JURAGAN ARJUNA

BAB 328



BAB 328

0"Nanti, kamu saja yang bilang, ya," kubilang kepada Manis. Yang membuat istri cantikku itu mengerutkan kening.     

"Lho kok aku toh, Kangmas?" tanyanya yang sepertinya nyalinya ternyata ciut juga sama sepertiku. "Ningrum itu dekatnya dengan Kangmas, bagaimana bisa kok aku yang disuruh untuk bercakap berdua seperti ini? Endhak, Kangmas saja,"     

"Teorinya sebenarnya ndhak seperti itu, toh, Ndhuk," kubilang. Manis tampak melirikku dengan kerutan di keningnya, gemas aku rasanya melihat ekspresinya itu. "Menurut teori rumah tangga, rata-rata anak perempuan itu lebih dekat kepada biungnya, toh. Mereka akan lebih mudah mencurahkan segala isi hatinya kepada biungnya, dari pada kepada romonya. Masak ada ceritanya, perempuan cerita kepada laki-laki, pasti dia lebih suka cerita kepada perempuan, iya, toh?" kubilang lagi. Sembari mendorong tubuh Manis untuk mengambil posisi duduk di ruang depan kamar Ningrum.     

"Pemaksaan toh ini namanya...," kata Manis tapi dia pun ndhak bisa membantahku juga selain memasang tampang jeleknya itu yang benar-benar tampak lucu luar biasa. "Kangmas! Awas lho, ya, Kangmas!" teriaknya kepadaku.     

"Sabar, setelah ini aku akan menuruti apa pun yang kamu mau, Sayang. Oke? Aku sembunyi di sini biar bisa melihat percakapan kalian!"     

"Dasar seperti anak-anak saja toh," geram Manis yang aku mendengarnya dengan sangat jelas. Kemudian dia menaikkan kedua kakinya di atas kursi sambil mengelus perut buncitnya. Sepertinya sekarang, istriku mudah benar capek, toh. Apa yang harus kulakukan agar dia ndhak capek-capek. Padahal setiap malam aku sudah memijitnya sampai dia tertidur.     

"Biung," kulihat Ningrum datang, sambil membawa piring makanan beserta minumannya, membuat Manis menurunkan kakinya sebab putrinya itu mau duduk di sampingnya. Disodorkan makanan itu ke arah Manis, sambil memasang wajah lucunya itu pun Ningrum merajuk, "suapin!" manjanya.     

Duh Gusti, anak perempuanku ini. Memangnya berapa toh usianya kok ya masih meminta suapi segala. Apa dia ndhak tahu kalau biungnya sekarang mudah lelah. Meski terkesan remeh, menyuapi kan membutuhkan tenaga juga.     

Kalau biungnya nanti sakit, bagaimana? Nanti aku juga, toh, yang repot. Aku hendak berrdiri untuk menggantikan Manis menyuapi Ningrum pun ndhak jadi. Kalau aku berdiri sekarang pasti ketahuan kalau aku sedang sembunyi sekarang.     

"Sini, sini, Biung suapi. Mana makannnya,"     

"Hehehe, hore!" kata Ningrum yang membuatku ndhak jadi marah. Bagaimana lagi, dia jarang bertemu dengan biungnya, mungkin dengan cara seperti ini membuatnya merasa lebih dekat. Bermanja-manja salah satu hal yang mungkin untuk dia ingin lakukan karena ingin mengganti waktu-waktunya sendiri. Jadi, anak perempuanku, untuk kali ini aku akan memaafkanmu.     

"Bagaimana, enak disuapin Biung?" tanya Manis menggoda putrinya.     

Ningrum tampak mengangguk kuat-kuat, kemudian dia mengacungkan dua jempolnya tinggi-tinggi. Manis tampak tertawa kemudian dia mengacak rambut putrinya itu sekilas.     

"Ndhuk, Biung boleh bicara sama kamu?" tanya Manis yang kali ini benar-benar tegang sampai membuatku ingin kencing di celana. Karena saking tegangnya dengan pembahasan yang sangat penting bagi kehidupan keluarga kami. Duh Gusti, semoga semuanya lancar, ndhak ada halangan apa pun, amin!     

"Hm, tanya apa, Biung? Tanya apa, toh? Kok ya sepertinya penting sekali itu, lho," Ningrum menjawab yang masih sibuk dengan makannya, sambil bersila menghadap ke arah biungnya.     

