JURAGAN ARJUNA

BAB 313



BAB 313

0Dan paginya, tatkala aku hendak keluar rumah karena ingin melihat bunga mawar yang waktu itu kuambil di hutan apakah sudah berakar atau belum. Aku dikagetkan dengan kedatangan Mbah Seno, yang sudah berdiri di depan rumahku bahkan ndhak bergerak sedikitpun.     

Omong-omong soal pohon mawar, kalian pernah toh tatkala sebelum menanam bunga-bungaan kalian akan mengambil dahan kecil namun tua dari pohon tersebut, kemudian kalian mengambil botol untuk dikasih air dan memasukkan bagian ujung dahan itu ke dalam botol sampai ujung dahannya berakar? Nah, kira-kira itulah yang aku lakukan, karena Manis bilang, dia hanya mau merawat mawar-mawar itu kalau aku berhasil melakukannya.     

Kembali ke Mbah Seno, kupelankan langkah kakiku tatkala Mbah Seno sudah ada di depan rumah. Dia tampak memeluk tubuhnya, meski sudah menggunakan jaket yang usang itu. Tangannya menenteng sebuah kain, yang dibungkus, entah di dalamnya isinya apa aku sama sekali ndhak tahu.     

Aku bergegas turun untuk mendekat ke arah Mbah Seno, kemudian kuajak dia untuk masuk. Ini masih terlalu pagi, kabut di sini masih terlalu tinggi. Benar-benar ndhak baik bagi seorang yang sudah tua seperti Mbah Seno untuk berdiam diri di luar sana untuk waktu yang cukup lama.     

"Mbah Seno, sudah berapa lama berada di luar? Kenapa ndhak mengetuk pintu, toh? Tadi, masak ndhak ada satu abdi saja yang melihat Mbah Seno datang ke sini?" kubilang, sambil menuntunnya untuk duduk di salah satu kursi balai tamuku. Tapi, Mbah Seno tampak sungkan, dia menolak dan hendak duduk di bawah, membuatku menahannya dan memaksanya untuk duduk kembali ke kursi.     

"Juragan, kok ya ndhak pantas benar toh aku ini duduk di kursi kebesaran seperti ini, kursi ini terlalu mahal untuk aku duduki, Juragan," kata Mbah Seno tampak sungkan.     

"Duh Gusti, Mbah Seno. Kursi ini hanya kursi biasa, ya sama dengan kursi-kursi lainnya. Sama pula dengan kursi yang berada di rumah Mbah Seno. Jadi, ndhak usah seperti itu, toh. Apalagi berkata jika kursi ini adalah kursi kebesaran. Sebab manusia harganya jauh lebih tinggi, dari pada kursi kayu semacam ini. Duduk, duduk saja. Aku akan memanggilkan Bulik Sari untuk membuatkan Mbah Seno wedang. Omong-omong, Mbah Seno mau wedang apa? Wedang jahe, wedang ronde, wedang cemuai, atau kopi pait, hayow?" tawarku sembari menggodanya.     

Mbah Seno tampak tersenyum malu-malu, lihatlah wajahnya yang malu-malu itu, tampak semakin keriput semua. Ohya, Mbah Seno kan sudah tua, pantaslah keriput semua.     

"Wedak jahe saja, Juragan. Ndhak usah repot-repot," jawabnya yang masih tampak jelas jika dia sungkan.     

"Ndhak repot sama sekali, Mbah. Tenang saja, toh. Di sini para abdi yang memasak itu mengurusi makanan orang banyak. Itu sebabnya, ndhak heran kalau menu hidangannya seperti yang ada di warung, macem-macem. Namanya lidahnya banyak, ndhak Cuma satu. Ada yang suka teh, ada yang suka kopi, ada yang suka wedang-wedangan dan lain sebagainya. Itu bukan perkara membuat mereka sungkan atau bagaimana, sebab bagaimana toh, mereka sudah sudi bekerja dengan keluargaku. Sudah sepantasnya mereka mendapatkan yang terbaik dari keluargaku. Agar mereka betah, dan nyaman, dan merasa tinggal di rumah. Jadi, karena terlalu nyaman malah kebanyakan dari mereka ndhak ada yang mau pulang ke rumah," aku tertawa tatkala mengingat itu. iya, rumah-rumah mereka lebih ditinggali oleh anak-anak mereka yang remaja sampai dewasa, karena mereka ndhak mau pada pulang. Ndhak tahu kenapa, itu. Padahal, jarak rumah mereka sama rumah ini sangat dekat, lho. Mereka bilang sudah terlanjur nyaman. Dan oleh terlanjur nyaman itu, Romo Nathan sampai membuatkan kamar khusus abdi yang letaknya di balai belakang. Yang dulu katanya sebagai tempat kalau-kalau ada pertunjukan atau apa itu, aku sendiri ndhak paham.     

