JURAGAN ARJUNA

BAB 221



BAB 221

0Malam ini kupandang bintang yang bertaburan di langit yang kelam. Seolah memberi keanggunan tersendiri dari sang maha karya. Kupandang dengan seksama, tampak ada satu bintang yang paling terang. Tatkala bintang itu berkelip, yang kuingat adalah sosok Romo Adrian, yang tersenyum ke arahku dengan sayang. Omong-omong membahas perkara kerlipan bintang, aku jadi ingat tatkala di kebun malam-malam waktu itu. Tatkala Manis melamarku di sana, sambil membawa seribu kunang-kunang, yang ia dapatkan dari bantuan anak-anak kecil yang ada di kampung.     

Katanya, menurut kepercayaannya, bisa mengumpulkan seribu kunang-kunang itu adalah pertanda yang baik, doa-doa kita akan dikabulkan oleh Gusti Pangeran, dan cinta sejati kita akan bahagia selamanya. Namun nyatanya....     

Kuhelakan napasku yang kian sesak, rasanya setiap embusan ini seperti mengandung bara api yang menganga. Begitu menyakitkan... entah sampai kapan aku harus bertahan, di atas duri yang sangat menyakitkan. Ndhak ada ujung, ndhak ada penyelesaian. Di satu sisi aku ndhak bisa mengubah takdir atas apa yang telah menimpaku, terlebih keberadaan calon bayiku itu, namun di sisi lain, aku juga sangat putus asa atas sikap Manis yang benar-benar jauh berberda denganku. Seolah-olah, membuatya ndhak mau berbaikan denganku sama sekali. Sama sekali.     

Bahkan saat ini, di malam yang sudah selarut ini, Manis masih belum pulang dari acara bimbingan skripsi itu. Aku saja sampai ndhak paham, yang dia lakukan itu bimbingan skripsi atau bimbingan yang lainnya.     

"Kamu tahu, kendati yang namanya cinta itu akan selalu memaafkan, meski hati terlah terluka berulang-ulang. Mereka senantiasa selalu menerima kekurangan, karena mereka ingin menyempurnakan. Jika kesalahan yang kamu lakukan bahkan tanpa inginmu saja dia tidak mau memaafkan, lalu kenapa kamu bersikeras untuk mempertahankan?"     

Aku mendongak, Widuri sudah berada di belakangku, sambil tersenyum simpul. Untuk kemudian dia duduk di sampingku, aku hanya diam. Sebab aku bena-benar sedang malas berurusan dengan perempuan keturunan lelembut ini. Yang aku inginkan hanyalah, jauh dari dia. Apa pun itu yang terjadi. Karena aku ndhak mau kalau sampai Manis lebih salah paham, kemudian dia berpikir jika aku masih mencintai Widuri. Padahal, hal itu ndhak benar sama sekali.     

"Dan kadang pula, yang datang pertama belum tentu yang pasti membuatmu bahagia. Ada kalanya pilihan kedua adalah jodohmu yang sebenarnya."     

"Ck! Ck! Ck! Kamu ini seorang dokter berpendidikan tinggi. Tapi, kamu benar-benar tidak tahu malu sama sekali, ya...," kataku pada akhirnya, dia hanya terbelalak, tapi kurasa dari raut wajahnya dia benar-benar ndhak merasa malu karena telah mengatakan hal seperti itu. "Kamu sadar tidak, kamulah biang masalahnya. Tapi, kamu bersikap seolah kamu tidak membuat dosa apa-apa. Seandainya kamu pergi dari sini, dan enyah dari kehidupanku selamanya, pastilah istriku tidak akan merasa marah lagi denganku. Namun, wajahmu yang sangat tebal itu benar-benar telah membuat semua rasa malumu hilang. Sampai-sampai kamu tetap bertahan di saat semua orang di sekitarmu bahkan tidak pernah memandangmu sebagai seorang perempuan,"     

"Akan tetapi fakta jika aku telah mengandung anakmu adalah hal yang tidak bisa diubah oleh siapa pun. Bahkan, sang penguasa bumi sekalipun,"     

Aku kembali tersenyum mendengarnya mengatakan hal itu dengan begitu percaya diri. Bahkan dia merasa seolah dia hidup atas keinginannya sendiri, ndhak ada campur tangan Gusti Pangeran di atasnya. Sungguh ironi, memang, tatkala harus berhadapan dengan manusia yang lalai, bahkan dengan nikmat yang diberikan oleh Gusti Pangeran.     

