JURAGAN ARJUNA

BAB 324



BAB 324

0Setelah aku sampai di rumah, Pandu benar-benar masih di sana. Bahkan dia masih mengenakan seragam yang dari kemarin ndhak ganti itu. Wajahnya tampak lesu dan panik, dan itu berhasil membuatku merasa iba karenanya. Melihatnya seperti ini, kok ya aku merasa telah menganiaya anak orang, toh.     

"Juragan, katanya Ningrum sakit. Apa itu benar? Bagaimana keadaannya, Juragan? Apa itu karenaku?" tanyanya.     

Aku hanya memandangnya, sementara Ningrum tampak memeluk tubuh Manis melihat ke arah Pandu takut-takut kemudian dia menundukkan wajahnya.     

"Iya, dia semalam demam tinggi. Mungkin karena sangat katkutan denganku, dan ditambah juga sedari sore sampai malam dia tidur di lantai. Jadi, aku harus membawanya ke rumah sakit untuk melakukan pertolongan pertama...," jawabku. Pandu tampak diam, menundukkan wajahnya dalam-dalam. "Sudah makan kamu?" kutanya lagi. Pandu pun menggeleng.     

"Juragan maafkan aku, aku berjanji ndhak akan pernah melakukan hal seperti itu lagi. Meskipun toh setelah ini Juragan ndham me—"     

"Aku lapar, ayo makan," putusku sembari memotong ucapannya.     

"Apa?" tanyanya bingung.     

Kemudian, Paklik Junet menepuk lengan Pandu dengan pelan. "Ayo sarapan, bukannya kamu sedari kemari ndhak sarapan?"     

"Tapi, Juragan Arjuna masih—"     

"Kalau dia masih marah, kenapa dia mengajakmu sarapan bersama?"     

"Jadi?" tanya Pandu yang agaknya ndhak paham dengan penjelasan dari Paklik Junet. Tapi menurutku bukannya ndhak paham, hanya saja dia ragu kalau mungkin aku telah berbaik hati kepadanya dan mempersilakan dia untuk makan bersama.     

"Sudah ndhak usah banyak pertimbangan. Kamu lapar, toh?" kini giliran Manis yang bertanya. Pandu mengangguk dengan malu-malu. "Ayo, sarapan bersama di dalam. Aku dan suamiku ndhak mau kalau sampai kami dicap sebagai orang jahat karena telah menelantarkan anak orang. Lebih-lebih, ndhak memberimu makan."     

"Terimakasih, Ndoro, Juragan!"     

Pandu langsung ikut masuk ke dalam rumah, bisa kulihat wajah berbinar tampak jelas terlihat darinya. Aku hanya penasaran, bagaimana rasanya pukulanku kemarin mengenai kepalanya. Apakah ndhak apa-apa? Apakah ndhak sakit sama sekali?     

"Nanti sore aku dan Manis akan pergi ke jakarta bersama dengan Ningrum juga. Guna menghadari wisuda istriku tercinta. Jadi kalian tetap yang rajin di rumah, ya. Rumah ndhak usah ditinggal-tinggal. Nanti akan ada kawanku bernama Setya dan Wangi yang akan ke sini. Kalian jamulah mereka dengan baik, sebab Wangi setelah ini akan menemani Ningrum saat berada di sini. Tapi sebisa mungkin mulai sekarang, aku dan biungnya akan sering-sering ke sini. Untuk mencegah hal-hal aneh terjadi, dan untuk memberikan rasa nyaman untuk Ningrum. Apa kalian paham?" kataku tatkala para abdi berkumpul, mereka tampak mengangguk, kemudian menundukkan kepala mereka. Sementara Pandu pun melalukan hal yang sama. "Dan untuk kamu, Pandu. Selama Ningrum berada di Jakarta kamu bebas. Mau tetap di sini juga ndhak apa-apa, mau fokus dengan sekolahmu juga ndak apa-apa. Hitung-hitung libur, dan merenungkan diri. Agar kamu bisa jernih pikirannya, dan ndhak melakukan hal yang aneh-aneh lagi."     

"Iya, Juragan. Aku ndhak akan pernah mengulanginya lagi. Aku janji sejanji-janjinya kepada Juragan."     

"Ndhak usah janji kalau nanti mengingkari. Sebab janji itu adalah komitmen yang dibuat hati, bukan hanya karena takut dimarahi."     

Pandu langsung diam, dia ndhak bisa mengatakan apa-apa lagi. kemudian, aku pun melanjutkan makan.     

