kacang asin yang kubeli di terminal tadi.     

"Kita juga harus membeli alat yang paling modern, Juragan. Sebab pabrik kita ini, adalah inovasi terbaru. Kalau kita tidak membeli alat-alat baru yang modern, nanti akan ketinggalan zaman," kata Ucup dengan mimik wajah yang sangat serius.     

"Itu bagianmu, kamu harus mencari di mana alat itu bisa dibeli. Dan yang dibutuhkan adalah alat apa saja. kamu bisa membahas ini dengan Arjuna, dia yang sering meninjau pabrik yang ada di Kemuning. Jadi, dia lebih paham perkara hal-hal yang seperti ini."     

"Baik, Juragan."     

"Nanti... nanti kita bahas ini. Kamu siapkan rincian anggaran dananya untuk tahap kedua," kataku pada akhirnya.     

"Juragan...," kata Ucup, aku menarik sebelah alisku, sembari menatapnya. Mengalihkan perhatianku pada map yang sedari tadi telah kuteliti. "Padahal Juragan saat ini sedang ada masalah yang cukup besar. Tapi, Juragan sangat profesional dalam mengerjakan proyek ini. Aku salut."     

"Itu sebabnya dibutuhkan pemikiran dewasa, tidak boleh mencampur-adukkan masalah pribadi, dan masalah pekerjaan, Cup," jawabku sekenanya.     

Kami menoleh, tatkala melihat Manis keluar dari rumah. Dan seperti biasa, dia mengenakan pakaian bagusnya, memakai tas, dan kini... berdandan?     

Aku mengabaikannya, dan memilih sibuk dengan pekerjaanku, siapa peduli dia mau apa. Toh, dia sama sekali ndhak peduli denganku.     

"Mau ke mana, Ndhuk? Kok ayu (cantik) benar?" tanya Romo.     

Manis tampak menunduk, sembari begerak-gerak gelisah. Kemudian dia menjawab, "mau bimbingan skripsi, Romo."     

"Lho, ini kan libur kuliah, Manis? Bimbingan skripsi apa? Dengan dosen siapa? Lagi pula, pengajuan judul bukannya baru dilakukan saat semester awal nanti?"     

Dadaku semakin aneh tatkala Ucup mengatakan hal itu, sebab aku merasa, semua kejanggalan yang ada di otakku endhaklah keliru sama sekali. Antara Manis yang lugu dan diperdaya oleh dosen bangsatnya itu, atau bimbingan skripsi hanyalah sebuah alasan semata agar dia bisa pergi keluar dengan laki-laki laknat itu. Aku sampai ndhak habis pikir, apa yang disukai Manis dengan laki-laki itu? Sudah jelek, pendek, wajahnya ndhak ada bagus-bagusnya sama sekali.     

"Sudahlah, Cup, kamu tidak usah bertanya. Yang dia lakukan bukan bimbingan skripsi, tapi pacaran dengan dosen jelek itu. Jadi, biarkan, abaikan saja dia."     

"Apa maksudmu?" tanya Manis yang seolah ndhak terima dengan apa yang kukatakan itu. Tapi, melihatnya ndhak terima itu malah-malah terdengar begitu lucu. Aku sampai ingin bertepuk tangan kepadanya sekarang. Sungguh benar-benar dia pandai berlakon (ekting) sekarang.     

"Sudahlah, ndhak usah marah. Bukannya kamu bahagia dengan dosen itu, toh buktinya kamu diantar sampai pulang, kan, semalam? Aku ndhak apa-apa, hanya lucu saja, seorang perempuan bersuami terlebih dia adalah seorang istri dari Juragan yang seharusnya terhormat itu, bisa-bisanya diantarkan pulang oleh seorang laki-laki yang bukan siapa-siapanya."     

"Kamu—"     

"Sudah, berhenti bedebat. Ndhak malu apa, toh, dilihat orang banyak? Ini urusan rumah tangga kalian!" marah Romo pada akhirnya. "Ya sudah, Ndhuk. Kamu berangkatlah, di sini ada suami yang harus kamu jaga kehormatannya, dan Romo percayakan semua itu kepadamu. Kamu bukan anak kecil lagi, kamu juga bukan dalam pengaruh guna-guna atau pelet apa pun. Jadi, Romo harap kamu paham dengan maksud Romo."     

Sebelum Manis pergi, aku langsung masuk ke dalam, lebih baik aku di kamar dari pada harus melihat wajah Manis.     

"Arjuna sayang, tunggu...," kata Widuri, yang berdiri tepat di hadapanku, seolah dia sengaja menghalangi langkahku. "Kamu mau ke mana? Mau aku temani?"     

"Pergi saja kamu ke neraka!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.