JURAGAN ARJUNA

BAB 325



BAB 325

0Sore ini, aku, Manis, dan Ningrum sudah ada di Jakarta. Tentu sekarang aku bukan laki-laki sendiri, karena ada Suwoto yang ikut serta. Kami sedikit merapikan beberapa tempat yang agaknya kotor dan berantakan, untuk kemudian kami bisa beristirahat dengan tenang. Rencananya lusa kami akan kembali lagi ke Purwokerto dulu, untuk setelah itu kembali ke Kemuning. Mungkin, untuk beberapa bulan ke depan Manis akan di Purwokerto juga menemani Wangi menjaga Ningrum. Sebab dia merasa jauh lebih memiliki tanggung jawab atas Ningrum, karena bagaimanapun Ningrum adalah anaknya.     

Kalau aku terserah saja, siapa pun yang menjaga pun terserah. Terlebih jika Manis punya niatan seperti itu, aiu akan mendukungnya seratus persen. Ndhak peduli jika nanti aku harus bolak-balik Kemuning-Purwokerto, asalkan kedua perempuan yang kucinta bisa berdua itu sudah lebih dari cukup.     

"Juragan, apa semuanya baik-baik saja?" tanya Suwoto kepadaku, saat kami ada di depan rumah sembari meminum kopi. "Sepertinya Juragan kurang tidur, toh."     

"Iya, semalam aku kurang tidur. Karena Ningrum demam tinggi, jadi kubawa dia ke rumah sakit," jawabku.     

"Tapi sekarang untunglah kalau sudah baik-baik saja, Juragan."     

"Iya, padahal aku sudah sangat cemas semalam. Demamnya benar-benar tinggi. Aku ndhak bisa membayangkan kalau sampai saat ini belum pulih, terlebih besok adalah wisuda Manis. Di Kemuning apakah semuanya baik-baik saja, Suwoto?"     

"Baik, Juragan. Pembangunan rumah Dokter Setya berjalan baik, rancangan klinik yang dilakukan oleh Juragan Nathan juga berjalan baik, dan Juragan Bima kemarin datang untuk menjemput Ndoro Rianti ke Jakarta."     

"Lho mereka di Jakarta juga, toh?" kutanya, Suwoto pun mengangguk.     

"Iya, Juragan. Sepertinya Juragan Bima sudah sangat rindu dengan istrinya. Padahal katanya pekerjaannya masih belum ada yang selesai. Tapi dia sengaja datang karena ingin menjemput Ndoro Rianti pulang. Maklumlah sudah dua bulan lebih mereka hampir ndhak bertemu. Jadinya seperti itu."     

"Benar katamu, sepertinya Bima sedikit kualahan mengurus perusahaan ayahnya. sampai-sampai dia ndhak ada waktu lebih untuk istrinya. Semoga saja Bima lekas bisa melewati ini semua dengan cepat, agar seendhaknya dia bisa menghabiskan masa-masa luangnya lebih banyak lagi dengan keluarganya. Untungnya Rianti kok orangnya cuek, coba kalau dia seperti Manis atau Biung. Bisa-bisa menangis setiap malam karena menahan rindu ndhak bisa bertemu dengan suaminya dalam waktu selama itu."     

Suwoto pun tampak mengangguki ucapanku yang panjang lebar itu, sepertinya dia paham betul. Bagaimana lagi, toh, dia juga posisinya sekarang jauh dari keluarga juga. Jadi merasa bersalah aku padanya.     

"Kamu ndhak mau pulang barang seminggu atau dua minggu, Suwoto?" kutanya pada akhirnya.     

Suwoto memandangku dengan tatapan anehnya itu, kemudian dia menggeleng pelan.     

"Ini sudah kali ke berapa Juragan bertanya seperti itu, toh? Ausah kubilang ndhak apa-apa. Ndhak ada yang perlu dicemaskan sama sekali."     

"Tapi aku merasa ndhak enak sama sekali, toh. Barangkali kamu ingin pulang kampung apa bagaimana seperti itu, Suwoto."     

"Endhak, Juragan. Percayalah kepadaku," keras kepalanya. Ya sudah kalau memang dia ndhak mau pulang, ndhak apa-apa. Aku ndhak akan memaksa. Kalau nanti dia menyesal juga aku ndhak peduli, toh.     

