JURAGAN ARJUNA

BAB 218



BAB 218

0Aku pun duduk di kursi kamar, sembari memerhatikan tanganku yang telah diolesi salep oleh Biung. Sungguh, aku ndhak pernah menyangka, jika luka yang didapat dari sekadar menggoreng telur akan sehebat ini. Atau malah aku yang terlewat ceroboh?     

Kulirik Manis yang tampak baru saja keluar dari kamar mandi, dia sudah mengenakan pakaian baru dengan lengkap. Hendak ke mana dia sepagi ini? Toh kurasa kuliah hari ini libur. Apa dia hendak pergi dengan Ningrum? Tapi, jika benar dia hendak pergi, seharusnya Ningrum atau pun semua orang yang ada di rumah ini pasti mengabariku tadi. Tapi, semuanya diam saja, ndhak mengatakan apa-apa.     

"Mau ke mana kamu, Sayang?" tanyaku, karena melihatnya mengambil tas beserta sebuah buku.     

"Bimbingan skripsi," jawabnya. Singkat, padat, dan jelas.     

Aku diam sesaat, dia mau keluar di hari libur seperti ini, terlebih berdalih sedang bimbingan skripsi? Dan, dia ndhak meminta izin kepadaku?     

"Bukankah seharusnya hari ini kamu libur?" tanyaku lagi, dia hanya melengos melihatku sekilas, seolah dia benar-benar muak denganku. Aku sama sekali ndhak pernah menyangka, jika Manisku akan bisa berekspresi seperti ini sekarang.     

"Dosennya ada di kampus," jawabnya lagi yang tampak malas-malasan.     

"Laki-laki atau perempuan dosenmu itu?" tanyaku, entah kenapa perasaanku menjadi ndhak enak karenanya.     

"Laki-laki,"     

Setelah mengatakan itu, Manis langsung keluar dari kamar. Sembari membanting pintu dari luar. Kuhelakan napasku lagi, sembari memijat pelipisku yang tiba-tiba sakit. Gusti, mau sampai kapan? Mau sampai kapan Manis akan bersikap dingin kepadaku seperti ini?     

"Halo, Ndru?" sapaku, tatkala aku sudah memegang gagang telepon karena aku ingin memastikan sesuatu perihal bimbingan skripsnya Manis.     

"Ya, Bang? Ada apa? Aku mau keluar nih!" katanya yang agaknya terburu.     

"Hari ini fakultas kedokteran ada bimbingan skripsi tidak? Kamu bisa mengecekkan untukku?" pintaku kepadanya.     

"Wah, ini aku baru saja dari kampus, Bang, dan sepi. Karena hampir semua dosen serta mahasiswanya melakukan kegiatan di luar. Terlebih, ini kan masih libur semester, Bang. Dan aku ini bersama yang lainnya akan menyusul. Mungkin, yang di kampus hanya beberapa dosen piket saja kalau tidak salah. Ada apa—"     

Aku langsung mematikan teleponku, berdiri sembari meraih jaket, dan kunci mobilku. Apa dia benar-benar bimbingan skripsi? Ataukah yang lainnya?     

Ndhak... ndhak, ini bukan berarti aku mencurigai Manis, sungguh. Hanya saja, aku sedikit ndhak percaya tentang siapa pun dosen yang mengajaknya bimbingan skripsi ini. Aku ndhak mau dia terpedaya sama sepertiku, aku ndhak mau hal itu terjadi.     

Dan sesampainya di kampus, suasana Universitas benar-benar sepi. Terang saja, kata Endru ini adalah libur semester. Jadi, untuk apa seorang dosen laki-laki mengajak istriku untuk bimbingan skripsi saat libur semester seperti ini? Terlebih di kampus lagi.     

Setengah berlari aku buru-buru mencari di mana letak ruang dosen fakultas kedokteran. Aku harus segera menemukannya, dan melihat apakah Manis sedang mengguruiku? Ataukah dia sengaja mengatakan itu karena dia ingin sembunyi serta menghindariku?     

"Jadi, Manis... judul skripsimu diterima lebih awal itu benar-benar hal yang luar biasa," kukerutkan keningku, mendengar suara laki-laki menyebut nama istriku. Saat kulihat di sisi kanan bangunan itu, benar saja. Ada seorang laki-laki seumuran denganku, tengah duduk di samping Manis. Duduknya benar-benar sangat dekat, dan... apa? Dia memegang tangan Manis? Dan Manis diam saja? "Jadi, aku pastikan kamu akan lulus tepat waktu." Kini laki-laki itu merangkul bahu Manis, membuatku spontan menggedor jendela kaca yang ada di sana, membuat Manis, dan laki-laki itu kaget dan melihat ke arahku.     

