JURAGAN ARJUNA

BAB 315



BAB 315

0Sore ini, aku mondar-mandir di luar rumah. Kenapa Ningrum ndhak pulang-pulang? Bukankah dia seharusnya sudah pulang beberapa jam yang lalu? Merasa perasaanku ndhak enak, akhirnya aku tinggal dulu Setya yang sekarang masih tidur. Aku harus ke sekolah untuk menjemput Ningrum. Dasar Pandu ini, bagaimana bisa dia lalai. Bukankah dia sudah kuberikan tugas untuk mengawasi dan menjaga Ningrum? Apa yang terjadi sampai Ningrum ndhak pulang juga sampai jam segini?     

Aku lekas pergi ke sekolah, bahkan gerbang sekolah sudah ditutup. Sebenarnya, ke mana perginya Pandu dan Ningrum. Apakah mereka pergi berpacaran? Lihat saja nanti kalau iya, aku ndhak akan segan-segan melaporkannya kepada biungnya agar dia dimarahi biungnya. Dan kali ini aku ndhak mau membelanya sama sekali.     

Aku mondar-mandir di depan gerbang, tapi ujung mataku melihat sesuatu, dua orang yang memakai seragam sekolah berdiri berdua di sisi sebelah kanan sekolah, berada di luar gerbang, tapi terhalang oleh pohon yang cukup besar.     

Saat kuperhatikan dengan seksama dan kutahu jika sosok itu adalah Ningrum dan Pandu. Aku melangkahkan kakiku semakin dekat, dan tiba-tiba langkahku terhenti saat Pandu mencium bibir Ningrum.     

Apa yang kulihat ini benar? Mereka berciuman? Mereka... di belakangku? Kurang ajar!     

Kucepatkan langkahku, kupukul kepala Pandu sampai dia terjatuh, untuk kemudian kutarik tangan Ningrum yang masih kaget dengan keberadaanku sekarang di sini.     

"Kurang ajar kalian! Apa yang kalian lakukan tadi, hah!"     

"Romo,"     

"Juragan,"     

"Aku benar-benar ndhak menyangka, jika kepercayaanku harud dibayar dengan hal serendah ini. apa kalian tahu kalau kalian masih kecil? Kenapa kalian beradegan dewasa seperti ini, hah! Sejauh mana hal yang pernah kalian lakukan selama aku ndhak ada?!"     

Keduanya menunduk, ndhak berani menjawab ucapanku sama sekali. Ningrum, demi Gusti Pangeran, aku ndhak pernah menyangka jika dia bisa berlaku seperti ini.     

"Kamu kusekolahkan tinggi-tinggi, Ndhuk. Kamu kusekolahkan di tempat yang kamu ingini, Ndhuk. Tapi, kamu seperti ini? hanya untuk mempermalukan Romo kamu harus sekolah ke tempat sejauh ini? Pulang!"     

Aku langsung menggeret paksa Ningrum, sampai Pandu berusaha sekuat tenaga untu memisahkan tangan kami. Dia terus saja memanggil namaku tapi ndhak aku pedulikan sama sekali.     

"Romo... kami ndhak melakukan apa-apa selain tadi! Itu pun kami hanya terbawa suasana. Kami... kami hanya melakukannya sekali. Demi Gusti Pangeran, Romo. Demi Gusti Pangeran aku sama sekali ndhak berdusta, Romo!"     

"Bedebah! Persetan dengan apa yang kalian ucapkan! Aku ndhak peduli! Pulang! Akan kucarikan sekolah tedekat dari rumah dari pada kamu di sini hanya untuk mempermalukanku saja! Pulang!"     

Setelah itu kupaksa masuk Ningrum ke dalam mobil, kemudian kubawa dia pulang ke rumah. Pandu tampak keras kepala, lihatlah bagaimana dia berlari mengejarku dan Ningrum yang naik mobil ini. rahangku semakin mengeras karenanya, karena aku semakin bertambah emosi karena kelakuan yang dibuatnya. Aku, telah merasa iba, telah merasa kasihan kepadanya dan memiliki niat baik untuk mengangkat derajatnya agar dia menjadi sukses. Kelak... kelak kalau dia dewasa, terserah mereka kalau mau menikah atau melakukan apa pun. Tapi kenapa, kenapa mereka harus berbuat seperti ini tatkala mereka masih sekolah, Gusti! Terlebih anakku, putri satu-satunya yang kubanggakan, kenapa bisa-bisanya dia berani berbuat seperti itu? apakah dia sat berbuat itu ndhak membayangkan bagaimana perasaan orangtuanya? Apakah ketika dia berbuat seperti itu ndhak membayangkan perasaan Romo dan Biungnya.     

