JURAGAN ARJUNA

BAB 314



BAB 314

0Setelah kami berbasa-basi, Romo dan Biung pun akhirnya keluar. Mereka tampak bercakap-cakap sebentar sembari tampak sangat antusias dengan ideku itu. untunglah mereka mendukungku sekali, coba kalau endhak aku akan berbuat apa nanti.     

Kemudian, Mbah Seno diantar oleh Paklik Sobirin untuk menempati kamarnya. Kamar yang sudah kusiapkan sendiri dengan sangat rapi. Kamar itu sengaja kujadikan satu dengan Paklik Sobirin juga Suwoto tatkala mereka menginap. Sebab merekalah yang lebih dekat denganku. Itu sebabnya mereka yang paling kupercaya untuk urusan menjaga Paklik Seno.     

Dan pagi ini setelah semuanya bersiap, Setya agaknya memohon kepadaku untuk ditemani ke kota, untuk sekadar membeli peralatan bangunanya itu. awalnya aku ndhak mau, tapi setelah kupikir-pikir aku telah lama ndhak mengunjungi Ningrum akhirnya aku menyetujui. Dengan catatan, belinya di Purwokerto.     

Awalnya dia hendak menolak, karena bagaimana bisa hanya membeli bahan bangunan saja harus sejauh itu. Bahkan di kecamatan juga ada. Karena aku mengancamnya ndhak mau menemani, akhirnya dia menurut juga. Dan setelah perjalan yang cukup jauh, juga setelah memilah beberapa bahan bangunan yang rupanya Setya sangat rewel sekali itu. kami pun berhenti di rumahku. Dan sekarang, benar-benar belum waktunya untuk Ningrum pulang sekolah, tapi lumayan bisa istirahat sejenak sambil menikmati siang di depan rumah ini.     

"Benar-benar gila, masak iya hanya membeli bahan bangunan saja jauh-jauh ke sini. Apa tidak ada kerjaan lain apa kamu, Arjuna?" kata Setya, yang agaknya kesal kepadaku. Dia kemudian mengambil sebatang rokok, kemudian menyesapnya dengan nikmat.     

"Dokter kok merokok, dasar tidak jelas," celetukku. Kataku, padahal dia jelas-jelas tahu kalau rokok itu ndhak baik buat tubuh, tapi kok ya tetap merokok itu kenapa, toh?     

"Oh, nikmat kok...," bantahnya, yang berhasil membuatku melempar satu bungkus rokok ke arah wajahnya. "Arjuna, asal kamu tahu, ya. Merokok itu ibarat jatuh cinta. Sudah tahu sakit, tetap saja kita berani melakukannya, bukan seperti itu?" katanya sambil menarik turunkan alisnya. Ceritanya, dia itu mau berkata-kata romantis begitu lho, tapi kok ya tak dengar-dengar ndhak pantas sama sekali ucapannya itu.     

"Kalau begini bagaimana...," kini aku giliran yang berbicara. "Merokok itu ibarat malam pertama, sudah tahu sakit, masih nekat melakukannya juga."     

"Dasar kerbau!" umpatnya kepadaku, aku tertawa. "Tapi iya, benar juga ya. Sakitnya entah bagaimana tapi wanita-wanita itu menikmatinya juga," ucapnya kemudian,     

"Memangnya kamu pernah tidur sama perawan? Bukannya yang kamu tiduri itu cuma Wangi?" kutanya. Setya tampak menghela napasnya, kemudian mengeluarkan asap rokok itu dari hidungnya.     

"Dulu pernah, tidak sengaja. Sama adik tingkat, waktu praktek apa itu. Duh, aku bahkan sampai tidak bisa lupa, bagaimana indahnya saat dia menggigit bibir bawahnya, karena menahan sakit saat perawannya hilang di tanganku."     

"Dasar setan!" umpatku kepadanya. Sampai sejelas itu pula dia bercerita, ndhak tahu malu sama sekali.     

"Kenapa, Arjuna? Bukankah ini pembicaraan wajar antara laki-laki? Kenapa kamu bertingkah seperti seorang perempuan yang malu-malu. Hayow, bilang kepadaku, anak perawan siapa saja yang sudah pernah kamu perawani?"     

"Aku bukan si berengsek sepertimu!" marahku ndhak terima.     

"Tapi aku dengar kamu bahkan pernah terjerat pesona dokter itu, kan? Entah karena ilmu hitam atau apa, kalian bahkan melakukannya di rumah sakit. Ck! Ck! Duh betapa seksinya itu menikmati tubuh bohai Widuri, merasakan keperawanannya, sambil meremas-remas dadanya yang besar itu. Ehm, aku yakin kamu pasti melakukannya setiap hari lebih dari tiga kali."     

