JURAGAN ARJUNA

BAB 306



BAB 306

0Setelah kami bersiap, akhirnya kami pun berangkat ke rumah Wangi. Meski sampai saat ini aku benar-benar takut, jika nanti orangtua Setya akan menyakiti hati dari orangtua Wangi. Sudah kusuruh tadi Paklik Sobirin agar Wangi berdandan layaknya tatkala dia di kota. sebab bagaimanapun aku ingin membuktikan kepada orangtua Setya kalau perempuan yang dipilih Setya bukanlah perempuan sembarangan.     

"Apa ini akan berhasil?" tanya Manis. Sepertinya, dia juga cemas dengan apa yang akan terjadi selanjutnya ini. kami sudah ndhak bisa berbuat banyak. Karena kurasa segala upaya sudah kulakukan semua.     

"Kita berdoa kepada Gusti Pangeran, semoga Gusti memberikan keajaiban untuk Setya. Aku pun sebenarnya sangat kaget, melihat tingkah orangtua Setya seperti ini. benar-benar ndhak ada nalarnya sama sekali. Seseorang berpendidikan memandang rendah orang lain dengan cara seperti ini."     

"Tapi, jika mereka ndhak merestui ini akan sulit, Kangmas. Biar bagaimanapun Dokter Setya dan Mbakyu Wangi mereka telah melakukan hubungan suami istri. Sangat ndhak pantas sekali kalau sampai cinta mereka dihalang-halangi seperti ini."     

Aku diam, ndhak menjawabi Manis lagi. sementara Setya tampak benar-benar sangat murung. Aku sama sekali ndhak bisa membayangkan menjadi Setya, kok rasa-rasanya seperti melihatku zaman muda dulu. Tatkala aku hendak meminang Manis, tapi simbahnya berkata yang sama sekali ndhak mengenakkan hati.     

Setya, aku janji kepadamu. Aku akan memperjuangkan cintamu dengan Wangi. Sebab aku ndhak mau kamu menjadi sepertiku, aku ndhak mau nasibmu sama sepertiku. Aku telah tahu rasanya sempat kehilangan perempuan yang kucintai, Setya, dan itu benar-benar sangat menyakitkan sekali. Jadi mana mungkin aku akan tega melihat sahabatku merasakan hal yang sama.     

Saat semuanya telah sampai, mobil pun berhenti. Sebelum orangtua Setya masuk ke dalam rumah Wangi, aku menarik tangan ayahnya untuk kuajak bicara.     

"Paman, aku tidak ada permintaan apa pun. Aku hanya seorang sahabat yang tidak ingin melihat sahabatku sampai patah hati karena tidak bisa bersatu dengan orang yang dia cintai. Jadi, aku berharap Paman tidak menjadi orang picik hanya karena keegoisan paman. Biar bagaimanapun Setya adalah anak satu-satunya Paman, dan bukankahs sebagai orangtua kebahagiaan anaknya adalah hal yang utama? Jika semua yang kukatakan ini masih belum bisa membuat hati Paman tergerak. Maka aku akan membagi sedikit rahasia ke pada Paman. Dan mungkin rahasia ini akan kuberitahukan kepada semua orang agar Wangi menemukan keadilan juga haknya atas Setya, agar cinta mereka bersatu apa pun caranya. Rahasia itu adalah...," kataku terputus, kemudian kudekatkan wajahku di telinga Ayah Setya. "Setya telah meniduri Wangi berkali-kali. Jika aku mengatakan ini kepada orangtuaku, orangtua Wangi, juga sesepuh di kampung ini. kira-kira apa yang akan terjadi kepada anak Paman juga martabat Paman yang setinggi langit itu? bahkan, aku bisa saja menyuruh Pama Wirya untuk mengumumnkan ini di koran-koran yang ada di jakarta, agar reputasi Paman hancur, dan nama baik Paman tercoreng dengan sempurna."     

Setelah mengatakan itu, aku langsung menjauhkan tubuhku darinya. Ayah Setya agaknya kaget tapi aku tersenyum saja. kugenggam erat lengan Ayah Setya, kemudian aku berkata, "Paman adalah orang paling bijak yang aku kenal," ucapku. Berjalan masuk ke dalam rumah Wangi, sembari menggamit pinggang Manis.     

"Apa yang Kangmas katakan?" tanya Manis yang agaknya curiga kepadaku. Bagaimana ndhak curiga toh, raut wajah Ayah Setya saja benar-benar berubah setelah kukatakan hal itu kepadanya.     

Tapi, aku tersenyum melihat itu, kemudian aku kembali mengajak Manis untuk masuk ke dalam rumah Wangi,     

"Aku hanya melakukan tugas terakhirku sebagai seorang sahabat, Ndhuk," kubilang.     

