JURAGAN ARJUNA

BAB 303



BAB 303

0"Manis, Juragan. Mangga gadungnya benar-benar wangi."     

"Iya, Paklik. Manis benar, iya, toh?"     

"Iya, Ndoro," jawab Suwoto lagi.     

Kini Manis memberiku satu buah, yang rupanya sudah dia simpan sedari tadi. Warnanya tampak sangat kuning, dengan aroma wangi yang khas. Melihatnya saja benar-benar membuat mulutku berliur.     

"Khusus buat Kangmas, aku carikan yang paling besar, yang paling matang, dan yang paling wangi," dia bilang.     

"Suapin toh, biar romantis," manjaku. Manis hanya tersenyum, kemudian dia mengupas kulitnya dengan kukurnya, setelah itu dia tarik dengan jari-jari mungilnya. Setelah buah dan kulitnya terpisah sempurna dia pun langsung menyuapkannya kepadaku. "Manis benar, ditambah manis karena disuapi istriku yang manis ini," kubilang. Manis kembali tertawa.     

"Gombal!" dia bilang.     

"Lho, sudah telat ini? Ayo... ayo rujakan. Mana mangganya tak kupasin dulu ini!" Bulik Sari bersemangat, menaruh ember kosong, es kelapa muda, serta bumbu rujak. Ndhak lupa mendoan satu piring juga. Wah, ternyata dia pengertian juga. Pantas saja lama, lha wong yang dibawa sebanyak ini toh.     

"Bulik membawa ini sendiri?" kutanya. Kok ya aneh benar, dia membawa banyak barang sendiri.     

"Endhak, itu ada Sobirin, Juragan," jawabnya.     

Paklik Sobirin langsung mengsem dengan sangat lebar memandang ke arahku. Kemudian aku mendengus. Dia hendak mengambil salah satu mangga yang paling matang, tapi aku larang. Kuberikan mangga yang masih belum benar-benar masak kepadanya.     

"Juragan aku dijadikan anak tiri, toh," protesnya. "Suwoto saja diberikan yang masak. Masak aku ndhak dapat juga. Kan yang masak banyak, Juragan."     

"Lho jelas iya, Suwoto tadi telah berjasa besar untukku. Dia telah menyelamatkan nyawaku. Kamu mau mangga yang masak?" tawarku. Paklik Sobirin tampak mengangguk semangat.     

"Apa, Juragan?"     

"Sekarang bagianmu, panjat pohon jambu monyet itu. ambil yang masak-masak, ya. Kan bisa ditumis juga buat lauk," kataku.     

Kalian pernah makan tumisan dari jambu monyet, toh? Di mana jambu monyet suwir kecil-kecil kemudian diperas dan dibuang airnya. Setelah itu baru ditumis dengan bumbu. Rasanya, kenyal-kenyal seperti tumis ayam.     

"Juragan, memangnya Juragan kenapa kok sampai Suwoto telah menyelamatkan nyawa Juragan?" tanya Paklik Sobirin yang agaknya penasaran dengan hal luar biasa apa yang telah Suwoto lakukan kepadaku.     

Suwoto masih diam, sambil terus menangkap jambu monyet yang dilempar oleh Paklik Sobirin dari atas.     

"Tadi, Juragan Arjuna naik pohon mangga."     

"Terus?"     

"Terus ada ulat. Juragan takut," jawab Suwoto.     

"Takut sama ulat? Hahaha!" tertawa Paklik Sobirin yang memenbuatku mengambil sandal kemudian melemparnya ke arahnya. Kurang ajar benar abdi satu ini, berani-beraninya dia menertawakan Juragannya di depanku seperti ini!     

"Tertawa lagi tak pecat jadi abdi dalem kamu!" marahku kepadanya.     

"Maaf, Juragan, maaf. Saya lupa kalau Juragan takut sekali dengan ulat, toh! Maafkan saya, saya hanya keceplosan."     

"Keceplosan gundulmu buluk!" geramku.     

"Sudah-sudah, jangan bertengkar lagi. ini lho rujaknya sudah jadi. Ayok, makan, yok!"     

Paklik Sobirin pun langsung turun, kami kemudian sama-sama cuci tangan untuk kemudian duduk melingkar. Menikmati rujak itu bersama-sama. Rasanya benar-benar, toh. Bisa makan satu cobek bersama banyak orang itu ternyata nikmatnya benar-benar ndhak terkira. Aku sama sekali baru tahu rasanya seperti ini.     

"Sobirin, apa ndhak apa-apa, kita makan satu cobek dengan Juragan? kok yang sepertinya ndhak sopan sekali," bisik Suwoto kepada Paklik Sobirin yang agaknya sungkan denganku.     