Bukan, ini bukan berarti aku hendak menyindirnya atau pun aku sedang benci kepadanya. Ndhak sama sekali, aku hanya ingin dia tahu, ndhak perlu dia berjanji setinggi gunung kepadaku. Karena sejatinya, sebuah komitmen itu adalah perjanjian antara dirinya dengan hatinya. Percuma saja toh kalau kita berjanji banyak hal kepada orang tapi kalau hati kita ndhak ada niat untuk menjalankan janji itu, yang ada janji itu akan tetap dilanggar dengan mudahnya. Kemudian menyesal hanya menjadi salah satu alasan yang mereka pikir, mungkin akan ada kesempatan sekali lagi, hingga akhirnya ndhak menepati janji menjadi sebuah hal lumrah untuk dilanggar siapa saja dan kapan saja.     

"Kamu ini kalau bicara sama anak kecil, kok ya ndhak bisa dihutang, toh. Kamu tahu anak kecil itu mentalnya ndhak sekeras dirimu. Dia saja wajahnya sudah melas seperti itu tapi kamu tekan terus-terusan. Kalau sampai dia bunuh diri bagaimana, toh," bisik Paklik Junet.     

"Lho, apa salahku? Aku ndhak sedang memojokkan siapa pun, aku mengatakan itu murni karena memang aku ingin memberitahu jikalau memang janji itu adalah perkara yang luar biasa besar tanggung jawabnya. Jadi, untuk apa ada rasa saling tersinggung dan sebagainya. Bukankah seharusnya ini akan membuka mata semua orang agar mereka bisa paham tentang pentingnya arti janji dan kepercayaan. Benar, toh?" kataku. Paklik Junet kembali menyenggolku.     

"Menjelaskannya mboknya ndhak usah keras-keras, didengar banyak orang itu lho."     

"Ndhak usah diambil hati, Paklik. Romo memang seperti itu, dia tampak tegas tapi hatinya sangat lembut seperti boneka."     

"Boneka apa?" kutanya semangat.     

"Boneka beruang," jawab Ningrum.     

Semua orang langsung tertawa mendengar ucapan Ningrum itu, membuatku mau marah jadi ndhak jadi. Dasar anak sontoloyo bagaimana bisa dia mengatai romonya sendiri sebagai boneka beruang.     

"Iya, Romo beruang anaknya macan,"     

"Anaknya kucing, lucu," katanya.     

Aku langsung tertawa mendengar ucapannya itu. Kucing, benar saja kalau dia suka dengan kucing. Di luar tampak manis, tapi suka nyakar.     

"Wah benar itu dia seperti kucing, lha wong galak," kata Pandu.     

Aku kembali tertawa saat Ningrum memandang Pandu dengan tatapan sengitnya. Tapi dia ndhak mengatakan apa pun selain mencibir sambil mengerucutkan bibir mungilnya itu.     

"Sudah ndhak usah bicara, makan kok ya sambil bicara. Lekas selesaikan setelah itu siap-siap. Biar ke Jakartanya ndhak kemalaman. Nanti kita bisa istirahat cukup kalau di sana santai, toh."     

"Ohya, Biung membawakanku sendal ndhak? Yang baru, Biung. Sendalku rusak," kata Ningrum yang sudah berceloteh dengan biungnya. Biasanya kalau sudah seperti ini, pasti tanda-tanda kalau ada yang mau minta dibelikan sendal baru dan itu harus kembaran. Kadang-kadang aku merasa seperti punya anak kembar dibanding dengan punya anak dan istri ini.     

"Lho, Biung lupa. Nanti kita mampir ke toko sendal buat beli, ya. Kembaran sama Biung,"     

Nah, toh, benar dugaanku. Mereka itu kadang-kadang membuat kepalaku pusing. Mana coba Suwoto atau Paklik Sobirin. Aku ndhak mau nyetir sendiri ini kalau mereka sudah berencana belanja. Belanjanya mereka itu ruwet, sudah lama, semua tempat dimasuki, tapi ujung-ujungnya ndhak belanja apa-apa. Kadang-kadang yang lebih menyebalkan, mereka belanja di toko, tapi ditawar habis-habisan seperti belanja di pasar. Kalau sudah seperti itu rasanya aku ingin menghilang saja dari muka bumi. Benar-benar membuatku malu, mempermalukan martabatku sebagai seorang Juragan Besar yang banyak uang.     

Tapi tetap saja, mereka tetaplah mereka. Kutegur berkali-kali juga akan berkali-kali mereka melakukannya. Dengan dalih, kalau dapat diskon kan lumayan. Ah, dasar, perempuan!     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.