JURAGAN ARJUNA

BAB 297



BAB 297

0Malam ini, aku sedang duduk berdua di atas ranjang dengan Manis. Setelah apa yang telah dikatakan Biung, seolah-olah kami telah terlahir kembali dengan sesuatu rasa yang baru. Aku memandang Manis dalam diam, pun dengan sebaliknya. Kemudian kami tampak tersenyum malu-malu. Ini memang perkara yang sangat lucu, tatkala aku dan dia harus bertingkah layaknya pengantin baru yang baru kenal satu sama lain. Untuk kemudian, aku menarik tubuh Manis, agar kepalanya bisa bersandar di bahuku.     

"Rasanya kita seperti pengantin baru yang menikah karena dijodohkan orangtua," kubilang. Manis mengangguk setuju.     

"Saling canggung dan malu-malu. Sepertinya bukan kita sama sekali, toh, Kangmas," lanjutnya.     

Aku mengulum senyum tatkala dia mengatakan hal itu. Memang benar, kita seperti malu-malu yang ndhak punya malu sama sekali. Duh Gusti, kok ya lucu, aku baru tahu kalau ada masalah yang membuat kami jadi seperti ini. Saling canggung satu sama lain. Seolah-olah kami ini belum pernah bertemu sebelumnya.     

"Ndhuk, maafkan kangmasmu ini, toh. Akhir-akhir ini karena terlalu banyak masalah membuat Kangmas ndhak peduli denganmu, emosi Kangmas jadi ndhak setabil, padahal kamu sedang hamil tapi Kangmas yang selalu marah-marah sepanjang waktu. Maafkan Kangmas, ya. Kangmas janji, ndhak akan pernah mengulangi kesalahan ini. Dan ke depannya nanti, aku akan sering mengajakmu jalan-jalan. Sambil kutunjukkan kepadamu, pekerjaan suamimu itu seperti apa."     

"Tapi, apa endhak merepotkan, toh, Kangmas? Apa aku ndhak menganggu?" tanyanya hati-hati. Aku yakin jika sejatinya dia takut kalau-kalau kehadirannya malah membuatku terganggu. Padahal endhak sama sekali.     

"Bagian manannya yang mengganggu, Ndhuk? Endhak sama sekali. Aku malah bahagia kalau bisa ditemani olehmu. Jadi, kalau kerja ndhak selalu ditemani oleh wajah jelek Paklik Sobirin. Benar-benar membuat mataku jadi cepat rabun."     

Manis tampak tersenyum mendengar itu, kemudian dia memandangku lekat-lekat. Seolah, dia hendak mengatakan sesuatu.     

"Kangmas...," katanya kemudian. Dia tampak menghela napas panjang, kemudian menundukkan wajahnya dalam-dalam. "Maafkan aku, ya, karena kesibukanku membuatku ndhak peduli kepadamu. Aku merasa benar-benar menjadi istri yang ndhak berguna sama sekali. Maafkan aku, Kangmas,"     

Aku langsung memeluk tubuh Manis semakin erat. Suasana ini benar-benar seperti kita sedang mengakui dosa masing-masing dan benar-benar membuat kami ndhak enak hati seperti ini. Jika keduanya terus-terusan meminta maaf, ini juga ndhak akan baik.     

"Kamu tahu, Ndhuk. Kalau cinta itu ndhak perlu ada kata maaf. Cukup menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Selebihnya semuanya akan baik-baik saja,"     

"Baiklah kalau begitu. Oh ya...," katanya kemudian, seolah dia sedang mengingat sesuatu. "Perkara Setya dan Mbakyu Wangi hasilnya bagaimana, Kangmas?" tanyanya.     

"Aku juga ndhak tahu, seharian ini aku ndhak bertemu dengan Setya sama sekali. Bisa jadi dia sedang sibuk di rumah pintar untuk sekadar memberi pengetahuan seputar kesehatan. Kalau ndhak begitu ya dia dia sedang bersembunyi dariku, bahkan hari ini aku belum sempat bertemu dengan Simbah yang baru pindah."     

"Tadi aku bertemu, Simbah tampak sibuk menjahit. Kemudian, aku diajari untuk merajut. Hasilnya benar-benar bagus sekali. Kata Simbah, dia hendak merajut dia pakaian, satu untuk Abimanyu dan satu untuk anak kita nanti. Dan aku mulai besok ingin merajut juga, aku ingin membuatkanmu sebuah baju hangat untukmu,"     

"Jadi aku harus bilang terimakasih?" tanyaku menggodanya. Manis kembali tersenyum.     

"Terserah Kangmas."     

