JURAGAN ARJUNA

BAB 332



BAB 332

0Setelah perjalanan kami yang cukup jauh, akhirnya kami sampai di Purwokerto. Kami disambut oleh para abdi, Wangi, Setya, dan juga Pandu. Padahal aku ini ke Jakarta ndhak membawa apa-apa, kok ya bisa mereka menjemputku layaknya aku telah berpergian jauh dan membawa oleh-oleh saja. jadi sungkan, kenapa tadi ndhak aku belikan oleh-oleh, ya.     

"Mana oleh-olehnya?" todong Setya. Aku hanya mengsem. Sudah kuduga, pasti manusia ndhak jelas ini minta oleh-oleh. Dasar, dia. "Iya, toh, tidak dibelikan oleh-oleh? Dia pergi ke kota Jakarta. Tapi tidak membelikan kita oleh-oleh, Juragan kita ini benar-benar perhitungan sekali!" sindir Setya lagi.     

Aku langsung mondorong tubuhnya menjauh dariku kemudian aku memilih masuk ke dalam rumah. Memangnya dia pikir, kami pergi rekreasi apa, toh, pakai bawa oleh-oleh segala. Lagian juga, rumah dia itu Jakarta. Kok ya mau minta oleh-oleh itu lho oleh-oleh apa.     

"Pelit! Pelit! Pelit!" teriak Setya yang berhasil membuatku terpancing juga oleh ucapannya yang menyebalkan itu. Aku langsung melepas sepatuku kemudian kulempar kepadanya, dan untung saja sepatuku mendarat manis di wajah jeleknya itu.     

"Itu oleh-oleh buat kamu!" kubilang, dengan nada yang benar-benar sebal. "Jadi, siapa lagi yang minta oleh-oleh? Sepatuku masih satu, dan aku membawa tas yang ndhak ringan ini!"     

"Ndhak, Juragan, ndhak minta!" seru mereka patuh.     

Aku langsung mengibaskan tanganku, mengikat kedua tanganku ke belakang punggung kemudian masuk ke dalam kamar.     

"Kangmas—"     

"Duh Gusti, kenapa kita lupa ndhak membeli buah tangan kepada mereka, toh, ya," kubilang pada akhirnya.     

Manis tampak tersenyum karena tingkahku, dan entah kenapa dia tersenyum seperti itu. seperti ada yang lucu saja.     

"Kangmas ini memang, ya, di depan mereka saja berlagak ketus, galak. Tapi sebenarnya merasa bersalah juga toh ndhak membeli oleh-oleh untuk mereka?"     

"Ya jelas merasa bersalah, terlebih para abdi dan Pandu. Mereka kan ndhak tahu yang namanya Jakarta seperti apa. Mendapat oleh-oleh dari kita pasti mereka sangat senang luar biasa."     

"Tenang," kata Manis mencoba untuk menenangkanku. Kemudian dia menunjukkan kepadaku satu tas yang agaknya penuh itu. entah isinya apa, sebab kurasa aku ndhak merasa membawa tas itu sebelumnya.     

Saat Manis menaruh tas itu kemudian membukanya, aku langsung kaget luar biasa. Di sana ada bertumpuk kaus yang aku ndhak tahu dia dapatnya dari mana.     

"Selusin kaus, yang ada gambar monasnya. Biasnaya digunakan sebagai oleh-oleh orang-orang dari Jakarta, Kangmas."     

"Walah, kamu dapat dari mana, toh ini, Ndhuk? Kok ya tepat sekali waktunya itu lho."     

"Kemarin saat wisuda, ada salah satu kawanku yang kebetulan keluarganya punya bisnis seperti ini. nah, kemudian dia menawariku. Tadi pagi-pagi sekali, dia mengantarkan ini. Sebab dia takut kalau aku keburu kembali ke kampung."     

"Nah sekarang, ayo kita bawa keluar. Kalau perlu, sumpal itu mulut Setya pakai kaus ini biar dia ndhak bisa bicara-bicara lagi,"     

Aku langsung mengangkat kaus-kaus itu, kemudian kuletakkan di atas meja dengan kesombongan diri yang luar biasa. Kulihat Setya sembari aku meremehkannya. Sekarang, aku sudah punya oleh-oleh, kamu mau apa?     

