JURAGAN ARJUNA

BAB 311



BAB 311

0Aku tersenyum mendengar rengekan itu, Manis lantas menaruh Abimbanyu ke dalam pangkuannya. Kami sudah sibuk sendiri, dan ndhak begitu memerhatikan apa yang dibicarakan oleh Setya, dengan orangtua kami.     

"Mau main apa, Sayang? Tadi Ayah Besarmu sedang sibuk. Itu Om Dokter mau menikah," kata Manis memberitahu.     

Abimanyu tampak diam, kemudian dia memandang Manis dengan tatapan seriusnya itu.     

"Mau menikah? Menikah itu apa? Aku akan dapat kawan baru, Bunda?" tanyanya. "Kata Bunda kalau ada orang menikah, mereka akan diberi hadiah oleh Tuhan, sebuah bayi kecil kemudian bayi itu akan besar sepertiku. Menjadi teman mainku. Itu katanya yang ada di perut Bunda Besar dedek bayi yang nanti jadi teman mainku. Iya seperti itu?"     

Manis tampak menatapku, sepertinya dia agak bingung dengan jawaban apa yang harus dia berikan kepada Abimanyu, untuk kemudian dia hanya tersenyum, kemudian mengangguk seperlunya.     

"Memangnya bagaimana bisa, ya, Bunda Besar. Kok dedek ada di perut, Tuhan memasukkan ke perut itu lewat apa? Terus nanti keluarnya bagaimana?"     

Biung, dan Romo langsung terbatuk-batuk tatkala mendengar cucunya berceloteh seperti itu. sementara aku hanya bisa memijat pelipisku yang mendadak sakit. Duh Gusti, anak ini, punya otak nurun dari siapa, toh? Kok ya pertanyaannya aneh-aneh sekali.     

"Abimanyu, belum boleh memikirkan hal seperti itu. kelak kalau kamu sudah besar. Ada pelajaran itu yang akan diterangkan ibu guru. Jadi, untuk sekarang kamu jangan berpikir aneh-aneh dulu, ya," jawab Manis pada akhirnya. Abimanyu mengangguk, kemudian dia turun dari pangkuan Manis, dan merengek meminta kugendong.     

"Ayo Ayah Besar main kelereng! Atau main ketapel! Tadi aku melihat ada burung warna kuning di depan rumah! Tangkapkan satu untukku!" katanya dengan bahasa yang masih ndhak begitu lancar itu.     

"Iya, iya... ayo kita cari burung kuning itu. kita buat burung kuning itu sebagai makan malam kita, bagaimana?" kubilang, Abimanyu menggeleng kuat-kuat.     

"Tidak boleh dibunuh! Kasihan! Aku ingin merawatnya sampai burung itu besar, kemudian aku akan menaiki burung itu, dan kami akan terbang keliling dunia!"     

"Oh, iya... iya," kataku lagi. kami akhirnya keluar dari ruangan itu, kemudian pergi keluar rumah, mencari di mana gerangan burung kuning yang dimaksud oleh Abimanyu. Padahal jelas sekali, pasti burung-burung itu akan terbang tinggi atau bahkan terbang jauh dari sini. Lha wong burung punya sayap, ya ndhak mungkin sekali akan diam di tempat.     

"Ayah, kok tidak ada burungnya? Aku mau burung, aku mau burung, aku mau buruuung!" kata Abimanyu, yang kini sudah menangis meraung-raung karena burung.     

Aku bahkan sampai bingung, harus bagaimana untuk menghibur Abimanyu, aku ndhak mungkin sama sekali naik gunung untuk menangkap burung untuknya.     

Setelah kuingat jika salah satu tetangga ada yang menjual burung pemakan padi dengan berbagai warna, sebuah ide muncul di otakku.     

"Kamu mau burung banyak?" kutanya, Abimanyu mengangguk semangat. "Ayo kita beli di rumah Mbah Seno, beliau itu penjual burung yang punya burung buanyak sekali!"     

"Ayo! Ayo! Ayo kita pergi, Ayah!" semangat Abimanyu pada akhirnya. kami pun akhirnya berjalan ke rumah Mbah Seno, yang jaraknya ndhak terlalu jauh dari rumahku, cuma agak menanjak sedikit.     