"Ndhak apa-apa, Juragan Arjuna itu orangnya baik luar biasa. Kalau kita harus sungkan seperti itu, pasti tadi beliau akan sangat marah tatkala aku menertawakannya. Kamu ya bekerja cukup lama dengannya, toh? Kamu pasti tahu bagaimana tabiat Juragan kita."     

"Oh, iya... ya."     

"Ehem!" dehemku, yang berhasil membuat keduanya menoleh ke arahku. Kulirik keduanya dengan tajam, mimik wajah mereka tampak aneh. Kemudian, mereka menghentikan kegiatan makan rujak mereka. Duh Gusti, lucu sekali. "Aku punya dua telinga, yang bisa mendengar dengan jelas kalian bicara apa. Sudah, lanjutkan makan rujaknya," ajakku lagi.     

Suwoto, dan Paklik Sobirin langsung tersenyum, kemudian keduanya saling tukar pandang. Sementara itu, aku lirik arah Manis. Lihatlah istriku ini, memakan pencit (mangga muda) dengan begitu lahap. Bahkan, hanya dengan melihatnya memakan dengan selahap ini membuat gigiku ngilu sendiri. Apa dia ndhak merasa masam sama sekali dengan mangga-mangga itu? bahkan, bagian dalamnya masih benar-benar putih.     

"Bagaimana, Ndhuk, rujaknya? Kamu suka? Enak?" kutanya. Manis mengangguk semangat, dia bahkan ndhak henti-hentinya memakan itu dengan begitu nikmatnya.     

"Enak sekali, Kangmas. Seger! Rasanya sudah lama toh aku ndhak makan rujak pencit seperti ini. jadi pingin buat setiap hari."     

Aku kembali menelan ludahku karena nyaris berliur, kemudian kuelus perutku. Ndhak bisa membayangkan aku, bagaimana perih perut setelah makan rujak itu. sudah pedas, asem sekali lagi. sepertinya benar apa yang dikatakan oleh orang-orang. Jika orang hamil ini nyidamnya benar-benar luar biasa. Bahkan yang seasam itu seolah ndhak dipedulikan sama sekali. Mungkin lidahnya mati rasa untuk mendeteksi rasa asam itu. duh Gusti, ngilu benar aku melihatnya.     

"Ndoro Manis yang makan pencit, tapi gigiku yang ngilu," keluh Bulik Sari,     

"Setuju," kubilang. "Memang seperti itu, ya, Bulik kalau orang ngidam itu?" tanyaku lagi kepada Bulik Sari.     

Bulik Sari mengangguk menanggapi pertanyaanku itu. "Ya, namanya jabang bayi yang pengen, Juragan. kadang-kadang malah, yang hamil menginginkan makanan yang biasanya ndhak dia suka. Atau malah menjadi ndhak doyan makanan yang biasanya dia suka. Tapi bagaimana lagi, toh. Itu sudah kodrat yang harus dijalani. Melihat Ndoro Manis bisa sesehat ini dan seperti biasa saja sudah syukur dengan Gusti Pangeran. Sebab kadang ada juga Juragan, yang seperti sakit parah, sampai sembilan bulan. Yang dia lakukan hanya berbaring di atas ranjang. Salah satu hal yang membuat kadang suami jajan di luar. Istri hamil, istri melahirkan, dan tatkala punya anak kecil. Suami yang egois, akan mencari pelampiasan lainnya untuk memenuhi nafsunya. Tanpa mereka berpikir, sebanyak apa pengorbanan istri kepadanya. Memberikan mereka anak, rela mengandung, rela melahirkan, dan rela tubuhnya rusak gara-gara anak-anak mereka."     

Aku terdiam, merenungi sejenak apa yang telah dikatakan oleh Bulik Sari. Benar memang apa yang dikatakan oleh Bulik Sari. Itu adalah sebuah kenyataan, selama aku di sini, berapa kasus perselingkuhan memang yang datang hanya dengan dalih suami merasa ndhak terpuaskan. Padahal, jelas-jelas hal tersebut adalah keliru. Gusti, jauhkan aku dari sikap seperti itu. jauhkan aku dari perilaku dan pikiran picik seperti itu. dan berikan aku untuk terus bersykur, atas apa yang telah engkau berikan kepadaku. Sebab sejatinya, apa yang aku inginkan hanyalah Manis. Jika nanti dia melahirkan pun yang kuinginkan tetap Manis. Meski hawa nafsu terus meronta, aku akan tetap setia kepadanya. Setia sampai akhir hayatku, untuk mencintai dan mengabdi kepadanya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.