JURAGAN ARJUNA

BAB 316



BAB 316

0"Aku sama sekali tidak ingin membela siapa-siapa, hanya saja, bagaimanapun juga dia adalah putrimu, kan? Jadi, sebelum marah pikirkanlah baik-baik semuanya. Jangan sampai dia berpikir kalau kamu tidak menyayanginya hanya masalah seperti ini kamu murka dengan begitu dahsyatnya," jelas Setya, setelah membawaku pergi, dan kami bicara berdua.     

Aku terdiam sejenak, kemudian melihat Ningrum dan Setya yang ada di luar. Keduanya masih bersimpuh di lantai, membuat hatiku benar-benar ndhak karuan. Aku ndhak tahu bagaimana aku bisa mengatasi hal ini, bagaimana aku harus menyelesaikan hal ini. dadaku selalu terbakar panas, tatkala mengingat kejadian di sekolah tadi.     

Aku merasa keduanya telah melampaui batas, aku merasa keduanya telah melanggar apa yang sudah kutetapkan. Aku merasa keduanya benar-benar masih terlalu dini untuk mengenal arti dari sebuah ciuman.     

Kedua tanganku mengepal kuat-kuat, pikiranku semakin berkecamuk hebat. Sebab bagaimanapun, yang namanya nafsu akan selalu menggoda kapan pun mereka berada. Sekarang mungkin hanya ciuman, tapi siapa yang akan tahu kedepannya seperti apa. Toh posisinya, keduanya hanya berdua di sini aku ndhak bisa mengawasinya secara langsung.     

Aku takut, dan aku ndhak mau kalau sampai Ningrum lalai akan hal yang seharusnya dia jaga, kemudian dia akan melepaskan mahkotanya begitu saja. jika kalau itu sampai terjadi, aku benar-benar ndhak akan pernah bisa memaafkan semuanya. Aku, ndhak akan pernah bisa bahkan berdiri dengan tegak di pusara Arni dan Muri sambil mengatakan dengan bangga kalau aku bisa telah berhasil menjaga putri mereka.     

Gusti, apa aku salah jika aku ingin melindungi putriku sendiri? Apa aku salah jika aku ingin menjaganya? Apa aku salah jika aku ndhak ingin jika ada laki-laki yang menyentuhnya sebelum waktunya tiba? Aku takut, Gusti... aku ndhak mau kesalahan yang telah kuperbuat terulang lagi dengan putriku. Aku ndhak mau dia merasakan sakit seperti apa yang kurasakan, aku ndhak mau dia merasa hina seperti apa yang Manis rasakan. Yang hanya merasa nikmat sesaat, tapi setelahnya akan merasa hancur untuk selama-lamanya.     

"Arjuna, apa dulu kamu tidak pernah merasa seperti apa yang mereka rasakan? Gelora masa-masa muda saat kamu merasakan tertarik dengan lawan jenis? Aku rasa yang sedang mereka rasakan hanya sebatas itu, tidak lebih. Itu bukan berarti ketika mereka kepergok ciuman atau apa pun yang kamu lihat, berarti mereka lantas akan melakukan hubungan intim lebih. Coba percaya dengan mereka, sebab setiap orang tidaklah sama. Kamu telah mendidik anakmu sampai detik ini, memberi kepercayaan kepadanya bersekolah di tempat jauh. Apakah selama ini menurutmu anakmu pernah melakukan hal-hal nakal lainnya di luar batas toleransimu? Apakah selama ini dia pernah berpacaran dengan pemuda lain selain pemuda itu dan melakukan hal-hal di batas wajarnya?" aku diam, saat Setya mengatakan hal itu. "Aku tahu, aku tahu... tapi setidaknya bisakah kamu memberi kepercayaan kepada mereka?"     

"Kepercayaan?" kataku membalas ucapan dari Setya. "Kepercayaan seperti apa yang kamu maksudkan itu, Setya? Bahkan, kepercayaanku yang pertama yang kuberikan dengan mereka ternyata dengan mudah mereka langgar begitu saja. Aku menyuruh mereka sekolah yang sungguh-sungguh, aku menyuruh mereka untuk saling menjaga, jika nanti akhirnya mereka jatuh hati dan menikah, aku sama sekali tidak akan keberatan dan tidak melarang. Toh, itu adalah salah satu hal yang kuharapkan. Di mataku Pandu baik, Pandu pekerja keras dan bersungguh-sungguh. Hanya saja, kepercayaanku yang ini saja telah mereka langgar, lantas kamu mau aku memberi kepercayaan yang bagaimana lagi? nafsu itu sangat tidak manusiawi dan tidak bisa dinalar akal, Setya. Hari ini mereka merasakan nikmat yang namanya ciuman. Setelah itu mereka akan penasaran dengan sentuhan-sentuhan, dan tidak bisa dipungkiri, setelah ini mereka akan menginginkan lebih, rasa paling nikmat yang mungkin mereka ingin rasakan sebagai bukti dari cinta busuk mereka itu."     

