JURAGAN ARJUNA

BAB 326



BAB 326

0Pagi ini, menjadi pagi yang sangat istimewa buat kami. Bagaimana endhak, hari ini adalah hari di mana Manis akan diwisuda, dan kami harus memakai pakain seragam agar Manis senang.     

Manis tampak begitu cantik mengenakan kebayanya, perutnya yang buncit itu seolah menambah kecantikannya sebagai seorang perempuan. Apalagi tatkala rambutnya disanggul seperti itu. Benar-benar seperti seorang Ndoro pada zaman-zaman dulu, toh.     

Aku mendekat ke arahnya, kemudian aku berlutut di depannya. Memakaikan sendal yang baru saja dia beli kemrain, membuatnya harus memegangi pundakku karena agaknya dia kesulitan. Iya, perutnya sudah agak besar, kurasa dia benar-benar masih tampak repot dengan perubahan yang ada pada dirinya saat ini.     

"Kenapa istriku semakin hari semakin tampak cantik, toh? Dengan perut buncitnya ini, tampak benar-benar sangat menggoda dan memesona," rayuku.     

Manis tampak menundukkan wajahnya, wajahnya memerah malu-malu. Aku ndhak tahu, bagaimana bisa dia malu saja bisa secantik ini.     

"Sudah ndhak usah pacaran, toh. Ayo kita berangkat. Simbah Suwoto sudah menunggu kita dari tadi, lho," Ningrum mengingatkan, membuatku dan Manis tersenyum dibuatnya. Putriku memang sudah besar, lihatlah betapa anggun dia mengenakan pakaian kebaya yang dibuatkan oleh biungnya. Bahkan kurasa, saat dia berjalan sendiri di kampus nanti, akan banyak mata yang akan sibuk memandang ke arahnya. Ya, bagaimana pun dia sudah dewasa, benar-benar ndhak bisa kubayangkan jika waktuku bersamanya telah kulalui sampai secepat ini.     

Aku pun berjalan cepat. Kemudian kurangkul bahu Manis, dan Ningrum dari sisi kanan dan kiriku. Kemudian, kami berjalan keluar karena kami sudah sangat ditunggu Suwoto di luar.     

Dan lihatlah Suwoto pagi ini, dengan malu-malu dia mengenakan kemeja batik pemberianku. Rambutnya pun tampak diberi minyak sehingga klimis, dan jenggotnya sudah dipotong pendek. Penampilannya kali ini jauh sekali dari penampilan seorang pembunuh berdarah dingin. Tapi, penampilan seorang laki-laki yang sangat gagah perkasa.     

"Walah Paklik Suwoto, aku sampai pangling lho. Duh Gusti, bagus seperti itu, Paklik. Paklik terlihat gagah benar, toh," kata Manis yang berhasil membuat Suwoto semakin tampak malu-malu.     

"Mbok ya ndhak usah diledek seperti itu, toh. Nanti Suwoto malu, dia kembali ke dalam ganti baju seperti biasanya, lagi," bisikku kepada Manis.     

Ya memang seperti itu, Suwoto itu penampilannya seperti preman. Dari pada harus memakai kemeja, dia lebih memilih memakai kaus. Kaus pun kurasa, dari semua kaus-kaus yang kubelikan itu. Dia lebih suka memakai satu kaus itu sampai rusak baru ganti. Ibarat kata cuci kering pakai. Dasar Suwoto. Ada ndhak yang punya kebiasaan seperti dia?     

"Ayo ayo berangkat, toh. Kok ya malah kita berdebat masalah Simbah Suwoto. Kasiahn ini, lho,"     

"Iya, ayo kita berangkat!" putusku pada akhirnya.     

Kami pun berangkat menuju kampus Manis, dan benar saja saat kami di sana semuanya sudah ramai. Kurasa sebentar lagi, kalau tadi kami masih berdebat masalah Suwoto, bisa dipastikan kami akan benar-benar tertinggal acara wisuda ini.     

Manis izin pamit, dia masuk dulu ke dalam gedung menyusul kawan-kawan lainnya. Sekarang tinggal aku, Suwoto, dan Ningrum yang masuk sebagai tamu undangan.     

Kami duduk, sembari menunggu acara dimulai. Dan kemudian, Suwoto tampak menyyenggol bahuku.     

"Juragan, apa Juragan ndhak merasa aneh sama sekali?"     

"Aneh kenapa, toh? Ada hantu? Atau apa? Kamu ini kan sakti kenapa harus bertanya kepadaku perkara keanehan-keanehan itu?" kutanya yang ndhak paham apa maksudnya.     

