JURAGAN ARJUNA

BAB 219



BAB 219

0Siang ini, aku duduk di teras depan rumah. Dan aku pun ndhak tahu, alasan kenapa aku duduk di sini. Yang kuinginkan hanyalah sebuah ketenangan, dan kesendirian. Untuk sekadar merenungkan barang sebentar, tentang apa yang telah terjadi akhir-akhir ini. Dulu, semua hal yang aku lakukan hari demi harinya selalu kurencanakan, dan aku selalu bisa membuat semuanya berjalan dengan seperti apa yang kumau. Namun sekarang, jangankan mengharapkan hal semacam itu. Bahkan bisa membuat Manis menyapa, dan tersenyum ke arahku pun sepertinya adalah suatu perkara yang mustahil.     

Aku terjingkat, tatkala ada tangan yang merengkuh tubuhku, saat kulihat jika itu Widuri, aku langsung melepas pelukan itu. Perempuan ini benar-benar seperti karma bagiku, selalu menjadi mimpi buruk yang seolah enggak enyah dariku.     

"Arjuna, kamu kenapa? Aku kangen deh tidur sama kamu. Bukankah Manis masih mendiamimu? Untuk apa kamu terus berusaha untuk mengejarnya, Arjuna? Kamu itu tidak salah, kamu itu adalah seorang Juragan dan dia hanya seorang istri dari Juragan. Bukankah sudah menjadi suatu keharusan waktu dulu jika seorang Juragan beristri lebih dari satu? Jadi, jika kamu membutuhkan layananku itu benar-benar tidak salah."     

"Jangan mimpi. Bahkan bumi kiamat pun aku tidak sudi menyentuhmu,"     

Aku langsung pergi, bisa kulihat dengan jelas, jika Widuri tengah menghentakkan kakinya dengan sebal. Namun, persetan dengannya. Sumber dari masalahku adalah dia, bahkan dia mati pun aku ndhak akan pernah peduli. Aku berjalan menuju ke arah samping rumah, di mana di sana ada taman kecil yang hijau, dengan bunga warna-warni yang bermekaran. Mungkin jika aku di sana, aku bisa menenangkan diri, dan sedikit merasa ndhak terbebani dengan hidup yang selucu ini.     

"Arjuna?"     

Aku lansung menoleh, tatkala Biung, dan Romo rupanya sudah ada di sana. Sedang minum teh berdua. Rupanya, ada sepasang sejoli yang sedang pacaran. Kalau aku di sini, maka hatiku akan semakin kecut, melihat Romo Nathan mengumbar kemesraannya bersama dengan Biung.     

"Sini... sini... bicara dengan Romo, dan Biung," dan mau ndhak mau aku pun harus menurut juga. Duduk bersama mereka di sebuah gubung yang dibuat oleh Suwoto.     

Aku hanya diam, sembari melirik ke arah keduanya bergantian. Sepertinya, hidupku benar-benar ndhak ada artinya sekarang. Aku ingin menyusul Romo Adrian saja.     

"Bali telur serta semur tempemu sudah jadi, tadi Biung telah menyelesaikan masakanmu itu. Nanti kalau Manis sudah pulang, kamu bisa menghidangkannya untuknya," kata Biung lagi.     

Aku hanya tersenyum sekenaku, dan entah kenapa aku merasa benar-benar malas membahas Manis sekarang. Benar-benar seperti muak, dan lelah dengan apa yang kuhadapi ini.     

"Jadi, Manis masih mendiamimu?" kini, giliran Romo Nathan yang bertanya. Aku hanya mengangguk sekenaku. "Kamu jadi pendiam benar gara-gara hal ini. Baguslah, seendhaknya kamu bisa intropeksi diri,"     

Aku kembali mengangguk menjawabi ucapan Romo, membuat Biung yang melihatku tampak menghela napasnya dengan berat.     

"Arjuna, kamu jangan membebani dirimu sendiri dengan seperti ini, toh. Biung tahu, perkaramu dengan Manis memanglah sangat sulit. Tapi, Biung juga tahu jika kejadian itu benar-benar di batas luar kehendakmu. Lantas, siapa yang bisa disalahkan untuk ini semua? Kamu sedang dalam pengaruh guna-guna, tentu saja kamu ndhak akan mungkin bisa berpikir dengan cara rasional dan sehat, toh? Jadi, berhentilah untuk menyalahkan dirimu sendiri, Arjuna. Perkara Manis, biarkan dulu. Mungkin dia sedang butuh waktu untuk sendiri. Butuh waktu untuk mencerna semuanya, dan mulai menerima apa yang telah terjadi beberapa waktu yang lalu. Bukankah mimpi buruk itu harus dilalui? Bukankah, prahara rumah tangga itu harus dilewati sama-sama?"     

