JURAGAN ARJUNA

BAB 302



BAB 302

0"Kangmas!" kata Manis dengan histeris, yang berhasil membuatku kaget bukan main. Dia kemudian menunjuk ke arah pohon jambu monyet, dan pohon mangga. Matanya tampak berbinar, seolah-olah dia telah menemukan sebuah harta karun yang sangat berharga. "Ada pencit (mangga muda), Kangmas! Ada jambu monyet juga! Kalau dipetik, enak itu dibuat rujak! Pingin, Kangmas!" katanya semangat. Duh Gusti, tinggi benar itu letak buah mangganya. Aku bisa memanjat ndhak ya?     

"Laki-laki kalau ndhak bisa manjat namanya ndhak laki-laki, lho, Juragan. Manjat istri saja bisa, masak manjat pohon mangga ndhak bisa," Bulik Sari meremehkanku.     

"Wah, jangan salah. Kecil ini! Nanti kuambil semua buah mangga yang ada di atas. Kalian tenang saja!" percaya diriku, padahal aku ya ragu, toh. Ndhak kebayang kalau jatuh, bisa gulung-gulung sampai bawah.     

"Ya sudah, saya percaya. Kalau begitu saya pulang dulu buat ngulek bumbu rujaknya bagaimana? Sambil bawa bahan yang lain? Jadi, Ndoro Manis dan Juragan Arjuna bisa makan rujak di sini?"     

Ide Bulek Sari benar-benar paling keren sedunia. Ndhak kebayang enaknya ini, makan rujak sembari disuguhi pemandangan di gubug ini. Ditambah minumnya es, dan ada tempe mendoan juga. Walah, ndhak mau pulang nanti!     

"Setuju, Bulik!"     

Aku pun langsung menggulung celanaku, kemudian kugulung juga lengan kemejaku. Ah, sama pohon saja aku masak ndhak bisa. Bisa-bisa!     

"Kangmas, hati-hati, toh!" kata Manis menyemangatiku. Aku tersenyum saja, sedikit keberanian karena Manis kali ini benar-benar lumayan, toh.     

"Siap, Ndoro Manis," jawabku sambil mengedipkan mataku ke arahnya. "Ingat, ini adalah salah satu bukti cintaku kepadamu. Jadi, kamu harus memasukkan namaku ke dalam sosok romantis itu. Selain nama Romo, dan juga nama-nama dalam pewayangan itu, toh!"     

"Iya, Sayang! Suamiku adalah suami paling romantis sedunia!" teriak Manis pada akhirnya.     

Aku terus berusaha naik ke atas, meski kulitku tersayat oleh kulit dari pohon mangga yang kasar itu. Setelah aku sampai di atas akhirnya aku bisa lega juga. Meski begitu agaknya aku takut, sebab setiap kali angin berembus, pohon ini ikut goyang-goyang. Terlebih, buah-buah mangga itu letaknya di ranting-ranting yang kecil. Duh Gusti, jadi begini nasib jadi suami yang sedang berusaha nuruti istri tersayangnya ngidam, toh.     

"Hati-hati, Kangmas!" teriak Manis lagi.     

Aku memetik beberapa yang agaknya masak, lumayan kalau dibawa pulang. Kalau sudah benar-benar masak, bisa dimakan oleh banyak orang. Dari pada jatuh, dan ndhak ada yang ambil. iya, toh?     

"Wih, Ndhuk! Ada yang matang ini! Dimakan codot!" kataku semangat. "Katanya, kalau orang hamil makan buah bekas dimakan codot anaknya bisa cantik dan ganteng, lho, Ndhuk! Sini... sini, kulempar di sini, ya. Nanti kamu ambili," kataku lagi. kulempar di rimbunan daun-daun kering yang cukup tebal supaya mangga itu ndhak hancur. Kemudian Manis duduk dengan semangat memunguti mangga-mangga itu. Duh Gusti, kenapa aku senang sekali, toh.     

"Enak, Kangmas!" jawab Manis, yang rupanya sudah memakan mangga itu tanpa memakai pisau terlebih dahulu. "Manis! Manis!" semangatnya. Yang persis seperti anak kecil.     

Aku jadi tersenyum, mengingat saat dulu. Tatkala aku dan kawanku mengambil buah mangga yang ada di atas pohon, kemudian kami langsung memakannya begitu saja. rasanya memang benar-benar lebih nikmat, dari pada harus dikupas dan dicuci dulu. Ndhak percaya? Coba saja!     