"Setelah lulus sekolah menengah atas, cita-citamu mau kuliah ke mana, Ndhuk?" tanya Manis yang tampak hati-hati.     

"Ehm, ndhak tahu, Biung. Awalnya aku punya cita-cita untuk kuliah di sini, di tempat yang sama dengan Biung. Tapi, Romo dan Biung juga sudah kembali ke Kemuning. Kalau begitu ceritanya, kita ndhak bisa bersama-sama lagi, toh," kata Ningrum yang rupanya kupikir, dia juga bingung dengan perkara kuliah di mana. Aku ndhak bisa memaksa, toh, kalau perkara ini. Sebab keputusannya menikah di mana pun adalah murni aku serahkan kepadanya. Aku ndhak mau memaksanya ke mana, tapi akhirnya dia ndhak suka pun akan repot. Meski jujur, sebagai seorang Romo terus-terusan melihat anaknya jauh darinya juga merupakan hal yang sangat menyesakkan juga. Dia adalah anak perempuan, bagaimanapun keselamatannya adalah hal utama yang harus aku upayakan.     

"Sebenarnya, kuliah di mana pun itu adalah sama saja, Ndhuk. Yang penting niatnya, percuma kuliah di tempat jauh tapi niatnya ndhak untuk menuntut ilmu. Tapi, jika punya niat menuntut ilmu dengan benar-benar niat, bahkan kuliah di tempat sederhana pun akan menjadikannya dia menjadi pribadi yang luar biasa."     

"Biung benar, sejatinya bukan perkara di mana kita menuntut ilmu. Toh tempat hanyalah sarana bagi kita. Akan tetapi, niat kita yang sebenarnya. Itu sebabnya aku masih ingin memikirkannya lagi dengan masak-masak, mumpung masih kurang satu tahun kira-kira, aku harus memantabkan diri, kuliah di mana dan mengambil jurusan apa."     

"Lantas, perkara pandu?" tanya Manis yang benar-benar ini mulai memasuki inti perkaranya yang sebenarnya. "Pandu, dia mau kuliah di mana? Mengambil jurusan apa? Atau jangan-jangan dia juga sama sepertimu, dilema dengan keputusannya dan akhirnya memutuskan di akhir-akhir memilih kuliah di tempat yang sama," kata Manis yang agaknya menyentil Ningrum, tapi aku sendiri ndhak paham apakah putrinya yang kepala batu itu merasa tersentil atau malah ndhak sama sekali.     

"Kalau dia katanya itu mau kuliah di Semarang saja, Biung, mau mengambil jurusan bisnis atau apa seperti itu. Sebab kan katanya Romo mau menyuruhnya bekerja di pabrik, dia mau mempelajari itu lebih lanjut lagi."     

"Jadi kalian akan kuliah di tempat berbeda?" tanya Manis. Ningrum tampak diam, seolah dia telah ragu dengan tujuan awalnya untuk kuliah di Jakarta. Apakah itu karena dia tahu kalau Pandu akan kuliah di Semarang? Atau malah karena perkara lainnya. Tapi aku merasa ini adalah karena Pandu.     

"Atau kamu ragu tentang kuliah di jakarta karena Pandu kuliah di Semarang?" tanya Manis lagi yang berhasil membuat Ningrum menundukkan wajahnya dalam-dalam. "Ndhuk, aku boleh bertanya satu hal denganmu, toh?"     

"Apa, Biung?"     

"Dengan Pandu itu kamu bagaimana? Coba cerita yang jujur sama Biung, biar Biung tahu posisinya, biar kamu juga enak ini seperti apa. Kita mencoba menjadi kawan sekarang harus sama-sama terbuka, jujur, dan adil."     

"Iya, Biung, ada apa?" tanya Ningrum lagi, sepertinya dia benar-benar penasaran sekali dengan apa yang akan ditanyakan oleh biungnya itu.     

"Kamu dengan Pandu bagaimana? Kamu benar-benar cinta sama Pandu?" tanya Manis pada akhirnya. Perempuan itu tampak terdiam, kemudian dia menundukkan wajahnya dalam-dalam. Gelagatnya ini mulai membuatku curiga, sebuah gelagat aneh dari seorang perempuan tentunya.     

"Bagaimana, ya, Biung, kalau ditanya seperti itu jujur, aku sendiri juga bingung harus menjawabnya seperti apa. Aku benar-benar ndhak tahu juga bagaimana toh rasa cinta itu yang sebenarnya. Apakah benar-benar seperti apa yang kurasakan, atau malah endhak sama sekali."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.