"Tapi—"     

"Aku pernah merasakannya, aku sudah merasakannya. Itu sebabnya aku lebih tahu dari kamu, atau pun mereka. Dan kamu juga tahu pasti, kan, kenapa kamu dengan Wangi tidak menahan diri, kenapa kalian harus berhubungan badan, toh, kamu bilang mungkin kamu bisa menahannya. Kamu tentu sudah matang dari pada anak-anak itu, kamu pasti lebih bisa mengontrol nafsumu dari pada anak-anak itu. asal kamu tahu, Setya, gelora anak muda, jauh lebih mengerikan dari pada segalanya."     

Kini, agaknya Setya menunduk. Seolah apa yang kukatakan telah menamparnya secara nyata. Kemudian, dia memandang Ningrum dan Pandu yang masih bersimpuh di lantai dalam diamnya mereka itu.     

"Lalu, apa yang akan kamu lakukan kepada mereka? Membawa anakmu kembali ke Kemuning bukanlah satu-satunya cara terbaik yang bisa kamu lakukan, Arjuna. Sebab bagaimanapun mereka saling cinta, yang ada kamu akan memberi duka dan memisahkan dua insan yang saling cinta. Kamu pasti sudah tahu rasanya tidak direstui, kan? Kamu juga pasti tahu rasanya jika dipaksa berpisah dengan orang yang kamu cinta, kan? Sakit... dan dari rasa sakit itu malah membuat semua orang nekat melakukan cara apa pun untuk bersatu. Percayalah kepadaku akan hal itu."     

Iya, benar. Aku pun tahu tentang hal itu. karena dulu aku juga pernah merasakan hal yang sama. Hal yang salah bagi orangtua untuk memisahkan dua orang yang jatuh cinta adalah, dengan memisahkan mereka. Karena semakin mereka dipisahkan, semakin besar pula usaha mereka untuk bersatu. Karena mereka merasa hanya dengan itu cinta mereka bisa bersatu.     

"Tinggal berapa tahun putrimu bersekolah di sini?" tanya Setya lagi.     

Aku diam, sambil menyenderkan tubuhku di dinding, kemudian kupihat pelipisku yang mendadak sakit. Jika Manis tahu ini, apa yang akan dia lakukan? Apa dia akan marah sama sepertiku? Atau dia akan memberikan kesempatan kedua untuk mereka? Gusti, apa aku harus mengatakan ini kepada Manis. Tapi, dia sedang hamil. Apa ndhak apa-apa aku memberinya beban pikiran seperti ini? Apa dia ndhak apa-apa jika aku mengatakannya?     

"Arjuna!"     

"Kurang satu tahun," kujawab.     

"Siapa yang selama ini kamu suruh menjaga putrimu di sini?"     

"Paklik Junet,"     

"Kurang berapa hari lagi Manis wisuda?"     

"Lusa,"     

Setya tampak diam, kemudian dia mencoba menimang-nimang sebuah keputusan yang mungkin lebih baik dari pada keputusan yang mungkin akan kuambil.     

"Ya sudah begini saja, kamu bicarakan dulu masalah ini dengan istrimu. Untuk beberapa hari ini aku akan menyuruh Wangi untuk berada di sini mengurus putrimu. Jika perempuan yang mengurus, mereka akan lebih telaten dan peka dengan hal-hal seperti ini, kan? Dan setelah itu, lebih baik kamu tinggal di sini dulu sampai putrimu lulus. Kalau tidak begitu, maka kamu akan terus curiga kepada mereka, kan? Dan kamu pasti akan berpikir macam-macam. Kurasa itu adalah satu-satunya ide yang terbaik. Atau, kamu juga bisa menyuruh Rianti untuk tinggal di sini. Toh, Bima juga kembali bekerja lagi di Jakarta."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.