JURAGAN ARJUNA

BAB 230



BAB 230

0"Sayang, ini... semur tempe, dan bali telur kesukaanmu,"     

Sekarang, kami sedang berada berada di ruang makan. Sedang makan siang yang benar-benar telah kesorean.     

Aku, mengambil beberapa semur tempe dan telur bali, kemudian kuletakkan di piring Manis. Tapi, apa yang dilakukan Manis benar-benar di luar dugaan, dia menyingkirkan piring itu, kemudian mengambil piring kosong yang baru. Lalu, dia mengambil lauk lainya. Bukan lauk kesukaannya.     

Semua orang yang ada di tempat itu tampak diam, kemudian mereka memandangku dan memandang Manis bergantian. Aku tahu, pasti mereka tengah berpikir atas reaksi dari Manis. Dan hal itu benar-benar membuatku malu luar biasa. Sebab jujur, baru masalah ini, aku melihat Manis benar-benar seperti anak kecil. Biasanya, dia akan menyimpan masalah rumah tangga kami sendiri, biasanya dia akan bersikap dewasa. Tapi sekarang....     

"Arjuna, jika perempuan itu tidak mau makan dengan lauk yang sudah kamu siapkan, sini untukku. Aku juga akan sangat senang kalau kamu mau menyuapiku. Percuma kamu menyuapi orang yang tidak mau kamu suapi, kan?"     

Aku langsung diam, memandang Widuri dengan garang. Dia ini apakah ndhak pernah barang sebentar untuk mengaca? Memangnya dia pikir, siapa yang membuat istriku sampai semurka ini kepadaku? Dia... ya, dia!     

Aku langsung berdiri, kemudian memilih untuk pergi. Percuma saja aku ada di sini. Berusaha bersikap manis pun diabaikan, tapi malah ada pengganggu yang jauh lebih menyebalkan.     

*****     

"Bagaimana, apakah Romo sudah sangat pantas untuk menemani putri Romo bertemu dengan kawan-kawannya?" tanyaku.     

Ningrum kini tampak bersedekap, kemudian dia memandangku dari atas sampai bawah. Untuk kemudian, dia mengacungkan dua jempol tangannya, sembari tersenyum sangat lebar.     

"Romo benar-benar luar biasa!" kata Ningrum semangat.     

"Biungmu ndhak kamu ajak?" tanyaku pada akhirnya. Ningrum kini cemberut, aku ndhak tahu apa yang terjadi kenapa dia sampai cemberut seperti itu.     

"Biung ndhak mau, Romo. Biung mau cepat-cepat menyelesaikan skripsinya, untuk cepat lulus dan kembali ke Kemuning."     

Aku mengangguk saja menanggapi ucapan Ningrum. Kemudian aku merangkulnya, berjalan keluar untuk segera berangkat ke tempat pertemuan putriku.     

"Romo, kalau ndhak salah di sini," kata Ningrum, menyuruhku menepikan mobil.     

Kupandang lagi tempat pertemuan dari Ningrum dan kawan-kawannya, ternyata ada di Taman Mini Indonesia Indah. Jadi ceritanya, aku diajak putriku untuk tamasya, toh. Lumayan seru juga, sekadar menghilangkan setres yang terus bertumpuk-tumpuk dalam hatiku.     

"Hey, Ningrum! Sini, toh, sini!" teriak segerombolan anak-anak remaja yang beradab di sudut pintu masuk.     

Kulihat putriku membalas lambaian tangan mereka, kemudian menarikku untuk mendekat ke arah gerombolan itu. Mereka pun langsung memandangku bahkan tanpa kedip. Jujur, aku merasa sangat aneh dipandang seperti itu oleh anak-anak perawan ini, dan bahkan di sini aku orangtua sendiri. Seperti aku sedang menernak bebek-bebek di kampung. Gusti, sepertinya aku sedang dikerjai oleh putriku sendiri.     

"Ningrum, siapa laki-laki yabg bersamamu? Tampan sekali."     

"Iya, siapa? Pacarmu?" kata kawan lainnya.     

Duh Gusti, apa mereka ndhak punya mata, masak iya aku pacar anakku sendiri. Kadang-kadang memang pandangan orang lain itu kelewatan.     

Ningrum langsung merengkuh lenganku, kemudian dia tersenyum lebar. Aku cukup senang, melihat wajahnya sebahagia itu. Seharusnya, aku dan Manis sering-sering mengajaknya tamasya. Setelah ini sepertinya aku akan mengajak Manis untuk membuat liburan indah untuk putri kami.     

"Perkenalkan, laki-laki yang tampak masih muda ini, yang tampan dan rupawan ini adalah romoku," percaya dirinya.     

"Apa?!" kaget ke empat kawannya itu seolah ndhak percaya.     

