JURAGAN ARJUNA

BAB 217



BAB 217

0"Lalu, kalian telah bertemu dengan tangan kanan Bima itu? Dan, kabar apa yang kamu peroleh dari tangan kanannya itu? Apakah dia mengaku kepada kalian?"     

"Nah, itu dia masalahnya, Bang!" jawab Bagas semangat. Kukerutkan keningku tatkala mendengar hal itu. Masalahnya? Kok tiba-tiba perasaanku ndhak enak setelah Bagas mengatakan hal itu?     

"Masalah?" tanyaku penuh selidik. Ke tiga pemuda yang ada di depanku malah tersenyum dengan sangat lebar. Duh Gusti, perasanku semakin ndhak enak dibuatnya.     

"Sampai sekarang kami tidak bisa menemukan tangan kanan Bima itu, Bang. Hehehe."     

Benar, toh, apa yang kuduga. Jika mereka ini benar-benar ndhak bisa diandalkan. Ingin menangis rasa hati karena merasa ditipu mentah-mentah oleh tiga pemuda ini. Namun mau bagaimana lagi, semuanya sudah terlanjur terjadi. Kuelus dadaku yang mendadak sesak. Rasanya, prihatin benar merutuki nasib yang malang ini. Endhak urusan Rianti, endhak urusan diri sendiri. Semuanya sama-sama seolah ndhak bisa menemukan sebuah solusi.     

"Jadi kira-kira apakah kamu pikir informasi kalian ini adalah informasi yang sangat berguna?" tanyaku, yang agaknya sedikit kesal. Ketiganya kembali meringis, seolah-olah telah merasa berdosa karena telah mempermainkanku. "Dan informasi kalian ini harus aku bayar dengan sebuah motor keluaran terbaru sebanyak tiga biji?"     

"Hehehe,"     

Duh Gusti, mereka ini. Kenapa, ya, aku kok tiba-tiba ingin membunuh mereka semua. Rasanya mereka itu benar-benar ndhak ada gunanya hidup di muka bumi ini.     

"Jadi bagaimana, Bang? Kami juga merasa bersalah nih sama Abang. Jadi, bagaimana?" tanya Endru bingung.     

"Kalian bisa membantuku dengan cara lain. Hitung-hitung untuk membayar apa yang telah kalian janjikan kepadaku."     

"Membantu apa, Bang?"     

"Aku ada bisnis baru di Jakarta. Sebuah pabrik yang akan aku dirikan. Dan aku masih membutuhkan banyak tenaga. Jadi, kalian bisa membantuku untuk mengerjakan bisnis ini," jelasku kepada ketiganya. Aku yakin, jika mereka ndhak akan bisa menolak. Karena aku tahu, meski mereka bodoh tapi mereka manusia baik. Kalau ndhak baik, mana mungkin mereka dengan sebodoh ini mengakui hal yang sebenarnya. Mereka bisa saja membodohiku dengan mengarang cerita, toh?     

"Baiklah, Bang. Mau gimana lagi, kami merasa tidak enak nih dengan Abang. Jadi, kami bantuin kerjaan Abang sampai kapan?"     

"Ya, sampai kalian merasa pantas membayar informasi tidak berguna itu dengan motor yang kuberikan itu."     

"Siap, Bang!"     

Aku tersenyum melihat ketiganya. Rasanya, bahagia sekali ketika mendapat kawan baru. Dan semoga, Ucup merasa terbantu dengan keberadaan tiga pemuda ini. Aku jadi ndhak tega dengan Ucup, karena proyek ini dia malah libur kuliah. Padahal, kuliahnya tinggal selangkah lagi.     

*****     

Sore ini, agaknya aku sengaja merepotkan diri. Sebab, aku berniat untuk membuatkan makanan kesukaan istriku. Ndhak apa-apa jika aku ndhak bisa memasak, aku akan berlatih. Toh, siapa pun dulunya sebelum mahir memasak mereka belajar dulu. Aku ndhak akan pernah kapok, dan akan terus berusaha untuk meluluhkan hati istriku.     

"Jadi, kamu hendak memasakkan apa untuk istrimu, Arjuna?" tanya Biung, yang kebetulan merasa ndhak tega kalau aku masuk dapur sendirian. Entah karena dia takut aku terluka, atau malah dia takut karena dapurnya mungkin akan aku hancurkan.     

"Ehm, aku ndhak tahu, Biung...," keluhku pada akhirnya. Mau membuat apa? Niat hati membuat menu-menu yang luar biasa tapi aku ndhak bisa membuatnya. "Manis menyukai semur tempe, Biung. Dan bali telur itu,"     

"Lantas bagaimana? Kamu bisa membuatnya?"     

