JURAGAN ARJUNA

BAB 301



BAB 301

0Plak!!     

Aku, dan Manis nyaris kaget. Saat ada seseorang memukul kepala Manis. Dan yang paling membuatku kaget adalah, seseorang itu ternyata adalah Bulik Sari. Dia membawa satu, kain lap juga kemoceng. Yang aku sama sekali ndhak tahu, untuk apa dia berada di sini.     

"Lelembut-lelembut gundulmu itu!" marah Bulik Sari yang berhasil membuatku tertawa. Manis tampak meringis kesakitan. Tapi dia memilih mendengus tanpa mengatakan apa pun.     

"Lagi pula, Sayang. Mana ada toh, lelembut bisa bersih-bersih. Bawa sapi, kain lap, sama kemoceng," kataku yang masih sekuat tenaga menahan tawa. Bulik Sari hanya mencibir kemudian dia memandang ke arahku dan Manis bergantian.     

"Saya itu ke sini diutus oleh Ndoro Larasati. Untuk selalu menjaga dan merawat gubug ini. Biar bagaimanapun, gubug ini adalah gubug kenangan. Yang Ndoro Larasati sering menghabiskan waktu tatkala Juragan Nathan pergi untuk bekerja."     

Dan satu lagi suatu fakta yang baru aku tahu. Jika rupanya Biung diam-diam sering bertandang ke sini, toh, saat Romo Nathan pergi bekerja. Aku tahu, Biung kesepian. Sebab bagaimanapun, kedua anaknya juga sekarang sama-sama berkeluarga. Ndhak ada lagi orang yang bisa diajak bicara, kecuali Bulik Sari, dan Bulik Amah yang kadang lebih suka menghabiskan harinya di dapur. Sementara abdi-abdi lainnya, jangankan berbicara panjang lebar, menatap ke arah Biung saja takut. Maklum, abdi dalem sekarang masih menganut zaman yang terdahulu. Memancang dengan Ndoro dan Juragannya adalah lancang, apalagi bercakap-cakap. Bisa-bisa mereka takut kalau Romo, dan Biung akan mengebiri mereka.     

"Biung pasti sangat kesepian," kataku pada akhirnya. Manis pun mengangguk mendengar ucapanku itu.     

"Itulah kenapa aku sangat gila belajar agar lekas lulus kuliah, Kangmas. Karena aku ingin segera kembali ke sini untuk menemani Biung. Lebih-lebih memberikan banyak cucu untuknya. Biar rumah ramai."     

"Jadi kita harus mencicil sekarang bikin cucu untuk Biung. Lima belas apa itu cukup?" kubilang.     

Bulik Sari dan Manis tampak tertawa karena ucapanku itu. Padahal aku sungguh-sungguh, lho. Tapi mereka seolah menganggap ucapanku itu lucu.     

"Itu maumu, Juragan!" kata Bulik Sari. "Oh, ya, dari mana Juragan tahu gubug ini?"     

"Sebarnya sudah lama. Hanya saja akhir-akhir ini aku memberanikan diri untuk sekadar datang, dan meneliti sedikit tentang gubug ini. Ternyata tempatnya benar-benar rapi, dan asri, Bulik."     

Bulik Sari tampak tersenyum, kemudian dia duduk di dipan depan pohon mangga itu. matanya memandang ke atas seolah dia sedang mengingat kenangan yang lalu. Sebuah kenangan dari seseorang yang bahkan dia senang untuk mengingatnya. Kadang-kadang aku berpikir, seorang abdi ini adalah sosok yang luar biasa. Atau malah bisa kusebut dengan salah satu pahlawan tanpa tanda jasa versiku sendiri?     

Bagaimana endhak, saking berbaktinya kepada tuannya mereka bahkan rela menyerahkan nyawa dengan cuma-cuma. Melayani tuannya dengan segenap hati, tanpa peduli berapa banyak materi yang mereka terima. Ada kalanya mereka tampak bahagia mendapatkan Tuan yang sangat baik dan luar biasa. Namun di sisi lain, ada juga mereka menderita mendapat Tuan yang ndhak punya hati. Lebih-lebih seorang abdi perempuan. Ndhak hanya nyawa yang dipertaruhkan. Kadang-kadang juga keperawanan.     