"Ya sudah sekarang aku mengingatkanmu, lho, ya. Jika suatu saat kamu menyesal karena ndhak bisa pulang, jangan salahkan aku. Sebab aku sudah memperingatkanmu berkali-kali. Ndhak peduli jika sejatinya kamu ndhak punya anak istri, bawahanmu dulu, keluargamu yang lainnya dulu, apa kamu ndhak ingin untuk sekadar menyapa mereka? Bertemu mereka barangkali?" kataku lagi.     

Suwoto masih menggeleng. Sepertinya, jatuh cinta benar dia denganku, toh. Sampai-sampai ndhak mau pergi kemana-mana seperti ini. Aku jadi ndhak enak hati sekali kalau seperti ini.     

"Kadang kurasa rindu itu milik yang lemah, oleh sebab itu aku ndhak mau merindukan sesuatu, sebab itu adalah hal-hal yang hanya dimiliki oleh yang lemah,"     

Mendengar jawaban itu, aku tersenyum kecut. Entah kenapa mendengar ucapan Suwoto seperti itu, kok aku merasa jika dulu dia pernah mengalami suatu hal yang membuat dirinya sampai berpikir seperti itu.     

Ah, entahlah, Suwoto tetap Suwoto. Suwoto yang penuh misteri dengan segala masa lalunya yang sepertinya suram itu. Oh ya, suram. Tentu saja. aku rasa semua orang yang pernah menjadi abdi dari Eyang Kakung adalah orang-orang yang memiliki masa depan suram. Atau bahkan, mati dengan cara yang mengenaskan.     

Aku kembali menghela napas panjang seraya melihat Suwoto yang kini sedang menikmati kopinya. Sungguh, aku ingin menjadi salah satu dari keluarganya. Karena aku ingin menjadi bagian terpenting untuk menghangatkan hatinya, menjadi salah satu orang yang bisa menjadi kawannya, agar dia merasa jika dirinya di dunia ini ndhak sendiri. Agar dia merasa jika masih ada orang-orang baik di luar sana.     

"Suwoto, besok kamu ikut ke acara wisuda, ya,"     

"Ah, endhak, Juragan. kok ya saya ikut, toh. Saya ikut mengangar saja."     

"Lho, ya ndhak apa-apa, ayo ikut saja. Aku sudah menyiapkan satu kemeja buatmu. Tapi ndhak tahu itu muat apa endhak. Perutmu kan gendut seperti itu," kubilang. Suwoto tampak tersenyum karena ucapanku.     

"Kalau aku memakai kaus, Juragan, banyak benar orang yang mengatakan kalau aku ini hamil sembilan bulan. Duh Gusti, ini karena kebanyakan tidur apa ya," dia bilang.     

"Kebanyakan ikut Paklik Junet, pasti diajak minum tuak setiap hari. Iya, toh?"     

"Lho, minum tuak malah jarang buat perut buncit, lho, Juragan," katanya menarangkan. Masa iya, toh? Aku kok baru tahu.     

"Kamu suka tuak?" kutanya pada akhirnya. Suwoto mengangguk.     

"Kadang sesuatu yang salah kadang-kadang membuat rindu, Juragan,"     

"Kamu ini seperti orang yang sedang jatuh hati saja, toh. Setiap kata yang keluar dari mulutmu itu mengandung makna yang mendalam. Tumben benar. Apa jangan-jangan, kamu memang sedang jatuh hati dengan seseorang?" selidikku. Suwoto kembali tersenyum.     

"Jadi ceritanya itu tatkala Juragan ada di Purwokerto, aku, dan Sobirin menjadi murid didikan Ndoro Larasati untuk beberapa hari. Kami diajari mengatakan hal-hal indah seperti ini. Ndhak tahu juga apa tujuannya, Juragan. Hanya saja Ndoro Larasati bilang, sedang belajar untuk menguntai barisan-barisan kata-kata indah. Mungkin, Ndoro Larasati punya bakat menulis sebuah puisi."     

"Jadi kamu dan Paklik Sobirin yang harus mempraktikan hasil dari karyanya itu?" kutanya. Suwoto kemudian tersenyum, sambil menggaruk tengkuknya.     

"Lha gimana lagi, Juragan. Waktu itu kami benar-benar sedang ndhak ada kerjaan, disuruh baca puisi dan berkata-kata manis madu ya kami mau-mau saja. Toh katanya, agar ucapan kami itu ndhak terbuang sia-sia. Jadi jika berkata cukup yang singkat tapi bermakna seluas samudra."     

Mendengar jawaban dari Suwoto membuat kepalaku benar-benar pusing, apa itu berkata singkat tapi maknanya seluas samudra? Dasar Biung ini, masak iya abdi dalem laki-laki diajari yang endhak-endhak seperti ini.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.