"Ini, oleh-oleh yang dibeli istriku. Kaus yang ada gambar monasnya. Kalian tahu monas, toh? Itu, yang ada di Jakarta, yang tinggi dan besar itu! Nah kaus ini aku membelinya dari sana, kaus khas Jakarta ini. Sini... sini, kalian ambil satu-satu, ndhak usah sungkan, pakai saja. Harumnya khas Jakarta, kaus mahal ini. Pakai, pakai, kalau kamu memakai jangan sering-sering dicuci, ya, biar ndhak cepat rusak," sombongku. Setya berdecak, kemudian dia membuka salah satu kaus yang ada di sana.     

"Kaus seperti ini biasanya itu sepuluh ribu dapat tiga. Kaus apaan,"     

"Kalau kamu tidak mau aku tidak memaksa, memangnya siapa yang mau membelikanmu oleh-oleh. Aku hanya membelikan abdiku oleh-oleh juga Pandu, bukan kamu," ketusku lagi,     

Aku tarik kaus yang ada di tangannya, tapi dia menahan kaus itu, sampai akhirnya kami tarik-tarikan, kemudian dia menarik semakin kuat sampai terlepas dalam tarikanku. Rupanya, dia ingin juga, toh. Lantas kenapa tadi dia mencibir kausku. Dasar, manusia ndhak tahu diuntung dia. manusia menyebalkan yang ingin kubuang saja ke luar alam semesta biar dia bisa hidup dengan penghuni hutan larangan atau pun pasar setan!     

Sabar, Arjuna... sabar. Menghadapi satu makhluk yang ndhak masuk ke dalam jenis manusia itu harus sabar. Kalau endhak, nanti kamu akan naik pitam sendiri. Kamu harus mengabaikannya, dan menganggap dia ndhak ada. Dari pada aku terus merasa gila karena manusia seperti dia, lebih baik aku tidur, atau makan dulu. Toh makanan sepertinya sudah siap di atas meja.     

"Tunggu!" langkahku terhenti, saat aku hendak menuju ke arah ruang makan. Setya lagi-lagi bertingkah, dan itu benar-benar sangat menyebalkan. Sejak kapan dia menjadi kembali waktu kita sama-sama kuliah dulu, toh? Benar-benar menyebalkan dan ingin sekali kutendang dia sampai keluar planet bumi ini.     

"Enak saja datang-datang langsung makan, kamu pikir kami di sini tidak butuh makan, apa?"     

"Juragan, silakan... silakan," kata abdiku yang agaknya takut-takut. Aku ndhak mengurusi lagi apa pun ucapan dari Setya. Mau dia bilang apa siapa peduli, toh aku makan pakai lakuk dan sayuran yang dibeli dengan uangku sendiri, bukan uang siapa pun. Toh ini rumahku, mereka adalah abdi dalemku.     

"Dasar, tidak tahu aturannya kamu!" kata Setya menarik piringku yang hendak disuguhi nasi oleh abdiku.     

Anak ini benar-benar kurang ajar sekali, toh. Bagaimana bisa dia berlaku seperti ini kepadaku. Awas saja nanti, aku akan membuatnya menyesal karena telah melakukan semua ini kepadaku.     

"Setya, berhentin bertingkah karena kesabaranku ada batasnya. Jika kamu terus berlaku seperti ini, aku sama sekali tidak tahu apa yang akan terjadi dengan persahabatan kita nanti. Jadi berhentilah bertingkah, sebab aku benar-benar sedang lelah."     

"Tapi kamu tidak punya hati, pergi makan sendiri dan tidak menawari semua yang ada di sini untuk makan bersama apakah itu suatu etika yang pantas?"     

"Kalian punya tangan dan kaki, jadi jika kalian ingin makan, kalian bisa makan sendiri, toh? Lagi pula ini bukan waktunya makan siang dan aku lapar, ingin makan terlebih dahulu. Kenapa kamu protes tentang perkara seperti itu saja?"     

"Sudah, ini apa-apaan toh? Hanya perkara makan saja membuat semuanya jadi runyam. Kalian kalau mau makan silakan, makan ke sini. Dan biarkan Kangmas juga makan, kasihan dia sangat lelah dengan pekerjaannya, tolong jangan dibuat kesal lagi, toh."     

Aku langsung melet ke arah Setya, sebab aku dibela mati-matian oleh istriku. Sekarang rasakan dia karena sudah membuat marah istriku. Siap-siap jika setelah ini dia akan merasakan masakan aneh yang dibuat istriku khusus untuknya. Ya, siap-siap saja.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.