Dengan langkah cepat aku masuk ke ruangan itu, menarik Manis untuk berdiri menjauh dari laki-laki itu. Tapi, Manis langsung menepis tanganku, sehingga membuat laki-laki itu tampak menang karena perlakuan Manis kepadaku. Keparat!     

"Apa yang kalian lakukan di sini? Ayo pulang," ajakku, yang masih mati-matian berusaha untuk menekan semua rasa amarah yang ada di dalam hatiku.     

"Aku ada bimbingan skripsi."     

"Tapi mataku ndhak buta untuk melihat apa yang kalian lakukan bukan sekadar bimbingan skripsi, Manis. Pegangan tangan, dan kamu dirangkul sama dia. Kamu diam saja?"     

"Kamu salah paham!" katanya yang malah lebih emosi dari pada aku.     

"Salah paham apa maksud kamu? Aku ndhak buta untuk mengartikan itu semua."     

"Teserah. Toh bukannya, kamu malah melakukan lebih dari itu dengan Widuri?"     

Rahangku mengeras, kedua tanganku kukepal kuat-kuat. Entah kenapa, ucapan Manis benar-benar membuatku emosi. Apa maksud dari semua ini adalah kesengajaan dia? Dia sengaja diam saja disentuh oleh laki-laki lain karena ingin membalas sakit hatinya kepadaku? Karena dia ingin menganggap impas atas apa yang aku lakukan dulu?     

"Tapi caramu ndhak harus seperti ini, Manis."     

"Kamu salah paham."     

"Oh, oke. Aku salah paham," kutundukkan wajahku dengan senyuma getir. Berengsek, memang! Emosiku langsung semakin tersulut karena kejadian ini.     

"Oh, ini, Dek, suamimu yang terjerat wanita lain itu? Dan yang selingkuhannya hamil itu? Jangan sia-siakan hidupmu, Dek Manis. Laki-laki ini sudah berkhianat, dia sudah mengkhianati cinta dan kepercayaanmu. Dan tidak menutup kemungkinan jika nanti—"     

Buk!!     

Aku langsung meninjunya sampai dia jatuh, Manis menjerit histeris. Dan yang lebih membuatku sakit hati lagi adalah... dia malah menolong laki-laki berengsek itu, dari pada tetap berdiri di sampingku.     

"Kamu ini apa-apaan, toh, Arjuna! Dia ini dosenku! Kenapa kamu memukulnya! Ndhak bisakah kamu melihat kalau aku sedang bimbingan skripsi? Apa matamu telah buta karena rasa takutmu yang luar biasa itu, iya? Takut jikalau aku akan membalas sakit hatiku karena kesalahan yang pernah kamu lakukan dulu! Picik kamu!"     

Manis kemudian membantu laki-laki itu berdiri, memapahnya seolah laki-laki itu tengah sakit parah. Sentuhannya kepada Manis, cara dia merangkul Manis. Aku benar-benar ndhak buta jika laki-laki itu bukan hanya sekadar seorang dosen yang hendak mengajari mahasiswinya untuk melakukan bimbingan skripsi. Ndhak bisakah Manis untuk melihat barang sebentar hal itu? Dan apakah dia telah terinfeksi cara bergaul anak-anak Jakarta sampai dia ndhak merasa risih sama sekali disentuh oleh seorang laki-laki seperti itu.     

"Ayo pulang," ajakku sambil meraih tangannya lagi. Dan lagi-lagi, Manis langsung menepis tanganku dengan kasar. Matanya memandangku dengan penuh kebencian yang luar biasa.     

"Pak, ayo kita lanjutkan bimbingan kita di tempat lain," ajak Manis. Berjalan mendahuluiku, kemudian laki-laki itu pun mengemasi buku-bukunya. Melangkah maju, kemudian dia memandangku dengan senyuman yang sangat menyebalkan itu.     

"Kamu lihat, istrimu lebih percaya kepadaku. Tenang saja, aku akan membantunya dengan senang hati. Membantunya menyelesaikan skripsi, dan membantunya untuk membalas apa yang telah kamu lakukan kepadanya. Kamu, bisa saja tidur dengan perempuan lain. Tapi, bukankah istrimu juga bisa tidur dengan laki-laki lain?" laki-laki itu kemudian pergi, membuatku membuang apa pun yang ada di ruangan itu. Berengsek, berengsek! Aku ndhak akan pernah membiarkan dia menyentuh Manisku seujung kuku pun!     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.