Kalian tentunya sering mendengar toh tatkala Tuan biadab yang suka mencabuli abdinya sendiri hanya karena kepuasan mereka. Memang hal itu benar adanya, dan abdi hanya bisa menahan penderitaan ndhak terperi itu sendiri. Menyakitkan, memang, tapi bagaimana lagi. Hukum alam, dan hukum rima mereka bekerja dengan sangat nyata.     

"Dulu tempat ini sebagai saksi bisu, atas kisah cinta Ndoro Larasati, dan Juragan Adrian. Bahkan tempat ini, adalah tempat pertama mereka bertemu dan berpacaran. Datang dengan cara diam-diam saat langit masih temaram. Kemudian mereka bertemu satu sama lain dengan hati berbunga-bunga ndhak karuan. Dan juga...," kata Bulik Sari sambil mengulum senyum. "Di sini juga, Juragan Nathan memergoki Ndoro Larasati, dan Juragan Adrian sedang bemesraan. Saya sama sekali ndhak bisa membayangkan, toh, bagaimana waktu itu hati Juragan Nathan. Sampai sekarang pun, saya juga ndhak bisa membayangkan bagaimana beliau tatkala melihat tempat ini. Apakah akan marah, emosi, atau tersenyum saja mengenang kenangan waktu itu."     

"Lho, iya, toh Bulik?" tanyaku kepada Bulik Sari. Di bukunya memang diceritakan kira-kira seperti itu. Tapi aku ndhak pernah tahu, kalau gubug yang dimaksud adalah sama. Duh Gusti, aku sama sekali ndhak bisa membayangkan bagaimana hancurnya hati Romo Nathan saat itu. Posisinya dia telah jatuh hati dengan Biung, tapi dia malah disuguhi hal-hal semacam itu. Kurasa Romo Nathan cintanya benar-benar sudah teruji dengan sangat luar biasa.     

"Iya, betul itu. Juragan Nathan waktu itu bisa disebut apes. Andai saja waktu dulu semua orang tahu jikalau dia sangat mencintai Ndoro Larasati. Pasti, kami ndhak jadi sebal karena ucapan-ucapan pedasnya. Malah-malah kami akan kasihan. Mungkin, ucapan-ucapan pedasnya hanyalah sekadar topeng, untuk mengelabuhi hatinya yang rapuh. Benar-benar kasihan waktu itu."     

"Walah, aku baru tahu kisah ini, lho, Bulik," kini giliran Manis bersuara. "Pantas saja toh kalau Romo Nathan begitu takut kehilangan Biung. Lha wong cintanya seperti itu, toh. Pasti, akan banyak perempuan di dunia sana yang iri dengan cinta Romo Nathan kepada Biung. Cinta yang mendalam, meski dulu telah menjadi milik orang. Tanpa punya niat merebut, tapi dia tetap setia untuk selalu menjadi penjaga dalam diamnya. Cinta yang sangat tulus tanpa mengenal rasa takut, cinta dalam diam sampai yang dicintai merasakan hal tersebut. Bulik, masih adakah cinta yang seperti itu di dunia ini selain cinta Romo Nathan kepada Biung Larasati? Mendengarnya saja membuatku membayangkan kisah cinta pewayangan yang sangat luar biasa itu. Seperti cinta Kresna kepada Radha, cinta Rama kepada Shinta, kisah-kisah cinta manis dan sangat romantis. Kisah cinta yang mampu menggetarkan seluruh alam raya ini."     

Aku tersenyum mendengar Manis mengatakan hal semacam itu. Sangat lumrah bagi seorang perempuan yang sejatinya memuja sesuatu yang manis, yang hatinya sangat lembut juga mudah tersentuh. Mendengar kisah cinta gila mereka, memangnya siapa yang ndhak akan iri, toh? Bahkan aku sebagai laki-laki saja iri, sembari membayangkan kapan aku bisa merasakan hal seperti itu juga? Kapan aku bisa? Tatkala aku bisa mencintai seseorang dengan segila itu. Tatkala aku menjadi seorang pejuang tangguh untuk kisah cintaku. Tapi, aku kembalikan lagi semua ini. semua orang memiliki takdirnya masing-masing untuk mencintai. Ada seorang pujangga yang selalu menebarkan cinta dengan sangat nyata, ada si kaku yang ndhak tahu bagaimana cara mencintai itu tersendiri, ada si dingin yang lebih memilih diam dari pada harus mengutarakan perasaannya. Dan lebih parah dari itu semua adalah. Ada yang ndhak paham dengan perasaannya sendiri? Orang itu siapa? Ya, orang itu adalah aku... juga Biung.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.