Tanganku agaknya menyentuh sesuatu yang empuk dan aneh. Saat kulihat benda apa itu, ternyata ulat berwarna hijau dengan ukuran yang sangat besar. Duh Gusti, kenapa ada ulat di sini!     

"Ulat! Ulat! Ulat!" teriakku ketakutan. Tubuhku gemetaran hebat. Aku langsung memeluk salah satu ranting yang agaknya besar dengan erat. Ulat, adalah hewan menggelikan yang paling kubenci di dunia ini.     

"Kangmas ada apa, toh?" Panik Manis yang melihatku memeluk ranting pohon sambil terus ketakutan.     

"Ulat, Manis. Ulat!" teriakku masih ketakutan. Bahkan, ujung mataku sudah berair sekarang. Aku benar-benar takut kalau-kalau aku mengompol di celana. Pernah waktu kecil dulu, ada kawan yang iseng menakutiku dengan ulat. Yang ada aku langsung demam bahkan sampai kejang. Iya, karena aku punya step saat kecil.     

"Kangmas tenang, Kangmas tenang. Hirup napas dalam-dalam, embuskan!" katanya.     

Aku mencoba mengikuti intruksinya, tapi percuma saja semuanya ndhak ada gunanya. Aku tetap saja ketakutan setengah mati.     

"Kangmas ambil ranting lain, jangan dekat-dekat dengan ranting yang ada ulatnya, kemudian turun, ya."     

"Ndhak bisa Manis, aku takut!" Duh Gusti, Romo... Biung! Tolong aku toh. Aku takut sekali dengan ulat menggelikan ini!     

"Juragan ada apa?"     

"Duh Gusti, Paklik Suwoto untuk cepat datang. Kangmasku itu toh takut sama ulat, dia ndhak berani turun!" kata Manis ketakutan.     

Suwoto tampak memandangku dengan bingung, seolah apa yang dikatakan oleh Manis merupakan sesuatu yang aneh. Busuk benar abdi satu itu, kenapa dia malah melihatiku seperti itu.     

"Kalau dalam bahasa medinya, dia itu phobia sama ulat, Paklik! Penyakit ketakutan yang sangat mengerikan sampai-sampai bisa menyebabkan kematian! Ndhak peduli benda apa yang ia takuti!" gemas Manis pada akhirnya.     

Mendengar hal itu, Suwoto agaknya panik. Dia juga ndhak tahu harus berbuat apa. Aku bukan bocah kecil yang bisa diangkut begitu saja saat dia turun, toh.     

"Juragan lompat, nanti saya tangkap!" kata Suwoto.     

"Gundulmu! Memangnya kamu pikir aku seberat apa kamu mau menangkapku? Yang ada tanganmu patah, dan kita jatuh sampai ke bawah sana!" marahku pada akhirnya. Napasku mulai terasak sesak, dan kepalaku mulai pusing. Ini benar-benar ndhak lucu kalau aku sampai pingsan di atas pohon seperti ini.     

"Ya sudah, saya akan ke atas Juragan. Saya akan buang ulatnya!" putus Suwoto kemudian. Aku sudah berjongkok sambil memeluk ranting yang cukup besar itu. keringat dingin sudah membanjiri seluruh tubuhku saat ini.     

Suwoto sudah berada di atas, kemudian dia mencari ulat yang membuatku takut. Kemudian dia membuangnya jauh-jauh. Lega, itulah yang kurasakan sekarang. Bahkan saking leganya, sepertinya aku ingin memeluk Suwoto saat ini juga.     

"Terimakasih,"     

"Sama-sama, Juragan. Ayo turun," ajaknya. Kemudian dia membantuku agar aku bisa turun dengan aman. "Pantas saja, tadi Sari bilang. Saya disuruh segera ke sini, sebab takut ada apa-apa sama Juragan. sekarang musim ulat sedang berkeliaran. Saya benar-benar ndhak tahu kalau Juragan takut sama ulat," jelas Suwoto pada akhirnya.     

"Terimakasih, Paklik...," ucap Manis. Kemudian dia menuntunku untuk duduk. "Kangmas ndhak kenapa-napa, toh?" tanyanya lagi. Aku menggeleng, sambil mengacak rambutnya sekilas.     

"Mangga, Suwoto. Banyak yang sudah masak itu. yang lainnya nanti bawa pulang, biar benar-benar masak. Lumayan bisa dimakan," tawarku.     

Suwoto langsung berjongkok, sambil memencet mangga-mangga itu. tatkala dia melihat ada yang matang, dia langsung memakannya. Sama seperti apa yang dilakukan Manis tadi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.