JURAGAN ARJUNA

BAB 305



BAB 305

0"Cepat katakan apa yang kamu inginkan, Setya. Sebelum orang itu terus-terusan menjatuhkan harga diri kami," jengkel Ayah Setya.     

"Ck! Harga diri? Bahkan harga diri kalian jauh lebih mahal harga diri kambing-kambingku!"     

"Romo, pergi dulu! Ini ada masalah penting yang harus dibahas, toh!" kataku pada akhirnya. Ndhak baik juga kalau Romo terus-terusan seperti ini.     

Romo berdecak, tapi dia ndhak mengatakan apa-apa lagi selain pergi. Untuk kemudian, aku melihat ke arah orangtua Setya.     

"Romoku sebenarnya bukan Romo yang jahat, andai kalau jahat mana mungkin Setya bisa sampai detik ini berada di sini. Dibayari setiap bulannya seperti saat dia bekerja di rumah sakit Jakarta malah dua atau tiga kali lipat, urusan makan tidur pun orangtuaku tidak pernah mempermasalahkan. Bukan hanya Setya, bahkan para abdinya pun selalu diperlakukan seperti keluarganya sendiri. Tapi, ada satu hal yang paling Romo tidak suka. Ketika dia melihat ada orang yang selalu memandang langit, selalu ingin menjadi langit, padahal jelas, mereka menginjakkan kakinya di bumi. Terlebih, romoku adalah orang yang tidak pandai basa-basa. Ucapannya yang cenderung pedas, dan suka jujur itulah yang membuat dia terkesan ditakuti. Karena bagaimanapun, Romoku adalah seorang Juragan Besar. Bahkan, para pemuka negeri juga paham dengan Romo," jelasku, yang entah kenapa aku malah berkata seperti ini.     

"Ayah, Bunda, aku ingin memberitahu kepada kalian, kalau aku telah jatuh cinta dengan salah seorang perempuan di sini. Jadi, aku minta kepada kalian untuk melamarkanku kepada orangtua perempuan itu," akhirnya, Setya bicara juga. Meski tampak jelas jika kedua orangtuanya benar-benar ndhak suka dengan kabar itu. bagaimana mereka akan suka, jika patokan dari kaya dan sederajat itu harus yang tinggal di kota. bukan orang-orang tinggal di kampung seperti ini.     

"Jangan mempermalukan Ayah, ayo kita pulang. Ayah bisa mencarikanmu ratusan bahkan ribuan permepuan yang jauh lebih baik dari pada perempuan kampung itu. Ayah tidak akan pernah mau memiliki menantu dari kampung. Mereka tidak sepadan dengan kita, Setya. Di jakarta banyak perempuan cantik, dan baik-baik, kan? Kalau perlu, Ayah akan mencarikanmu perempuan dari salah satu putri relasi bisnis Ayah."     

"Asal Paman tahu, perempuan yang Paman maksud kampungan, dan tidak sepadan dengan kalian itu adalah anak dari seorang Juragan. yang bahkan, kekayaannya bisa-bisa melebihi dari kekayaan Paman. Lagi pula, jika patokan perempuan sepadan harus tinggal di kota besar seperti Jakarta, calon istri Setya itu pun punya rumah di Jakarta. Dia bahkan tinggal lama di sana karena bekerja. Pendidikannya, latar belakangnya, semuanya tidak diragukan lagi. jadi, apa salahnya dengan perempuan itu? tidak sepadan dari sisi mana, Paman?" tanyaku yang agaknya heran.     

"Arjuna, kamu tahu. Yang namanya kampungan di taruh di mana pun akan tetap kampungan. Mereka tidak akan pernah menyamai orang-orang kota. Dari gaya bicara mereka yang medok, dari gaya pakaian mereka yang cenderung ketinggalan zaman, dan dari sifat kolot juga. Sifat-sifat cenderung primitif. Coba bayangkan, jika nanti Setya menikah dengannya, kemudian dia diajak ke pesta relasi bisnisku di kota. Dia pasti akan malu-maluin sekali. Dan pada akhirnya, semua relasi bisnisku akan mengataiku dan memandang rendahku karena memiliki memantu seperti itu. Tidak... tidak... aku tidak mau . Aku tidak mau itu terjadi."     

