JURAGAN ARJUNA

BAB 323



BAB 323

0Mendengar hal itu, Ningrum tampak diam. Kemudian dia memeluk Manis dengan sangat erat. Aku yakin kalau Ningrum tahu, tentang perkara apa yang aku alami dulu. Sampai membuat semuanya kisruh, terlebih tentang hal kotor yang kualami dengan Manis. Semuanya jika dilihat dari sini menjadi benar-benar hal yang sangat menjijikkan, itulah sebabnya aku ndhak mau anakku sampai merasakan hal yang sama.     

"Ningrum mengerti, Biung. Ningrum janji Ningrum ndhak akan melakukannya lagi. Sebab Ningrum juga sadar, yang namanya perbuatan maksiat hanya enak di awal saja, menyesalnya ndhak akan pernah sebanding dengan nikmat sesaat itu. Ohya, Biung besok wisuda?" tanyanya kemudian. Manis mengangguk menjawabi pertanyaan itu. "Ningrum ikut?"     

"Ya jelas ikut, toh, Sayang. Kamu dan romomu adalah keluarga Biung yang sangat berharga, bagaimana bisa kalian ndhak ikut. Kalian harus datang di acara wisuda Biung. Bahkan Biung sudah membuatkan seragam buat kalian. Kamu memakai kebaya sama seperti yang Biung pakai kainnya, dan romomu memakai kemeja batik. Sudah Biung bawa itu, sudah disetrika sampai licin. Besok tinggal digunakan saja."     

"Jadi nanti sore pergi ke Jakarta?" tanya Ningrum lagi. Kemudian Manis tampak terdiam.     

"Kondisimu benar-benar sudah ndhak apa-apa?" tanyanya pada akhirnya, Ningrum kemudian mengangguk semangat.     

"Sudah, Biung. Ningrum sudah lebih dari kuat untuk sekadar pergi ke acara wisuda Biung. Nanti Ningrum akan titip surat izin buat sekolah besok. Kemudian kita berangkat ke Jakarta, ya,"     

"Sip. Sekarang minum obat, biar romomu pergi mengurus ke dokter kamu hari ini sudah boleh pulang apa belum."     

Setelah Manis mengatakan itu, benar saja, aku langsung disuruh untuk mengurusi administrasi dan lain sebagainya. Untung dokternya paham, jadi Ningrum ndhak ditahan lama-lama. Cukup jaga kesehatan dan minum obat yang teratur, katanya. Dan aku iyakan saja asal dokternya bahagia.     

Dan setelah mengurusi beberapa tetek bengek, ternyata Paklik Junet menjemput kami. Syukur saja, tak pikir dia ada di Kemuning. Lantas kemarin seharian dia ndhak tampak itu ke mana, toh?     

"Paklik, kemarin Paklik ndhak tampak sama sekali itu ke mana?" kutanya karena cukup penasaran dengan menghilangnya Paklik Junet dengan cara tiba-tiba.     

"Paklik disuruh romomu untuk pergi sebentar membeli beberapa bahan material yang kurang. Karena kamu ndhak pulang-pulang, romomu menelepon di rumah sini. Untung saja pikiranku mengatakan kalau kamu di sini. Jadi, aku bilang kemungkinan besar kamu di sini. Kemudian aku pergi ke Kemuning. Aku balik lagi, sepertinya kamu kembali ke Kemuning. Jadi kita sisipan. Dan malamnya aku ngopi sama main kartu sama kawan-kawan, ndhak tahu juga kalau Ningrum dibawa ke rumah sakit."     

Aku mengangguk saja menjawabi ucapan dari Paklik Junet yang panjang lebar itu, kemudian aku melirik ke arah Ningrum dan Manis yang tampak tertidur di dalam mobil.     

"Paklik, boleh aku bertanya kepadamu tentang beberapa hal?"     

"Apa?"     

"Selama Paklik menjaga Ningrum, kan sekarang Pandu jadi sering antar jemput Ningrum, toh. Ada ndhak gelagat yang mereka tampakkan waktu di rumah? Dan Ningrum ada ndhak gelagat aneh waktu di rumah?" tanyaku kepada Paklik Junet pada akhirnya.     

Bukan apa-apa, bukannya aku ndhak percaya dengan ucapan dari putriku sendiri. Tapi wajar, toh, jika aku penasaran, tentang sejauh mana mereka berhubungan. Terlebih, aku ndhak ada di sana, yang hanya tahu dari 'katanya' toh katanya itu juga belum tentu benar adanya. Kadang-kadang ada yang ditambahi dan ada yang dikurangi dengan sangat nyata.     