Manis ndhak bertanya apa-apa lagi, sepertinya dia cukup paham dengan apa yang kumaksudkan. Kami akhirnya duduk, dan sudah disambut hangat oleh keluarga Wangi. Aku benar-benar ndhak bisa membayangkan, jika keluarga sebaik ini akan dilecehkan oleh orangtua Setya.     

"Duh Gusti, Juragan Arjuna. Suatu kehormatan sekali jika Juragan Arjuna bertandang ke rumahku. Ini sebenarnya ada apa, toh? Wangi hanya mengatakan kalau akan ada tamu dari Jakarta. Dan kami disuruh bersiap untuk menyajikan hidangan terbaik yang kami punya."     

"Paklik ndhak usah repot-repot, toh. Lha wong sepertinya tamu agung ini ndhak begitu suka dengan yang namanya makan. Mereka sedang menjaga tubuhnya agar ndhak bertambah gemuk," guyonku. Romo Wangi tampak tertawa.     

Kemudian dia melihat orantua Setya yang kini masuk ke dalam rumah, di sapa dua orang itu kemudian diajak duduk. Kemudian, dia memandang ke arah sekeliling rumah Wangi, dan tampak sekali kalau pandangannya itu benar-benar sedang menilai. Gusti... Gusti, kok ya ada orang seperti ini.     

"Rumah kami memang dibangun sepenuhnya dengan kayu-kayu jati yang dikombinasi dengan bata merah, ornamen-ornamennya asli dipesan oleh pengrajin paling berbakat di Jawa Tengah. Karena yang kami ingin tampilkan kepada rumah kami adalah, adanya rasa nyaman, dan seolah pulang ke kampung halaman. Sebab benar, bukankah ini berada di kampung? Jadi, mempertahankan ciri khas rumah kampung dan adat dari daerahnya, tentulah menambah nilai tersendiri. Bukan seperti rumah-rumah yang ada di tempat lain. Yang modelnya selalu berubah seiring berjalannya waktu. Kelak, rumah-rumah seperti inilah yang akan memiliki daya tarik tersendiri bagi orang luar. Dan akan mendapatkan nilai paling mahal dari rumah termahal yang pernah ada di luar,"     

Orangtua Setya menoleh, saat Wangi datang untuk bergabung dengan kami. Dia malah mengenakan kebaya serta jarik, yang tampak melekat ketat di tubuhnya.     

Duh Gusti Wangi ini, apa yang ada di otaknya, toh. Seolah apa yang kuusahakan percuma saja.     

"Kenapa kamu malah pakai kebaya seperti ini, toh. Kamu tahu sendiri, kalau orangtua Setya itu ndhak begitu suka dengan yang namanya kampung," bisiku kepada Wangi saat dia berjalan di dekatku.     

Dia tampak tersenyum, seolah ndhak merasa grogi dan takut sama sekali. Kemudian dia menjawab, "yang kubutuhkan adalah pendamping hidup, itu sebabnya aku ndhak mau menipu banyak orang. Berusaha menjadi sosok yang disukai seseorang agar mendapatkan restu? Jelas itu bukan gayaku. Aku akan seperti ini, dan biarkan saja orangtua Setya akan menilaiku seperti apa, toh pada akhirnya, jika mereka tetap bersikeras untuk melarang hubungan ini, aku juga akan berjuang atas hubungan ini. Arjuna, kamu ndhak usah cemas, aku terlalu banyak bertemu dengan manusia-manusia seperti mereka. Dan aku tahu bagaimana cara mengatasinya."     

Aku hanya diam mendengar ucapan percaya diri dari Wangi. Jika dia sudah bilang seperti itu, aku bisa apa? Selain diam, dan melihat apa yang ia akan lakukan untuk memperjuangkan cintanya kepada Setya itu.     

Wangi kini tampak mendekat ke arah orangtua Setya, mencium punggung tangan mereka kemudian tersenyum simpul.     

"Pak, Buk... suguhan kami mungkin tidak seberapa, dan tempat tinggal kami juga akan jauh berbeda dari apa yang ada di kota. Namun percayalah, yang dilihat oleh Tuhan itu bukan seberapa kaya kita, akan tetapi sebaik apa kita kepada sesama manusia. Kalian ke sini karena permintaan Setya untuk meminangku, kan? Tapi aku merasa tidak terlihat seperti seorang perempuan yang hendak dipinang. Tidak ada seserahan, dan bahkan hanya ada kalian berdua. Tapi sebelum aku menuntut banya, Pak, Buk... aku ingin mengatakan satu hal kepada kalian. Kalau aku ini bukan seorang gadis, melainkan seorang janda tiga kali yang ditinggal oleh suami."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.