JURAGAN ARJUNA

BAB 142



BAB 142

0Setelah kami berdiskusi dan memutuskan untuk menjadi penguping setia. Aku dan Manis pun bergegas pergi, mencari-cari di mana gerangan keberadaan dua muda-mudi itu berada.     

"Kangmas," kata Manis sambil menunjuk ke arah satu titik. Tepat di bawah pohon randu di belakang rumah, yang letaknya ndhak jauh dari sumur.     

"Kita ke sana pelan-pelan saja, ya," kubilang. Aku dan Manis akhirnya mengendap-endap, bersembunyi tepat di balik sumur lainnya. Seendhaknya, kami masih bisa mendengar dengan jelas percakapan mereka, meski aku sendiri takut. Jikalau mereka berpindah tempat ke sini. Aku jadi merasa aneh, untuk apa toh kok aku dan Manis jadi membuang-buang waktu untuk melakukan ini? melakukan hal yang benar-benar ndhak berguna sama sekali.     

"Sebenarnya, apa yang ingin kamu katakan kepadaku? Kenapa kamu mengajakku untuk berbincang di sini, toh," Ningrum tampak membuka suara, sementara Pandu tampak masih diam dengan sangat sungkan. Seperti pemandangan Zainal dan Rianti dulu mereka berdua ini.     

"Sebenarnya aku ingin membahas denganmu tentang kejadian beberapa waktu yang lalu, toh. Kurasa, aku harus meluruskan hal ini agar ndhak mengganjal di hatiku. Maaf, semoga kamu ndhak keberatan tentang itu," ucap Pandu pada akhirnya.     

`Manis tampak menyenggolku, seolah ini adalah pembahasan yang selama ini dia tunggu-tunggu. Sementara aku langsung menyuruhnya untuk diam, jika kalau endhak bisa repot, kita bisa akan ketahuan sekarang.     

"Silakan, sejujurnya aku juga sangat penasaran dengan hal itu. Sebagai seorang perempuan aku benar-benar butuh penjelasan."     

Benar, Ningrum. Kamu harus meminta penjelasan kepada laki-laki itu. sebab itu adalah bagian dari hakmu. Jika kamu diam saja, maka orang lain pikir kamu itu perempuan rendahan, dan aku ndhak mau kalau sampai putriku dianggap sebagai perempuan rendahan oleh siapa pun itu!     

"Alasanku karena menciummu adalah, ndhak lain karena rasa cintaku yang teramat dalam kepadamu. Sehingga hasratku ndhak bisa dikendalikan karena melihatmu, bersamamu, dan dekat denganmu. Maafkan aku, Ningrum. Aku ndhak bisa mengendalikan diriku sendiri. Maafkan aku, tapi aku berjanji aku akan bertanggung jawab atas semua ini,"     

"Bertanggung jawab dengan apa?" tanya Ningrum lagi.     

"Kangmas ini bagaimana? Bagaimana jika Ningrum mengatakan hal yang menjadi strategi kita kemarin? Padahal sudah jelas, Kangmas sudah berbincang dengan Pandu kemarin. Aku ndhak mau jika putri kita merasa dipermalukan atau ditolak."     

"Ssst! Sudah toh jangan berisik dulu, kita dengarkan dulu dengan sabar tanpa berkata macam-macam. Apa kamu mau kalau kita ketahuan dengan mereka karena sikapmu yang ndhak sabaran ini?" kataku kepada Manis yang sedari tadi selalu ribut terus.     

"Aku sudah membuat perjanjian dengan romomu untuk menikahimu, Ningrum. Namun, itu tentu akan terjadi dengan persetujuan darimu. Sebab ndhak mungkin sama sekali aku menikahi perempuan yang ndhak memiliki perasaan yang sama denganku. Itu benar-benar sangat lucu sekali. Pun dengan keinginan romomu, adalah kebahagiaanmu seutuhnya. Jadi, aku dan romomu memiliki misi yang sama yaitu untuk membahagiaanmu. Jadi sekarang, apa boleh aku bertanya kepadamu tentang satu hal?" tanya Pandu lagi. Kulihat Ningrum tampak menundukkan wajahnya, aku yakin kalau dia tampak tersipu mendengar ucapan Pandu itu. ucapan dari seorang pemuda yang sangat serius kepadanya, terlebih pemuda itu adalah pemuda yang sangat dia cinta.     