Aku tersenyum mendengar ucapan dari Biung. Rasanya, seperti ada suntikan semangat baru, meski aku benar-benar sangat ragu dengan Manis. Aku ndhak tahu, apakah Manis akan memikirkan hal itu juga? Atau malah dia benar-benar ndhak peduli kemudian pergi dengan laki-laki lain yang dikira pantas untuknya? Yang jelas-jelas tadi, aku melihat pemandangan yang sangat menyakitkan yang dilakukan oleh Manis.     

"Biung, Romo... aku mau istirahat dulu, kepalaku benar-benar sakit."     

"Tutup pintu dengan baik. Nanti, siluman jadi-jadian itu diam-diam masuk ke kamarmu dan mengerayangimu kan ndhak baik," imbuh Romo.     

Aku mengangguk saja, kemudian kembali ke kamar. Setelah mengunci pintu aku langsung membanting tubuhku ke kasur. Beberapa hari ini, aku sudah ndhak tidur dengan nyenyak. Dan hal itu benar-benar membuat kepalaku sangat sakit, tenagaku terasa terkuras habis. Dan nafsuku untuk melakukan sesuatu rasanya benar-benar hilang dari diriku.     

Kucoba memejamkan mata, tapi yang kulihat adalah bayangan Manis bersama dosennya tadi. Sungguh benar-benar menyebalkan, aku selalu emosi tatkala mengingat kejadian busuk itu.     

"Romo... Romo,"     

Ningrum? Kubuka pintu kamarku, Ningrum sudah berada di sana. Kemudian, dia tersenyum lebar, dan masuk ke dalam.     

"Ada apa, Ndhuk?" tanyaku. Melihat tingkahnya yang aneh itu benar-benar membuatku heran.     

"Romo...," katanya, setelah beberapa saat dia memandangku tanpa kedip. Kukerutkan keningku, sembari memeriksa wajahku. Apakah ada yang aneh dengan wajahku? Kenapa sampai anak perempuanku memandangiku dengan seperti itu. "Besok rencannya, kawan-kawannku ingin berlibur ke Jakarta. Dan mereka hendak menemuiku. Jadi, Romo... jadi—"     

"Kalau kamu hendak menemui kawan-kawanmu, Romo izinkan. Nanti biar diantar Paklik Sobirin, ya."     

"Tapi...," kata Ningrum kembali terputus. Kutarik sebelah alisku, sebab aku benar-benar ndhak paham dengan apa yang diminta oleh putri kecilku ini. "Tapi—"     

"Ada apa, Ndhuk? Katakan jujur dengan Romo apa yang sebenarnya kamu mau? Kamu tahu, toh, kalau Romo akan mengabulkan apa pun yang kamu inginkan."     

Kupikir, Ningrum bertindak sungkan seperti ini karena dia sudah dewasa. Mungkin itu sebabnya dia seolah menjaga privasi dirinya sendiri. Dan keakraban yang dulu denganku tampak ada jarak yang sangat nyata. Tapi, aku ndhak keberatan. Bagaimanapun, dia adalah putriku yang beranjak dewasa. Biarkan dia tumbuh dan berkembang seperti apa yang dia mau. Aku cukup mengawasinya saja dari kejauhan.     

"Aku mau mengajak Romo," katanya yang berhasil membuatku kaget.     

Bukan apa-apa, seumu-umur, anak perempuanku ini paling ndhak mau aku antar kemana-mana. Katanya, dia itu malu kalau kawan-kawannya tahu jika dia memiliki seorang Romo seorang Juragan. Dan itu akan membuat kawan-kawannya segan. Dan sekarang, dia mengajakku dengan keinginannya sendiri? Itu adalah hal yang sangat luar biasa.     

"Mau!" kubilang. Ningrum langsung sumringah, kemudian dia memeluk tubuhku erat-erat. "Ada apa ini? Apakah ada sesuatu yang terjadi kepada putri kecilku ini?"     

Ningrum kembali tersenyum lebar, kemudian dia tampak malu-malu memandang ke arahku. "Beberapa waktu yang lalu, tatkala ada acara penerimaan rapor, semua kawan-kawanku datang bersama dengan orangtua mereka. Dan membanggakan orangtua mereka sebagai orangtua terbaik sedunia. Jadi, sekarang giliranku, Romo. Aku ingin memamerkan Romo kepada mereka. Kalau aku punya Romo yang wajahnya ganteng, yang masih muda, dan seorang Juragan pula. Lebih-lebih, sekarang telah merintis bisnis di Jakarta. Romoku benar-benar hebat luar biasa!"     

Aku tersenyum menanggapi ucapan dari Ningrum, kemudian aku mengangguk sembari mengelus kepalanya dengan sayang.     

"Pasti, romomu itu adalah Romo paling keren sedunia!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.