"Bangsat!" marahku lagi. "Dari mana kamu tahu tentang Widuri?" tanyaku kepadanya. Setya tampak tertawa.     

"Kami teman. Dan dia cerita semua tentang hubungan kalian di atas ranjang. Benar-benar gila, kan? Bagaimana besarnya, panjangnya, dan—"     

"Kamu mau aku tinggal di sini, silakan berbicara tidak jelas seperti itu sesukamu!"     

Setya langsung tersenyum, kemudian dia menoel-noel pipiku. Bahkan, aku sudah naik darah sekarang. Aku sudah berusaha keras untuk melupakan hal yang menyakitkan untuk Manis. Tapi kenapa laki-laki bangsat ini selalu mengungkitnya lagi.     

"Dia benar-benar jatuh cinta sama kamu, Arjuna."     

"Tapi aku sudah punya istri. Dan dia benar-benar merusak rumah tanggaku saat itu."     

Setya tampak tersenyum, kini dia ndhak secongkak tadi. Seolah-olah dia tahu sesuatu yang aku ndhak tahu.     

"Dia hanya korban, yang kebetulan jatuh cinta kepada mangsanya. Kasihan, semenjak kami bekerja bersama di sebuah rumah sakit sebelum aku pindah. Aku sering sekali melihat betapa dia sangat tertekan dan menderita dengan keluarganya. Awalnya aku benar-benar tidak tahu, kalau orang yang dimaksud itu adalah kamu. Betapa dia ingin berpacaran tapi keluarganga melarang, bagaimana dia ingin merasakan ciuman, tapi keluarganya melarang. Ya, jadi, saat dia bertemu denganmu, mungkin yang dia lakukan selain mencintaimu adalah, menumpahkan semua rasa yang coba dia tahan selama ini. sakit, lho, Arjuna, menahan semuanya sendiri seperti itu."     

"Dan kamu tahu kalau dia sudah mati?" tanyaku. Setya tampak kaget luar biasa.     

"Benarkah? Aku pikir dia menyerah dan kembali ke rumah. Jadi dia sudah mati? Ya Tuhan kenapa nasibnya tragis sekali? Dari lahir sampai besar hanya sebagai alat balas dendam dan berakhir dengan mati?"     

Aku mengangguki ucapannya, memang benar aku pun merasa kasihan juga dengan Widuri. Kisah hidupnya benar-benar sangat pahit sekali. Tapi terlepas dari itu semua adalah, apa pun yang ia lakukan adalah keputusannya sendiri. Dan kurasa keputusan itu adalah yang dia pikir terbaik untuk dirinya sendiri.     

"Waktu itu dia hamil anakku, dan dia tinggal bersamaku dengan Manis. Kami berencana untuk makan malam bertiga. Namun sayang, sepertinya dia sudah merencanakan sebuah bunuh diri yang tragis. Dia sengaja menabrakkan tubuhnya di sebuah truk yang sedang lewat. Sehingga, dia mati di tempat bersama dengan anaknya. Dan kamu tahu kondisi tubuhnya dan bayi yang ada di dalam perutnya? Benar-benar tidak bersisa,"     

Setya tampak menelan ludahnya dengan susah, kemudian dia mengusap wajahnya dengan kasar. Sesekali dia menghela napas panjang, kemudian dia tampak menundukkan kepalanya.     

"Aku benar-benar merasa sangat bersalah waktu itu," kataku lagi. "Dan kamu tahu, Setya. Saat ini dia ada di sini. Di sampingmu. Mungkin dia rindu kamu."     

"Apa-apaan kamu ini, Arjuna! Masak orang mati bisa datang menemui orang hidup!" marah Setya, karena dia penakut, pantaslah jika dia akan ketakutan seperti itu.     

"Tidak percaya?"     

"Memangnya kamu bisa lihat setan apa? Kamu punya kemampuan ajaib apa?" katanya yang masih tidak terima.     

"Benar tidak percaya, mau aku suruh dia masuk dalam tubuhku untuk berbincang-bincang denganmu, Setya?" tawarku, sambil mengulum senyum.     

Setya langsung melemparku dengan rokoknya, kemudian dia tampak ketakutan luar biasa.     

"Jangan banyak omong, aku tidak mau! Kamu tahu sendiri kalau aku penakut. Aku tidak mau!" marah Setya membabi buta. Aku tertawa karena tingkahnya itu. benar-benar lucu sekali.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.