"Kamu ndhak bercanda, toh? Dia... dia ini romomu? Dia ini?" ucap yang memakai kaus warna ungu. Sembari menunjuk ke arahku dengan wajah bingungnya itu.     

Memang, semua orang ndhak akan pernah tahu kalau Ningrum bukan anak kandungku. Terlebih, mereka ini kan kawan-kawan Ningrum dari kota, mana tahu dia cerita yang ada di Ngargoyoso waktu itu. Terlebih, aku dan Ningrum telah sepakat untuk ndhak mengungkit masa lalu yang buruk itu, dan tetap menganggap aku, dan Manis seperti orangtua kandungnya sendiri.     

"Lantas, Romo dan Biungmu menikah waktu mereka usia berapa, Ningrum? Romomu benar-benar masih muda untuk ukuran memiliki seorang anak yang sudah SMA. Apa jangan-jangan, orangtuamu hamil di luar nikah?" selidik kawan Ningrum yang memakai kaus kuning itu. Aku nyaris tertawa mendengar ucapannya, sepertinya pola pikir perempuan kecil itu terlalu jauh. Suatu saat aku yakin, dia akan menjadi seorang penulis hebat.     

"Heh, jangan ngawur, toh, kamu. Kamu tahu, orangtua Ningrum itu adalah seorang Juragan, yang katanya kaya-raya sekali, lho. Kok ya kamu sampai berpikir sejauh itu, toh. Ya jelas ndhak mungkin."     

"Tapi—"     

"Ini kalian mau masuk atau mau berdebat perkara yang ndhak penting?" putusku pada akhirnya.     

Wajah ketiga kawan Ningrum itu memerah, kemudian mereka tampak menunduk sambil saling sikut.     

"Maaf, Paklik. Tapi, kami ini benar-benar ndhak menyangka lho. Paklik benar-benar masih terlampau muda untuk ukuran Romo dan Ningrum. Malah-malah, untuk jadi kekasih hati Ningrum Paklik masih pantas."     

"Sudah-sudah, ndhak usah bicara ngawur. Kalian ke sini ndhak bawa orangtua?" tanyaku, mereka pun menggeleng. "Ya sudah, hari ini aku yang akan menernak kalian."     

"Lho kok diternak?"     

"Lha kalian seperti bebek, toh, cerewet saja sedari tadi. Jadinya yang pantas untuk menggantikan kata mengasuh kalian ini ya kata ternak."     

"Paklik!!"     

Aku tertawa mendengar geraman mereka yang tampak benar kesalnya. Duh Gusti, ternyata lucu juga bisa menjadi orangtua asuh untuk beberapa anak kecil ini. Seolah-olah aku ini ndhak ada pekerjaan sama sekali.     

Dan sepanjang perjalanan, Ningrum tampak mengeratkan rengkuhannya pada lenganku. Kulirik ke arah sekitar, ternyata ada beberapa pemuda yang memandangnya dengan penuh minat. Jadi sekarang aku tahu, apa tujuannya mengajakku ke sini. Bukan sekadar untuk memamerkan romonya yang bagusnya ndhak ketulungan ini. Akan tetapi untuk menjaganya dari pandangan lapar pemuda-pemuda kota.     

Apa aku harus utus salah satu abdiku untuk menjaga Ningrum? Sebab kurasa dia benar-benar membutuhkannya untuk keselamatannya sekarang. Diurus oleh abdi perempuan yang hanya bisa menemani di rumah saja. Itu adalah perkara yang benar-benar rawan.     

"Ndhuk," panggilku. Ningrum langsung menoleh ke arahku dengan tatapan bingungnya.     

"Iya, Romo?"     

"Nanti setelah pulang, tunjuklah salah satu abdi yang ada di rumah untuk menjagamu tatkala kamu berada di kota, ya."     

"Tapi—"     

"Abdinya harus tua, ndhak boleh muda."     

"Tapi, Romo—"     

"Dan dia harus bisa ilmu kanuragan."     

"Tapi—"     

"Dan kamu ndhak boleh menolak. Sesungguhnya, Romo sudah tahu, kenapa kamu mengajak Romo untuk tamasya bersama dengan kawan-kawanmu itu. Dan Romo ndhak mau, kalau sampai putri perempuan Romo dimanfaatkan oleh pemuda yang ndhak bertanggung jawab. Belajar dari pengalaman pahit Romo, Ndhuk."     

Ningrum mengangguk, dengan wajah berkaca-kaca dia merengkuh lenganku semakin erat. Maaf, maafkan romomu ini, Ndhuk. Kenapa Romo sampai ndhak peka sama sekali terhadapmu. Jika Romo telah memiliki anak perempuan yang sudah dewasa, anak perempuan yang harus dijaga keselamatannya.     

Kukecup puncak kepala Ningrum, kemudian kuajak lagi dia bermain. Sekadar menikmati beberapa fasilitas yang ada di TMII tentunya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.