"Bukan, Juragan," jawanya.     

"Lantas?"     

"Lihatlah semua orangtua dari mahasiswa ini, semuanya berpasangan laki-laki dan perempuan, lantas kita ini kok ya laki-laki sama lakik-laki punya anak perempuan ini bagaimana, toh," jelasnya.     

Kutebarkan pandanganku, ternyata benar. Dan itu berhasil membuatku mengulum senyum.     

"Ya sudah begini saja, Ningrum jadi istriku ceritanya."     

"Lha saja jadi siapa, Juragan?"     

"Simbahnya Ningrum," kubilang. Suwoto langsung tertawa, dan itu berhasil membuat semua tamu undangan melotot ke arahnya.     

Tapi belum sempat acara dimulai, rektor memanggilku. Katanya aku disuruh pindah duduk di kursi daftar tamu yang dianggap penting mungkin karena kursinya dibedakan, dan duduknya di paling depan.     

Aku berpamitan kepada Suwoto, dan Ningrum, kemudian aku berjalan beriringan dengan rektor, sambil bercakap-cakap hal yang ndhak penting. Bisa kulihat, kalau semua tamu undangan memandangku dengan cara anehnya itu.     

Iya, aku paham. Mungkin mereka pikir siapa gerangan pemuda yang bagusnya ndhak ketulungan ini? kenapa bisa pemuda yang masih sangat muda ini dipanggil secara khusus oleh rektor sendiri untuk duduk di kursi depan. Iya, aku yakin mereka pasti akan berpikir seperti itu.     

Dan serangkaian acara pun mulai, sampai akhirnya anak-anak mahasiswa maju untuk prosesi utama mereka. Aku tersenyum melihat mereka tampak begitu bangga turun dari altar itu. kemudian, nama istriku disebut dengan sangat lantang. Aku benar-benar terharu, saat dia maju di depan rektor. Aku pun berdiri, kemudian berjalan ke arah jalan yang diberikan karpet merah.     

Aku menunggunya di sana, sampai dia turun dengan sangat hati-hati. Untuk kemudian kurentangkan kedua tanganku lebar-lebar. Manis tampak menghentikan langkahnya, senyumnya mengembang, bahkan air mata itu seoah ndhak kuasa ia pendam. Kemudian dengan langkah cepatnya, dia menuju ke arahku, dan berhambur memeluk tubuhku.     

Semua orang yang ada di sana bersorak-sorai, seolah mereka sedang turut berbahagia dengan apa yang aku rasakan. Lagi, kucium kening Manis, kemudian kugenggam erat kedua tangannya.     

"Selamat atas kelulusanmu, Sayang. Semoga kamu bisa amanah untuk mengemban amanah dari gelar yang telah kamu capai ini. Harus hidup di jalan yang lurus, bisa menolong orang susah, membantu dengan sepenuh hati, dan memberikan yang terbaik untuk keluarga kecil kita."     

Manis mengangguk, sembari mengusap air matanya dia pun kembali mengangguk. Sebuah senyuman tampak ia tampilkan dengan sangat Manis.     

"Terimakasih, Kangmas. Kamu sudah selalu mendukungku sampai detik ini. kamu selalu ada untukku di saat aku sedang sulit-sulitnya. Dan kelulusanku ini, sepenuhnya kupersambahkan untukmu."     

"Terimakasih, tapi ayo kita menepi dulu. Kok ya ndhak enak jadi pusat perhatian seperti ini," ajakku. Setelah aku bercakap sebentar, Manis langsung pamit untuk duduk kembali ke kursinya, dan aku pun kembali duduk di tempatku.     

"Wah rupanya, Manis itu adalah istri dari Juragan Besar, ya?" tanya salah seorang dosen yang ada di sana. Aku yakin, dosen itu adalah salah satu dosen yang mengajar Manis tatkala sedang kuliah.     

"Kurang lebih seperti itu, tapi dia tidak ingin terlihat mencolok di sini. Toh pada dasarnya juga di Jakarta ini, hanya akan ada sedikit yang mengetahui siapa aku ini, Pak Dosen," kubilang. Dosen itu tampak menepuk-nepuk tanganku.     

"Kata siapa? Beberapa dosen di sini dulu itu adalah teman dari romomu, Juragan Nathan, sebelum istrimu kuliah di sini pun dia sudah memberi kabar kepada kami terlebih dahulu. Hanya saja, sampai tadi kami belum tahu siapa kira-kira menantu kesayangannya itu. setelah tahu kamu, kami baru tahu kalau Manis orangnya."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.