JURAGAN ARJUNA

BAB 304



BAB 304

0Pagi ini aku dikagetkan oleh panggilan dari Paklik Sobirin, sebab katanya ada orangtua dari Setya yang bertandang. Syukur Gusti Pengeran, karena Setya bisa dipercaya. Jika seperti ini kan semuanya akan berjalan dengan sangat lancar. Aku akan menyuruh Suwoto untuk mengatakan warta (berita) ini. Aku segera bersiap, kemudian aku keluar. Melihat mereka dengan gaya menterengnya itu. Seolah-olah enggan untuk duduk di kursi kayu rumahku.     

"Lho ada tamu, toh?" sapaku. Orangtua Setya tampak melihatku, dengan mimik wajah anehnya itu.     

"Ini lho orangtua kawanmu, dia pikir kursi mahal Romo itu kotor atau bagaimana, toh, kok ya berdiri saja. Apa kakinya ndhak ada dengkulnya? Sampai ndhak bisa ditekuk?" kata Romo yang agaknya tersinggung.     

Aku mendekat ke arah Romo, kemudian kuelus punggung Romo untuk menenangkan. Sebab jujur, aku juga merasa sedikit tersinggung, dengan apa yang diperbuat oleh orangtua Setya ini. kupikir dulu, tatkala aku bertandang ke rumah mereka, mereka ndhak seperti ini, toh. Kok ya malah aku khawatir mengenai Wangi.     

"Oh tidak usah, kami berdiri saja. Nyaman seperti ini," kata Ayah Setya.     

"Terserah saja, aku tidak punya kaki yang pegal juga. Mau kamu berdiri atau ngesot siapa yang peduli," ketus Romo ndhak terima.     

"Ohya, Paman, Tante, apa kalian sudah diberitahu oleh Setya kenapa kalian disuruh untuk ke sini?" tanyaku. Keduanya tampak ogah-ogahan ndhak karuan, dan itu benar-benar membuatku harus mengelus dada karenanya.     

Seperti orang kota yang ndhak pernah datang ke kampung saja mereka, sampai-sampai berlaku seperti ini. Apa mereka pikir, mereka menginjak bumi apa? Bumi yang kita injak itu sama.     

"Heh kalian...," kata Romo Nathan yang sudah berdiri, dia memandang kedua orang itu dengan tatapan ndhak sukanya. Benar-benar ndhak suka. "Jika tujuan kalian sudah terpenuhi di sini lebih baik kalian pergi. Jika tidak, jangan masuk ke dalam rumah kami. Rumah kami terlalu berharga untuk kalian singgahi."     

"Bukan apa-apa, ya. Setya menyuruh kami datang kesini benar-benar membuat bingung. Katanya dia ingin menikah dengan salah satu perempuan yang ada di sini? Benar-benar tempatnya saja tidak karuan. Ada kambing, bebek, dan ternak di mana-mana. Jalannya masih belum beraspal dengan baik sehingga tanahnya mengotori sepatu dan roda mobilku. Jika dia bersikeras meminta dinikahkan dengan perempuan yang ada di sini, kami benar-benar keberatan."     

"Mobil dan sepatumu harganya berapa?" tanya Romo Nathan. Kemudian dia berdecak. "Ck! Bahkan abdiku bisa membeli mobil seperti milikmu. Kamu bangga karena kamu kaya? Kekayaanmu seberapa? Harga dirimu saja mampu kubayar sekarang juga,"     

Orangtua Setya tampak kaget, wajah mereka tampak merah padam menahan emosinya. Tapi untuk sekarang, aku benar-benar mendukung Romo. Karena kelakuan orangtua Setya benar-benar kurang ajar.     

"Yang dipikir orang kaya rumahnya harus gedung bertingkat, pakaiannya harus mentereng dan memiliki banyak perhiasan? Ck! Ck! Bahkan kompleks termahal di Jakarta putraku telah membeli semuanya. Dan asal kamu tahu, harga rumahku ini ratusan kali lipat dari harga rumahmu. Terbuat dari kayu jati asli, dan ornamennya dari emas asli. Bahkan, jauh itu dari emas yang dipakai istrimu itu, ck! Ck!"     

Aku tersenyum mendengar ucapan Romo itu, yang berhasil membuat orangtua Setya bungkam. Sementara Biung lebih memilih ndhak menemui mereka, sebab katanya, dari pada emosi dia memilih untuk ndhak melihat orang-orang sok kaya itu.     