Setelah ndhak lama aku jalan sambil menggendong Abimanyu, akhirnya kami berada pada sebuah rumah yang cukup masuk ke belakang. Rumah itu cukup mungil, dengan dindingnya tampak tua, bahkan aku bisa melihat bagian sisi depan dari dinding itu ditambal papan. Maklum dinding yang terbuat dari rajutan bambu, yang akan lapuk atau pun dimakan rayap karena seiring berjalannya usia.     

Sosok tua itu tampak sedang mengelapi sepeda ontelnya, sepeda yang bahkan sudah berkarat dan warnanya sudah memudar di mana-mana. Aku tergugu untuk sesaat, di kampung ini, ada satu penduduk yang seperti ini, bagaimana aku bisa ndhak tahu? Apakah dia juga merasakan pembagian sembako tatkala Paklik Sobirin kusuruh bagikan? Apakah dia juga merasakan pembagian apa yang kumiliki? Dan di mana istri serta anaknya? Kenapa rumah ini tampak sepi ndhak perpenhuni, yang ada hanyalah kicauan burung yang terus berceloteh ndhak ada henti. Yang ditaruh di depan, bersangkarkan cukup lebar. Sehingga sankar itu cukup muat diisi oleh burung-buruk kecil kira-kira ratusan.     

"Burung, Ayah, burung!" semangat Abimanyu, yang berhasil membuatku terjingkat dari lamunan. Abimanyu melorot dari gedonganku, kemudian dia berlari sekuat tenaga untuk mendekat ke arah sangkar itu.     

Mbah Seno, tampak terperanjat kaget, melihat kedatangan Abimanyu secara tiba-tiba itu. yang berhasil membuatku tersenyum, kemudian aku berjalan mendekat ke arah Mbah Seno yang sudah mendekati Abimanyu.     

"Kamu ini siapa, toh, Le? Kok bisa lari-lari ke sini, itu, lho. Ada apa? Mau beli burung, toh? Kamu sendiri ke sini? Atau dengan siapa?" selidik Mbak Seno.     

"Denganku, Mbah. Iya, dia mau membeli burung. Sedari tadi dia terus memintaku untuk menangkapkan burung kecil berwarna kuning," kujawab.     

Mbak Seno tampak kaget, tatkala melihatku. Kemudian dia langsung menunduk dalam-dalam dan hendak sungkem. Aku langsung menangkap tubuh Mbak Seno, kemudian kutuntun dia untuk duduk di dipan, dan membiarkan Abimanyu melihat-lihat burung-burung itu dulu. Kurasa, hanya sekadar melihat saja pun dia cukup senang. Lihatlah, bagaimana dia tampak terpukau dengan ratusan burung itu. maklum, di Jakarta mana ada burung-burung seperti itu.     

"Juragan Arjuna, duh Gusti. Semalam saya ini mimpi apa, toh. Sampai-sampai Juragan tersohor di kampung ini bisa bertandang ke rumah saya. Saya benar-benar ndhak menyangka,"     

"Ndhak usah terlalu sungkan seperti itu, Mbah. Sejatinya, aku dan Mbak Seno sama-sama manusia. Panggil aku dan kamu saja. Aku ini lho merasa sungkan, jika dihormati oleh yang sepuh (tua) seperti ini. Rasanya, ndhak enak hati sama sekali, toh," kubilang. Mbah Seno tampak tersenyum.     

"Dia ini—" katanya terhenti, sembari menunjuk ke arah Abimanyu.     

"Dia ini adalah keponakanku, Mbah. Anak dari Rianti dengan suaminya. Kebetulan, dia sedang berada di Kemuning. Maklum saja, Jakarta ndhak ada burung mungkin, jadi saat tadi dia melihat burung dia merengek untuk ditangkapkan satu. Karena aku ingat Mbah Seno jualan burung, jadinya aku bawa ke sini menemui Mbah Seno," jelasku panjang lebar.     

Bahkan, di usia setua ini dia tampak ndhak pikun sekalipun. Aku benar-benar salut dengan Simbah satu ini.     

"Oh, jadi seperti itu, toh. Ayo, Le... ayo, silakan ambil berapa pun yang kamu mau. Ambil yang mana terserah kamu, toh!" kata Mbah Seno semangat. "Tak kasih gratis khusus buat Juragan kecil," lanjutnya.     

Abimanyu yang agaknya sedikit-sedikit paham dengan Bahasa Jawa itu pun hanya tersenyum saja, kemudian dia kembali mengamti burung-burung itu dalam diam. Maklum saja, Rianti jarang mengajarinya Bahasa Jawa, jadi dia ndhak terlalu terbiasa.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.