JURAGAN ARJUNA

BAB 312



BAB 312

0"Ndhak usah seperti itu, Mbah. Ehm, aku beli semua burung-burung itu, ya."     

"Lho, kok seperti itu, Juragan."     

"Ya ndhak apa-apa, sepertinya aku punya sebuh ide, untuk membuat kandang di belakang rumah, dipagari, agar Abimanyu bahagia bermain dengan burung-burung itu. bagaimana, bukankah itu menyenangkan?"     

"Walah Juragan ini bisa saja, toh."     

Aku tersenyum mendengarnya mengatakan hal itu, kemudian aku lirik lagi ke arah belakang, sepi, ndhak ada siapa pun di sini.     

"Mbah Seno tinggal sendiri? Di mana anak dan istri?" kutanya. Mbah Seno tersenyum, kemudian dia mengelus pahanya yang berwarna sawo matang itu.     

"Semuanya sudah pergi lama, Juragan...," kata Mbah Seno membuka suara. "Bagaimana ada, toh, orang yang betah dengan laki-laki yang ndhak punya pekerjaan sepertiku. Pastilah mereka akan memilih kabur dari rumah guna untuk mendapatkan kehidupan yang lebih layak lagi. Sementara aku, cukup di sini saja. Menikmati sisa hidupku dengan menjual burung-burung kecil itu, sambil menanam beberapa sayur mayur di kebun belakang. Hasilnya lumayan, kalau mau makan ndhak usah beli. Tinggal petik saja."     

Hatiku terasa tersenyuh mendengar penuturan dari Mbah Seno, duh Gusti, bagaimana bisa aku ndhak tahu perkara itu? bukankah semuanya yang ada di sini kuusahakan untuk mendapat pekerjaan. Lantas, bagaimana ceritanya Mbah Seno sampai terlantarkan seperti ini? sungguh, meski pekerjaan itu hanya cukup untuk makan sehari, seendhaknya itu lebih bagus dari pada endhak sama sekali, toh. Itu sebabnya aku selalu mewanti-wanti Paklik Junet, dan Paklik Sobirin untuk terus meninjauh, keluarga mana dan mana saja yang kiranya masih membutuhkan uluran tangan. Dan salah satu dari usahaku adalah dengan membuka beberapa lapangan pekerjaan lain selain dari hasil perkebunan. Dan ternyata, di belakangku, masih ada satu sosok yang bahkan sangat membutuhkan sampai seperti ini? Apa yang harus aku lakukan, Gusti.     

"Biasanya banyak yang beli, toh, Mbah, burungnya? Atau ndhak mesti?" tanyaku lagi.     

Mbah Seno tampak tersenyum getir, dan terlihat jelas apa yang hendak dia katakan sebagai jawaban atas pertanyaanku itu.     

"Ndhak mesti, Juragan. Berapa toh hasil dari menjual burung-burung itu. kadang laku seekor, kadang ndhak sama sekali. Bahkan, tatkala ada anak yang hendak membeli, orangtua mereka melarang keras, kemudian mereka berdalih. Jika mereka bisa menangkap yang lebih besar dari pada yang kujual. Ya namanya juga penduduk kampung, Juragan. keluar uang satu rupiah saja ibaratnya, akan diperhitungkan secara rinci. Jadi, mau bagaimana lagi."     

"Kenapa Mbah Seno ndhak bekerja di kebun teh? Bukankah dari pada mencari burung kesana-kesini jauh lebih melelahkan? Memetik teh hanya dilakukan saat pagi hingga tengah hari saja. kemudian, bisa pulang dan mendapatkan upah untuk makan."     

"Bagaimana aku berani, toh, Juragan...," jawab Mbah Seno lagi. "Karena dulu, salah satu dari anakku telah berbuat ulah. Apa Juragan ndhak ingat? Karena ulah ndhak terpujinya itulah yang membuatnya dikeluarkan dari pekerjaan itu. yang mengakibatkan dia menjadi pengangguran, kemudian dia menghabiskan seluruh harinya untuk mabuk-mabukan ndhak jelas setiap hari, serta berjudi. Hingga akhirnya, kerbau satu-satunya milikku harus terpaksa kujual untuk membayar hutang dari anakku itu."     

Lagi, aku kembali diam, aku benar-benar ndhak tahu apa yang harus aku lakukan. kenapa semua menjadi seperti ini, toh. Semuanya tampak mengumpul jadi satu menjadi satu hal yang semu. Kasihan benar, Mbah Seno, hanya karena anaknya dia harus seperti ini. Gusti, apa yang harus kulakukan untuk membantu Mbah Seno? Aku harus menolongnya, aku ndhak akan tega melihatnya harus terlunta-lunta sebatang kara di masa tuanya ini.     