"Kalau sejauh yang kutahu, Arjuna. Gelagat mereka ya itu seperti ada sesuatu."     

"Sesuatu apa? Apa mereka di rumah itu romantis-romantisan? Gandengan tangan? Pelukan? Atau... ciuman?"     

"Ngawur kamu!" marah Paklik Junet kepadaku.     

Lho, kenapa dia bilang aku ngawur, lha wong dia sendiri toh yang bilang kalau dia melihat di antara Ningrum, dan Pandu seperti ada sesuatu. Aku kan cuma menjabarkan saja, kira-kira sesuatunya itu seperti apa. Biar lebih rinci, biar aku paham apa yang sebenarnya terjadi di belakangku itu seperti apa.     

"Mereka itu malah sungkan-sungkan. Sering Pandu main untuk mengerjakan PR bersama. Yang satu di ujung pintu, yang satu lagi duduk di ujung kursi, mereka canggung saling lirik-lirikan tapi ndhak berani bicara satu sama lain. Pernah waktu itu, sampai seminggu kira-kira aku buntuti mereka sampai ke sekolah. Ya seperti itu juga, kan kamu suruh Pandu untuk menjaga Ningrum, toh. Pandu dari rumah jemput, mereka jalannya di depan dan belakang saling diam, dan di sekolah pun sama. Bahkan ndhak jarang mereka tampak sungkan tatkala ndhak sengaja berbicara secara bersamaan. Benar-benar sangat lucu, bahkan aku sampai gemas sendiri. Masak iya begitu modelnya orang-orang muda yang sedang jatuh cinta. Kok ya membuat tanganku gatal buat menjitak kepala mereka. Mbok ya biasa saja seperti itu, lho. Ndhak usah diperlihatkan dengan sangat nyata. Aku yang melihatnya malu, apalagi orang lain. Malu-maluin. Malah aku sempat berpikir seperti ini, mungkin selama ini karena Ningrum ndhak punya kawan laki-laki, itu sebabnya dia merasa kaku berkawan dengan Pandu. Biasanya kan anak perempuan itu, yang punya kawan laki-laki, mereka cenderung bisa menutupi perasaannya. Sama pada zamanmu dan Manis dulu. Mereka akan luwes berkawan meski hatinya berdebar-debar ndhak karuan. Berbeda dengan Ningrum, berkawan dengan pandu saja tampak benar kalau dia takut luar biasa. Seolah-olah dipegang Pandu sudah membuatnya melakukan dosa besar. Apalagi berbincang dengan waktu yang cukup lama. Pasti ini karenamu. Makanya dia sampai ketakutan seperti itu."     

"Karenaku? Memangnya hal apa yang telah aku lakukan kok sampai ini karenaku, Paklik?" tanyaku yang ndhak terima dengan tuduhan dari Paklik itu. Bisa-bisanya dia mengatakan jika ini karenaku. Toh kenyataannya aku ndhak merasa telah melakukan kesalahan sedikitpun.     

"Ya itu, kamu mungkin selalu mengekang Ningrum. Selalu mengancam dan menakut-nakuti, atau bahkan selalu mempersempit ruang geraknya. Jadi anak ini menjadi ndhak bebas sama sekali dan merasa aneh kalau berkawan dengan siapa pun. Aku merasa seperti itu, Ningrum tampak ndhak begitu nyaman dengan dirinya sendiri."     

"Jujur, Paklik aku sama sekali ndhak melakukan itu. Bahkan aku memberi kepercayaan yang bahkan kemarin sempat disalah gunakan. Aku memberinya kebebasan, dan bahkan aku juga sering diajak bertemu dengan kawan-kawannya waktu dulu. Mungkin kurasa, dia ini ndhak ada kawan sebayanya di rumah, ndhak ada orangtua juga sebagai tempat keluh kesah. Mungkin itu salah satu penyebabnya dia menjadi murung seperti itu. Dan kurasa semuanya bisa diperbaiki seiring berjalannya waktu. Mungkin dia merasa menjadi seorang putri dari Juragan lantas dia memiliki tanggung jawab besar atas martabat dari orangtuanya. Mungkin itu juga yang membuatnya menjadi tertekan dan ndhak bisa memiliki ruang gerak yang cukup bebas. Apa pun itu, Paklik, aku akan bicara dengannya mengenai hal ini. Terimakasih, Paklik atas sarannya. Benar-benar sangat membantu."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.