"Bagaimana kalau kamu buat tiga potong baju. Satu untukku, satu untukmu, dan satu untuk anak kita nanti. Biar saat kita jalan-jalan kita bisa memakainya. Jadi kembaran,"     

"Biar romantis, ya, Kangmas?" tanya Manis penasaran. Aku langsyng menggeleng karena hendak menggodanya. Manis tampak mengerutkan keningnya, agaknya dia bingung. "Lantas biar apa?" tanyanya lagi.     

"Biar kalau kamu hilang, aku mudah mencarinya,"     

"Kangmas! Ah ndhak seru, aku ndhak mau buat kalau gitu!" marahnya kepadaku.     

Kukecup puncak kepalanya, kemudian kuhelakan napasku beberapa kali. "Bercanda, Sayang."     

"Iya, aku tahu."     

"Tahu apa?"     

"Kalau Kangmas bercanda."     

"Kalau Kangmas cinta sama kamu, kamu juga tahu, Ndhuk?"     

Manis langsung terdiam, wajah meronanya kini ndhak berani memandang ke arahku.     

"Tahu," kemudian dia jawab, sambil menyembunyikan wajahnya itu di dada bidangku.     

Malam ini sepertinya akan menjadi malam romantis. Antara aku dengan Manis, romantis yang kupikir dulu melulu tentang berhubungan di atas ranjang, kemudian saling memuaskan. Ternyata, romantis itu kadang-kadang tercipta dengan cara sesederhana ini, rupanya.     

*****     

Pagi ini, aku sudah membawa sarapan untuk Simbah. Sebab kata Biung tadi, Simbah belum sempat sarapan. Tampaknya dia sudah sibuk dengan Manis. Berdua. Duh Gusti, kedua orang ini benar-benar cocok sekali. Perkara hal-hal seperti ini, memang Manis ndhak ada tandingannya. Bahkan Rianti yang katanya selalu menyombongkan dirinya sebagai seorang Ndoro saja ndhak bisa setekun Manis kalau urusan menjahit atau urusan-urusan perempuan lainnya.     

"Permisi, orang ganteng mau masuk," kubilang. Simbah, dan Manis tampak menoleh, melihatku masuk sambil membawa nampan yang berisi makanan.     

Kemudian, keduanya tersenyum, menghentikan kegiatan merajut mereka.     

"Ayo, masuk, Le," ajak Simbah. Kuletakkan makanan di atas meja kemudian kuperhatian mereka berdua sejenak. "Aku sengaja mengajari istrimu merajut, semata-mata karena dia sedang hamil. Katanya, orang hamil itu sangat disarankan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti ini. karena melatih emosi, ketelatenan, dan lain sebagainya. Biar nanti tatkala anak kalian lahir, anak kalian memilliki kepribadian yang bagus."     

"Amin, Gusti...," jawabku pada doa Simbah. Kemudian aku mengambil piring yang ada di nampan. "Kalian merajut saja, lanjutkan. Aku akan menyuapi kalian. Bagaimana?" tawarku.     

Keduanya tampak saling pandang, kemudian mengangguk semangat. Dasar mereka ini, bilang saja mau. Bagaimana mereka tampak malu-malu. Aku langsung duduk di bawah mereka, kemudian menyuapi mereka secara bergantian dengan telaten. Aku ndhak banyak ucap, karena aku ndhak mau menganggu Simbah dan Manis yang sudah serius merajut. Aku jadi ndhak sabar, bagaimana nanti jadinya. Pasti, rajutan buatan mereka akan menjadi bagus. Kalau Abimanyu mengenakannya pun dia akan tampak sangat tampan.     

Aku jadi tersenyum membayangkan itu semua, duh Gusti, memang anak laki-laki itu, membuatku rindu kalau saja sehari ndhak menemuinya.     

"Jadi, kapan kira-kira istrimu melahirkan, Le?" tanya Simbah lagi. kutatap perut Manis yang masih datar kemudian aku kembali tersenyu.     

"Bulan ini masuk tiga bulan usia kandungan Manis, Mbah. Jadi kira-kira kurang enam bulan lagi untukku menanti buah hati kami."     

"Waktu kemarin itu sebelum Simbah tahu kabar baik ini, Simbah bermimpi, toh," kata Simbah padaku. "Kalau Simbah itu diberi bunga oleh romomu. Katanya, aku harus memberikanya kepadamu, sebagai obat sepi. Dengan menyimpanya baik-baik. Simbah benar-benar ndhak pernah menyangka, jika itu maksudnya adalah jika istrimu sedang mengandung. Syukur sekali, jika mimpi itu diberikan langsung oleh romomu."     

Aku diam mendengar ucapan dari Simbah, iya aku juga bersyukur jika memang perlambang itu diberikan oleh Romo. Dan yang paling membuatku bersyukur kepada Gusti Pangeran karena telah memberikan nikmat sebesar ini.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.