"Mbah Seno keahliannya apa, toh, selain menangkap burung?" tanyaku pada akhirnya. Aku harus mencarikan pekerjaan yang ringan, juga pekerjaan itu harus ia gemari. Sebab kalau endhak, itu akan membuat beban tersendiri untuk Mbah Seno. Lagi pula, usianya sudah senja. Bekerja dengan pekerjaan kasar ndhak akan pernah pantas untuknya.     

"Kalau aku bekerja apa saja asalkan itu ndhak mencuri semuanya bisa, Juragan. semuanya suka," jawab Mbah Seno.     

Aku kembali diam lagi, sebab aku ndhak tahu apa yang harus kulakukan. Untuk kemudian, sebuah ide muncul di benakku. Kurasa, aku telah menemukan pekerjaan yang cocok untuknya.     

"Mbah Seno aku punya ide...," kataku pada akhirnya. "Bagaimana jika Mbah Seno memandikan kerbau-kerbauku yag ada di kandang? Kemudian memberi makan kerbau-kerbau itu? Mbah Seno ndhak perlu mengambil rumputnya, sebab bagian mengambil rumput sudah menjadi tugas dari abdi yang lain yang lebih muda. Pekerjaan Mbah Seno cukup memberi makan saja, sambil membersihkan kerbau serta kandangnya. Aku akan memberimu upah setiap hari. Jadi Mbah Seno bisa gunakan upah itu untuk biaya hidup sehari-hari. Bagaimana? Jika perlu, Mbah Seno pindahlah ke rumah, berkumpul bersama dengan para abdi lainnya. Sebab kalau di sini sendiri, benar-benar sangat mengkhawatirkan, Mbah. Kamu sudah sangat sepuh, bagaimana bisa kamu tinggal sendiri di sini. Kalau ada apa-apa bagaimana? Kalau misalkan Mbah Seno ngelindur bagaimana? Itu akan sangat buruk sekali, lho, itu."     

"Duh Gusti, Juragan ini jangan bercanda, toh. Kok ya bisa menawariku pekerjaan yang sangat luar biasa seperti itu bagaimana. Aku ndhak berani, Juragan. aku cukup sadar diri untuk tahu siapa aku sebenarnya."     

"Sungguh, Mbah. Aku serius. Nanti sore Paklik Sobirin akan menjemput Mbah Seno kalau Mbah Seno sudi dengan tawaranku ini."     

Lama Mbah Seno terdiam, kemudian dia mengulum senyum, dipandangnya sepeda tuanya itu. sambil sesekali dia menghela napas panjang.     

"Juragan, sudikah kiranya Juragan memberiku waktu sejenak untuk memikirkan semua ini masak-masak? Ndhak perlu menyuruh Sobirin untuk datang ke sini. Besok, beri waktu aku smapai besok, aku sendiri yang akan datang sendiri ke tempat Juragan. jadi, Juragan ndhak merasa jika aku menolak tawaran Juragan, toh?" tanyanya.     

Aku mengangguk maklum, bagaimana lagi, memang selain mengangguk dengan permintaannya itu. kurasa, semua orang pun akan melakukan hal yang sama. Mungkin Mbah Seno pikir, aku sedang bercanda atau sedang mempermainkannya. Padahal niatku adalah sungguh, serius, dan tulus.     

"Aku harap, Mbah Seno sudi memikirkan masalah ini baik-baik. Sebab jujur, permintaanku ini adalah tulus, dan serius. Ndhak ada satu niat buruk pun terbesit di dalamnya. Aku hanya ndhak mau kalau sampai Mbah Seno harus melewati masa tua dengan cara seperti ini. aku ndhak mau Mbah Seno melewati masa tua sendirian. Aku ingin memberikan Mbah Seno keluarga, meski memang bukan sosok keluarga sesungguhnya. Ya, meski di balik itu semua Mbah Seno harsu bekerja. Tapi aku janji, pekerjaan itu ndhak akan pernah menyulitkan Mbah Seno. Aku akan memikirkan pekerjaan yang ringan untuk Mbah Seno. Aku—"     

"Juragan, aku paham. Aku paham sekali dengan apa maksud Juragan. terimakasih, terimakasih banyak karena Juragan telah peduli. Terimakasih, Juragan."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.