"Lho, Ayah, Bunda?!" ucap Setya yang baru saja datang, kemudian dia memeluk orangtuanya, wajahnya sangat sumringah. Saat dia menghadap ke arah Romo, dia tampak bingung karena melihat mimik wajah Romo tampak ndhak suka.     

"Paman—"     

"Aku sudah tahu," potong Romo. "Dan orangtuamu itu tidak mau duduk di rumahku. Mungkin dia pikir, rumah orang kampung itu kotor dan mengandung bakteri. Kenapa mereka berbeda sepertimu, Setya?" lanjut Romo Nathan lagi.     

Kemudian Setya tampak memandang orangtuanya dengan serius, entah mereka bertanya apa, yang kutangkap adalah untuk orangtuanya itu meminta maaf kepada orangtuaku.     

"Kalian ini bagaimana...," kata Setya dengan suara pelannya. "Asal kalian tahu, yang sedang kalian perlakukan seperti ini adalah Juragan yang kekayaanya menyebar luas se Indonesia. Katanya kalian pengusaha, masak tidak kenal dengan Juragan Nathan Hendarmoko," kesal Setya.     

Kedua orangtua Setya tampak saling pandang, mimik wajahnya kini berubah menjadi sungkan dan ndhak enak. Tapi, apa boleh buat. Romo tetaplah Romo, sekali dia dianggap remeh orang maka semudah itu pula dia ndhak akan peduli. Dan sekali saja dia ndhak suka sama orang, maka selamanya dia ndhak akan suka.     

"Arjuna, urusi tamu-tamu ndhak tahu diri itu. Dari pada aku melihat mereka dan membuat aku darah tinggi, mending aku pacaran dengan biungmu."     

"Iya, Romo," jawabku patuh.     

Kemudian aku mendekat ke arah Setya, lalu kutepuk pundaknya. Sampai dia menoleh ke arahku.     

"Maafkan orangtuaku, Arjuna. Ini benar-benar di luar batas kuasaku."     

"Masalahnya, bukan hanya kepada keluargaku saja, Setya. Tapi sepertinya mereka tidak akan pernah setuju kalau kamu akan menikahi Wangi. Lihatlah, bahkan untuk duduk pun mereka enggan."     

"Ayah, Bunda... duduklah, kenapa kalian tidak mau duduk? Kursi itu bahkan harganya lebih mahal dari rumah kita," kata Setya yang agaknya jengkel.     

Keduanya saling sikut, untuk kemudian duduk. Duduk yang tampak enggan, sehingga hanya ujung pantatnya saja yang menempel di kursi.     

Saat Bulik Sari hendak memberikan hidangan, aku langsung melarangnya. Sebab apa, percuma memberi hidangan kepada mereka. Ndhak akan dimakan juga, toh, paling-paling akan dihina kalau airnya dari air sumur, dan lain sebagainya. Berhadapan dengan orang yang sombong seperti ini, lebih baik ndhak usah dikasih hati sama sekali.     

"Jadi, apa yang membuatmu menyuruh kami datang ke sini, Setya? Cepat katakan, sebab kami ada urusan lain yang jauh lebih penting," kata orangtua Setya kemudian.     

"Ck! Urusan pentingmu yang bahkan sampai mati pun tidak akan selesai itu hanya untuk menghasilkan sereceh uang, berbeda denganku duduk manis saja uang datang dari berbagai penjuru," celetuk Romo Nathan, yang rupanya saat ini dia sedang lewat untuk mengambil sebuah buku. "Kalian tahu buku ini?" tanya kemudian. "Tidak akan pernah tahu, orang kota tapi otak kalian mana punya buku ini, yang harganya bahkan lebih besar dari harga emas kualitas rendahanmu itu," lanjutnya. Melangkah pergi kemudian masuk kamar lagi.     

Paklik Sobirin tampak menahan tawa, pun dengan Paklik Junet dan Suwoto yang saat ini sudah berdiri di sampingku.     

"Lihatlah, berapa banyak abdi dalem di rumahku. Puluhan, belum lagi di tempat-tempat lain. Aku yakin, kalian tidak akan pernah bisa membayarnya setiap bulannya. Harta kalian pasti langsung habis untuk membayar mereka,"     

Duh Gusti Romo ini, sepertinya dia rindu sekali untuk berkata pedas. Ada orang yang memancing emosinya, dia langsung ngalor-ngidul ndhak berhenti-hentinya menyindir.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.