"Ayah, cukup!" kata Setya setengah membentak orangtuanya. "Dengan Ayah mengatakan hal buruk kepada orang kampung, itu sama saja kalau Ayah menjelek-jelekkan sahabat dan keluarganya! Asal Ayah tahu, tanpa sahabatku dan keluarganya. Aku tidak akan pernah bisa sampai seperti ini. Mereka benar-benar telah berjasa besar untuk hidupku, Ayah! Apa salahnya dengan orang kampung? Mereka baik-baik, mereka tulus-tulus denganku. Bahkan, mereka sangat ramah-ramah, jauh berbeda dengan orang-orang yang sok kaya dan hanya memandang orang lain hanya sebelah mata!"     

"Cukup, Setya! Kamu berani dengan Ayah!" bentak Ayah Setya. Kulihat mata Setya tampak nanar, aku tahu jika saat ini dia sedang kesal. Kugenggam bahunya untuk menguatkan, kemudian kulihat lagi ke arah orangtua Setya. Sepertinya, aku harus turun tangan agar semua masalah ini segera selesai. Kalau aku masih tetap diam, yang ada orangtua ndhak tahu diri itu semakin menginjak harga diri orang kampung.     

"Kangmas, aku pulang, toh," Manis masuk ke dalam rumah. Kemudian dia memandang ke arah orangtua Setya dengan bingung. Dia mendekat ke arah orangtua Setya, kemudian mencium punggung tangan mereka. Kemudian, dia berjalan mendekat ke arahku. "Ada apa?" tanyanya dengan suara pelannya. Mengambil tanganku kemudian menciumnya.     

"Orangtua Setya," kubilang, dia tampak mengangguk paham.     

Sementara orangtua Setya tampak memandang Manis, keduanya seolah-olah tengah menilai istriku. Mungkin mereka mau membandingkan, jika perempuan yang dicintai Setya ndhak lebih dari Manis.     

"Tidak usah dilihat dari penampilannya, dia ini adalah lulusan terbaik jurusan kedokteran di salah satu Universitas yang ada di Jakarta. Dan asal Paman tahu, dia tidak pernah mempermalukan dosen-dosennya, bahkan tidak pernah mempermalukanku saat aku bertemu dengan relasi bisnisku yang ada di Jakarta. Maklum, aku sedang membangun sebuah pabrik di sana, dan kebetulan beberapa orang penting yang adalah sahabat Romo ikut membantuku. Paman tahu pemilik perusahaan terkemuka di Jakarta yang bernama Om Wirya?" kutanya. Ayah Setya masih diam. Bohong kalau dia ndhak mengenalnya, sebab Om Wiryo adalah pengusaha paling sukses saat ini di Jakarta. "Beliau adalah mertua dari adikku, Rianti. Anak semata wayangnya bernama Bima adalah adik iparku. Dan yang sekaya itu saja sangat baik dan bahkan terus-terusan berusaha membuat perjodohan antara keluarga kami. Lantas bagaimana bisa, orang biasa saja seperti Paman begitu picik memandang orang kampung?"     

Ayah Setya kembali diam, tapi rahangnya mengeras. Dapat kulihat dengan jelas itu, dan aku sama sekali ndhak takut akan hal itu.     

"Kangmas, ndhak boleh begitu...," kata Manis menegurku. "Paman, Tante, kalau misal kalian masih ragu dengan perempuan yang dicintai oleh Dokter Setya. Kalian bisa kok datang ke rumahnya dulu, mengenal sosoknya dulu. Aku yakin, kalau kalian kenal dia. kalian akan suka. Dia adalah sosok yang sangat keibuan, bijaksana, dan sangat elegan. Jauh sekali dariku yang masih medok seperti ini. masalah apa pun yang kalian khawatirkan, bukankah itu bisa diubah dengan seiring berjalannya waktu? Terlebih, dia ini sudah terlalu lama tinggal di kota. dan baru sebentar tinggal di kampung halamannya. Jadi, aku yakin, dia akan menyenangkan hati kalian."     

Mendengar ucapan itu, mimik wajah orangtua Setya tampaknya lebih enak dipandang dari pada sebelumnya. Dan kurasa, itu benar-benar adalah masukan yang paling masuk akal. Ibarat kata ndhak kenal maka ndhak sayang. Ya jadi, harus kenalan dulu biar sayang. Benar, toh?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.