Aku menghentikan mobilku, kutarik lagi tangan Ningrum untuk segera kumasukkan ke dalam rumah. Setya yang agaknya kaget dengan kedatanganku dan Ningrum pun tampak menjingkat. Bahkan dia memandangku dengan tatapan bingung yang luar biasa sekali.     

"Ini siapa, Arjuna? Simpananmu?"     

"Diam kamu!" marahku kepada Setya, dia langsung diam tanpa aba-aba, seolah tahu jika bicara bukanlah hal yang pantas ia lakukan sekarang.     

"Sekarang kemasi barangmu, ayo kita pulang!"     

Ningrum langsung berlutut, dia langsung memeluk kakiku kuat-kuat sambil menangis tersedu-sedu.     

"Romo, maafkan aku, toh, Romo. Jangan marah seperti ini kepadaku, Romo. Aku mohon," pintanya kepadaku.     

Aku diam, ndhak bisa berpikir jernih sekarang. Bahkan aku sendiri ndhak tahu, apa yang harus kulakukan dan kukatakan kepada Ningrum saat ini juga.     

Dan ndhak lama setelah itu, Pandu pun datang. Dengan napas terengahnya, dengan wajah busuknya itu dia langsung berlutut di kakiku. Sama halnya dengan apa yang Ningrum lakukan kepadaku. Keduanya menangis, ketakutan, sambil memegangi kakiku erat-erat.     

"Lepaskan," kataku dengan nada dingin yang ndhak berperasaan. Keduanya menggelengkan kepalanya, kemudian mereka kembali memeluk kakiku lagi.     

"Maafkan aku, Juragan, maafkan aku. Aku sama sekali ndhak menyangka jika semuanya akan seperti ini. Aku janji kejadian ini ndhak akan terulang lagi. aku janji kepadamu, Juragan."     

Cih! Janji... janji, aku ndhak percaya dengan janjinya laki-laki yang sedang jatuh hati. Batasan wajar saja mereka langgar apalagi hanya janji kepada seseorang yang bahkan ndhak ada di sini setiap hari.     

"Arjuna, jangan seperti ini. Jangan bertindak egois. Apa pun kesalahan mereka, coba bicarakan dengan baik-baik. Aku yakin kok jika semua masalah itu pasti memiliki jalan keluarnya masing-masing. Dan aku juga percaya jika semuanya bisa diselesaikan dengan kepala dingin. Duduk... duduklah dulu," pinta Setya kepadaku.     

"Diam kamu, Setya! Kamu belum memiliki anak, jadi kamu tidak akan pernah paham bagaimana rasanya jadi aku. yang melihat kelakukan anakku bersama dengan pemuda tidak tahu malu ini di belakangku!"     

"Arjuna, tenang... tenang, Arjuna," Setya tampak mengelus punggungku, mungkin niatnya adalah untuk menenangkanku, tapi aku malah merasa ndhak tenang sama sekali, dan membuatku semakin emosi dibuatnya. "Anakmu meski aku tidak tahu bagaimana kamu tiba-tiba punya anak sebesar ini, bagaimanapun dia adalah seorang perempuan. Tidak baik kalau kamu memarahinya dengan cara seperti ini. pasti anakmu akan sangat malu."     

"Justru karena dia anak perempuanku itu sebabnya aku memarahinya seperti ini. membuatnya malu? Justru kelakuannyalah yang membuatku malu. Bagaimana bisa dia melanggar janjinya sendiri, bagaimana bisa dia berlaku seperti itu kepada romonya."     

"Arjuna, kamu ini masih muda. Tapi kenapa kamu ini kolot sekali. Apa kamu tidak pernah muda waktu dulu? Apa kamu dulu tidak pernah melakukan kesalahan seperti mereka? Barangkali merasa tertarik dengan perempuan kemudian kamu tidak sengaja melakukan hal di luar kesadaranmu. Menurutku selama mereka tidak sampai merusak pagar ayu, dan perbuatan mereka masih wajar atau hanya sekali mereka melakukan ini. kenapa kamu tidak memberi mereka kesempatan lagi? kenapa kamu tidak memaafkan mereka sekali lagi dan memperingatkan mereka saja? Arjuna—"     

"Cukup, Setya. Memangnya kamu ini siapa? Kenapa bisa kamu berlaku menantangku dan membela mereka seperti itu? apa kamu pikir yang kamu lakukan itu pantas? Membela mereka tepat di depan mata kepala mereka? Yang ada mereka akan besar kepala, dan akan menganggap remeh masalah ini."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.