"Apa itu, katakan. Aku akan mendengarkannya dengan seksama, apa yang hendak kamu tanyakan itu,"     

"Apa yang kamu rasakan tentangku, Ningrum? Apa kamu mencintaiku? Apa kamu juga memiliki rasa denganku, Ningrum? Katakanlah, biar aku bisa membuat keputusan dan memantabkan hati untuk menentukan jalan hidupku setelah ini,"     

Ningrum tampak kembali diam, matanya terpaku kepada Pandu. Seolah dia benar-benar melihat kesungguhan yang ada di dalam lubuk hati Pandu.     

"Jika aku ndhak tertarik kepadamu, jika aku ndhak mencintaimu, lantas untuk apa aku diam saja saat kamu cium waktu itu?"     

Pandu terlihat gembira, sesekali dia tersenyum mendengar ucapan dari Ningrum itu. kemudian, dia sesekali memandang wajah Ningrum dengan mata bersinarnya.     

"Tunggu aku...," kata Pandu pada akhirnya. "Apa kamu mau menungguku? Tunggu aku barang satu sampai dua tahun lagi, sampai aku memiliki pekerjaanku sendiri, sampai aku bisa mandiri, sampai aku ndhak ketergantungan lagi oleh romomu. Setelah aku memiliki pekerjaan dan uang sendiri, aku akan meminangmu, Ningrum!"     

"A... apa?" tanya Ningrum yang aku tahu, jika saat ini putriku pun tampak kaget dengan apa yang dikatakan oleh Pandu.     

"Aku tahu jika aku orang miskin, aku tahu jika mungkin pekerjaanku bukanlah pekerjaan terhormat, dan aku tahu jika uangku ndhak akan sebanding dengan uang yang diberikan romomu setiap harinya. Tapi seendhaknya, aku masih punya harga diri. Aku masih punya muka untuk datang pada orangtuamu untuk meminangmu. Apakah kamu mau hidup sederhana denganku? Apakah kamu mau kunafkahi dengan uang yang ndhak begitu seberapa ini?"     

Ningrum tampak menundukkan wajahnya, dan punggungnya tampak bergetar. Apakah putriku menangis? Dia menangis kenapa? Apa karena terharu dengan ucapan dari Pandu? Terharu karena kesungguhan dari pemuda itu?     

"Ningrum, kamu kenapa? Apakah ada kata-kataku yang menyinggung dan melukai perasaanmu? Ataukah kamu ndhak mau hidup susah denganku?" tanya Pandu yang tampak cemas.     

Ningrum menggelengkan kepalanya, dia kembali mengusap air matanya dengan kasar.     

"Endhak, endhak seperti itu...," kata Ningrum pada akhirnya. "Aku hanya benar-benar terharu dengan ucapanmu itu. bagaimana endhak, toh. Kita ini masih sekolah, kita masih terhitung masih anak bau kencur. Tapi bagaimana bisa kamu memiliki pemikiran jauh seperti itu? kamu benar-benar sangat bertanggung jawab. Aku sampai ndhak tahu, apakah kamu ini sebenarnya memiliki jiwa tua atau bagaimana, toh?" Ningrum kembali mengusap wajahnya dengan kasar, kemudian dia tersenyum getir. "Pandu, aku sama sekali ndhak keberatan jika harus hidup susah, toh dulu aku pernah merasakan rasa susah yang jauh lebih susah dari siapa pun. Aku hanya ndhak menyangka, jika kamu bisa berpikir sampai sejauh ini. terimakasih, Pandu, atas semua tanggung jawab yang telah kamu lakukan kepadaku. Sesungguhnya aku benar-benar sangat menghargai itu. dan aku akan menunggu sampai kamu membuktikan hal itu kepadaku. Namun demikian, mungkin saja Romo nanti akan memiliki sebuah keputusan lain. Tapi ndhak apa-apa, seendhaknya aku sudah cukup bahagia di sini. Karena ada kamu,"     

Pandu pun tampak tersenyum, malu-malu dia mencuri pandang ke arah Ningrum. Dia tampak mendekat, membuatku nyaris berdiri. Awas saja kalau sampai dia menyentuh Ningrum, sedikit saja dia melakukannya aku akan benar-benar membuat perhitungan kepadanya. Aku pasti akan memotong-motong burungnya sampai ndhak bersisa. Agar dia ndhak bisa merasakan nikmatnya dunia. Ya, aku janji akan melakukan hal itu. awas saja, awas saja!     

"Kangmas,"     

"Kalau sampai pemuda sontoloyo itu menjamah putri kita, aku ndhak akan berpikir dua kali untuk memasukkannya ke dalam sumur ini!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.