"Tidak usah tinggi hati tatkala kamu masih hidup, seolah dunia hanya berporos pada dirimu. Kalau nyawa itu sudah tidak lagi dalam raga, apa yang bisa kamu banggakan dengan kesombonganmu yang luar biasa itu?"     

"Jadi, kamu mengharapkanku mati?" tanyanya.     

Aku langsung berdiri, hendak masuk ke dalam rumah. Tapi di depan aku melihat ada sebuah mobil sedan berhenti. Kulihat siapa gerangan yang keluar dari mobil itu, rupanya sosok itu adalah Manis, dan... dengan dosen kemarin itu.     

"Jadi itu istri yang kamu bangga-banggakan itu? Duh... duh, malah pulang sama laki-laki lain. Jadi sekarang, apa bedanya kamu sama dia? kamu melakukan perselingkuhan tanpa sadar. Kalau dia?"     

Aku melirik ke arah Widuri yang agaknya dia terkekeh melihat ekspresi kesalku, untuk kemudian aku memilih untuk pergi.     

"Romo...," aku yang hendak melangkah masuk ke dalam kamar pun berhenti, melihat Ningrum berjalan mendekat ke arahku dengan beberapa buku yang ada di pelukannya. "Ada pelajaran yang sangat sulit. Romo bisa mengajariku belajar?" pintanya.     

Saat kulirik arah pintu masuk, Manis memandang ke arahku dengan sungkan. Kemudian, aku mengangguk ke arah Ningrum, menarik tangannya dan kuajak masuk ke dalam kamarnya. Lebih baik aku mengajari putriku belajar, dari pada di kamar harus memancing emosi berlebihan. Aku sepertinya butuh lebih banyak mengumpulkan rasa sabar. Kalau endhak tahu apa yang harus kulakukan ke depannya.     

"Romo masih belum baikan sama Biung?" tanya Ningrum tatkala kami sudah beberapa lama belajar bersama.     

Aku hanya diam, malas juga untuk menjawab pertanyaan yang sudah pasti jawabnnya. Jangankan baikan, saling bicara aja ndhak pernah sama sekali.     

"Romo, semua ini harus diselesaikan atau semuanya ndhak akan pernah selesai sama sekali."     

"Romo sudah berusaha. Tapi kalau biungmu yang ndhak peduli bagaimana, Ndhuk? Sekarang malah dia diantar pulang oleh seorang laki-laki yang mengaku sebagai dosennya. Apa itu pantas? Apa itu pantas dilakukan oleh seorang perempuan yang sudah bersuami? Terlebih, dia adalah seorang Ndoro. Mana adabnya, Romo benar-benar ndhak tahu lagi harus kuapakan biungmu itu."     

Kini, giliran Ningrum yang diam, sembari menatapku dalam-dalam. Sepertinya dia bingung. Aku ndhak menyalahkannya, sebab dia masih terlalu kecil untuk sekadar paham dengan perkara apa yang telah terjadi sekarang.     

"Romo, sebenarnya beberapa waktu yang lalu aku melihat Biung tampak menangis di belakang rumah, malam-malam," kata Ningrum mencoba menceritakan tentang apa yang dia lihat beberapa waktu yang lalu.     

"Ya mungkin karena biungmu sedang kelilipan, atau sedang kenapa," jawabku sekenanya.     

Ningrum lantas mencubit lenganku, seolah ucapanku adalah perkara yang salah. Aku menghela napas lagi, kemudian diam. Ternyata bersama dengan anak perempuan lebih baik menjadi pendengar yang baik sebelum tubuh memar-memar penuh dengan cubitan.     

"Tahu ndhak Romo kalau Biung itu sangat mencintai Romo?"     

"Iya, tahu. Dan itu dulu," jawabku lagi. Sembari tersenyum getir tatkala mengenang kisah yang lalu. Siapa yang ndhak sependapat denganku, toh. Dulu, bahkan sebelum aku sadar dengan perasaanku pun, Manis telah jatuh hati kepadaku. Memendam cintanya yang begitu dalam itu. Tapi sekarang aku yakin, jika rasa itu ndhak lagi sama, jika cinta itu sekarang telah berbeda. Dan kalau sudah seperti itu, aku bisa apa? Yang kubisa hanyalah terima, toh berusaha untuk meminta maaf pun sudah berulang kali. Tapi kenyataannya apa? Semuanya terasa begitu percuma.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.