"Memang rumah seorang Juragan itu beda, toh," kata Mbah Seno. Aku hanya tersenyum saja.     

"Kangmas, ada siapa?" Manis yang baru saja dari belakang tampak mendekat ke arahku, kemudian dia tampak kaget tatkala di balai tamu ada Mbah Seno sedang duduk bersamaku. "Duh Gusti, Mbah Seno, toh. Pagi benar, Mbah? Apa kabar? Baik-baik saja, toh?" tanyanya sangat sopan, dia tampak berjalan mendekat dengan membungkuk, kemudian mencium punggung tangan Mbah Seno. Sambil menekan perutnya, dia kemudian ikut duduk bersamaku.     

"Kenapa Sayang?" kutanya. Manis tampak menggeleng.     

"Entah kenapa, semakin besar kok ya semakin rasanya aneh," jawabnya. Dasar dia ini, ya namanya saja perut dari datar berubah pelan-pelan menjadi besar kok ya ndhak aneh itu dari mana toh.     

"Baik, Ndoro, kabarku baik-baik saja, tujuanku datang ke sini ndhak lain dan ndhak bukan hanyalah karena ingin menjawab dari tawaran Juragan Arjuna kemarin sore. Perihal beliau menyuruhku untuk bekerja di tempatnya."     

Manis memandang ke arahku bingung, mungkin dia berpikir aku ini jahat. Karena telah membuat orang setua itu bekerja keras di masa tuanya.     

"Kamu jangan salah paham...," bisikku kepada Manis. "Mbah Seno itu di rumahnya sendirian. Kamu tahu rumahnya, toh, rumahnya berada di belakang sendiri dan ndhak ada tetangganya sama sekali. Keseharian Mbah Seno itu menjual burung emprit, burung pemakan padi itu, lho, dan hasil dari menjual burung itu ndhak menentu. Dia ditinggal istri dan anak-anaknya pergi. Jadi, aku mau memberinya pekerjaan yang ringan-ringan saja. dengan begitu dia mendapatkan upah setiap hari, dan bisa tinggal di sini. Kan kalau dia tinggal di sini bisa kumpul sama orang banyak, Sayang. Kalau tinggal di sendiri di rumah ndhak bikin tega."     

"Jangan beri pekerjaan yang berat, Kangmas. Kasihan, sudah sepuh (tua),"     

"Iya Sayangku, pasti itu."     

"Ya sudah, Mbah Seno. Aku pamit dulu, ya, mau ke dapur, nanti kembali lagi. sambil membawakan cemilan untuk Mbah Seno. Mbah Seno ndhak perlu sungkan, anggap rumah sendiri, toh. Dan nikmati dulu. Dan iya, kalau bekerja juga ndhak usah terlalu ngoyo, santai saja, toh. Di sini itu banyak kawan yang membantu. Asal Mbah Seno merasa nyaman dan senang saja. kami itu sudah syukur, sebab yang kami inginkan Mbah Seno bahagia. Lebih dari itu ndhak ada lagi."     

Duh Gusti, rasanya aku nyaris ndhak bisa berkedip tatkala melihat Manis mengatakan hal itu. Suaranya yang lembut, pengertiannya, dan caranya menghormati orangtua. Benar-benar sangat luar biasa, bahkan aku merasa jika sosok di depanku ini bukanlah manusia. Akan tetapi, dia juga bukan lelembut. Dia itu—Manis seperti seorang peri yang benar-benar sempurna tanpa celah mana pun yang ada di sisinya. Kecuali satu, kalau denganku dia sering marah-marah, itu saja ndhak lebih. Tapi, aku juga paham kenapa dia marah. Semua istri pasti marah kalau pakaian yang sudah ditata rapi-rapi aku buat berantakan setiap hari.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.