Kugaruk rambutku yang ndhak gatal, kemudian aku menggeleng lemah. Biung tampak tersenyum, kemudian dia mengelus lenganku.     

"Biung bantu, ya. Biung akan tunjukkan bumbunya. Kamu yang memasak. Bagaimana?"     

"Tapi—"     

"Kan Biung ndhak ikut campur? Biung ndhak membantu kamu memasak? Biung hanya memberitahu bumbunya apa saja. Iya, toh?"     

Aku kemudian tersenyum, lalu kupeluk tubuh Biung erat-erat. Biung ini benar-benar seperti malaikat yang dikirim Gusti Pangeran untukku.     

"Oke, sekarang apakah kita siap untuk memasak?" kataku semangat. Sembari menaik-turunkan alisku setengah menggoda Biung.     

Biung tertawa, kemudian dia mengangguk menjawabi ucapanku. Dan, di sinilah drama kecil dimulai, Biung yang biasanya lemah lembut kepadaku kini menjadi sangat cerewet. Bahkan, tatkala aku menggoreng telur dan minyak gorengnya muncrat pun Biung teriak-teriak. Seolah, putra kesayangannya ini takut jika terluka karena terkena cipratan minyak panas itu.     

"Kalau mau masukin itu mbok ya pelan-pelan saja, toh. Dan ndhak usah sedekat itu tanganmu, kamu itu mau goreng telur atau mau goreng tanganmu, Arjuna!" teriak Biung lagi. Setengah berlari menuju ke arahku, kemudian menarik tanganku untuk menjauh dari wajan yang sudah berada di atas kompor itu.     

"Aduh!"     

Sial benar, minyak goreng ini. Berani benar dia nyiprat di tanganku. Awas saja, andai dia makhluk hidup pasti aku sudah bunuh mereka.     

"Nahk, toh! Nah, toh! Benar, toh! Tanganmu kecelup ke dalam penggorengan! Duh, Gusti!"     

"Biung—"     

"Sudah, sudah! Ndhak usah memasak lagi! kamu itu mau menyenangkan hati istrimu atau mau cari mati?!" marahnya lagi, kini Biung sudah mengguyur jemariku dengan air dingin. Kemudian meniup-niup dengan penuh kasih sayang.     

Andai Biung tahu, jika aku ndhak merasa kesakitan sama sekali. Dan malah ucapan Biung itu benar-benar menyentilku. Sebab Manis, mungkin lebih memilih aku mati dari pada memilih aku untuk bisa memasak sebuah hidangan untuknya.     

"Sari, Amah! Ambilkan salep luka yang ada di tempat obat! Segera bawa kesini!" kata Biung lagi.     

Aku melirik ke arah ruang makan, di sana ada Manis yang berjalan melewatiku juga Biung. Melihat Biung begitu panik, melihatku terluka seperti ini, bahkan dia sama sekali ndhak merasa khawatir. Dia berlalu begitu saja, tanpa menoleh. Sikapnya yang dingin itu, benar-benar sangat menyakitiku.     

Aku menunduk, saat Bulik Sari, dan Bulim Amah sudah berada di sini. Mereka cukup panik dengan lukaku.     

"Gusti, sampai melepuh seperti itu. Ini akan lama sembuhnya, Juragan. Pasti sakit sekali," kata Bulik Sari, aku hanya mengangguk, sembari menunduk.     

"Juragan ndhak perlu melakukan sampai sejauh ini, toh."     

"Tahan, ini agak perih. Tapi Biung pastikan lukamu akan cepat sembuh, ya."     

Entah kenapa aku menangis mendengar ucapan ke tiga perempuan yang ada di depanku ini. Bahkan abdi dalemku mengkhawatirkanku seperti ini. Tapi istriku sendiri?     

"Juragan, Juragan Arjuna kenapa menangis? Apakah ini perih? Apakah benar-benar sakit?"     

Kudongakkan kepalaku, meski aku tersenyum tapi air mataku sudah jatuh begitu saja di kedua pipi. Jujur, aku merasa menjadi laki-laki yang sangat cengeng sekarang, mudah benar aku menangis. Terlebih ini di depan abdiku sendiri. Aku, benar-benar memalukan.     

"Iya, perih, sakit," dustaku. Padahal, rasanya aku nyaris mati rasa dengan luka ini. Saking rasa sakit hatiku yang ndhak pernah bisa aku bendung lagi.     

"Arjuna, Sayang, kamu kenapa?"     

Kulirik, Widuri datang, dia hendak memegang tanganku tapi buru-buru aku menarik tanganku. Berdiri, kemudian memilih untuk pergi menuju kamarku.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.