JURAGAN ARJUNA

BAB 322



BAB 322

0"Kangmas...," panggil Manis, yang berhasil membuatku mendongakkan wajahku. Rupanya, aku ketiduran, di samping Ningrum yang tampak masih tertidur pulas. Kupegang keningnya, untuk kuperiksa bagaimana suhu tubuhnya saat ini. Saat aku tahu kalau suhu tubuhnya sudah normal, aku benar-benar sangat lega. "Tidurlah di ranjang sebelah. Kamu pasti lelah, aku akan menggantikanmu menunggui Ningrum," lanjut Manis pada akhirnya.     

Aku tersenyum, kemudian kuelus perut istriku tercinta. Untuk sekadar memberi ucapan selamat pagi kepada janin yang ada di perut istriku ini.     

"Selamat pagi anakku, selamat pagi istriku," kataku mencium perut Manis, kemudian aku berdiri dan mencium keningnya.     

"Pagi, Sayang," jawab Manis dengan senyumannya.     

"Aku tidur dulu, ya. Nanti bangunkan," ucapku.     

Manis mengangguk kemudian dia berdiri di samping Ningrum, memeriksa kening putrinya, lalu menata selimut putrinya yang melorot. Kemudian dia duduk, sambil memegangi tangan putrinya dengan erat.     

Aku malah jadi ndhak bisa tidur melihat mereka yang tampak manis itu. Kusibak gorden pembatas antar ranjang kemudian aku mengambil posisi duduk di atas ranjang itu. Sambil memandang pemandangan yang indah itu.     

Kulirik, Setya tampaknya mulai terbangun, sembari mengucek matanya dia pun mengambil posisi duduk. Kemudian dia memandang sekeliling, mungkin baru sadar kalau ini sudah siang.     

"Ya Tuhan, lama tidak berada di rumah sakit malah tidur di rumah sakit sampai kesiangan. Sepertinya, aku rindu rumah sakit," ucapnya tanpa sadar. Aku tersenyum mendengar ucapannya yang ngawur itu. kurasa, baru dia satu-satunya manusia yang rindu rumah sakit. Di saat semua orang lebih memilih untuk ndhak kembali-kembali lagi ke rumah sakit. Maklum saja, dia kan dokter, toh. Kalau ndhak ke rumah sakit mana dia dapat gaji.     

"Kamu sudah sadarkan diri, Setya?" tanyaku, Setya tampak menoleh. "Aku pikir kamu semalam itu pingsan atau kenapa."     

"Namanya capek, ngantuk. Pastilah tidurku nyenyak, dasar kamu. Ohya, aku kembali ke rumahmu dulu, ya. Kasihan itu Pandu pasti mencari keberadaanmu. Setelah itu aku kembali ke Ngargoyoso untuk menjemput Wangi. Agar dia bisa menetap di sini. Bukanya malam ini kalian harus ke Jakarta karena besok ada wisudanya Manis?"     

Aku malah baru ingat akan hal itu. Hampir saja aku lupa kalau besok Manis wisuda. Aku mengangguk menjawabi ucapan dari Setya, ternyata dia berguna juga. Kukira dia hanya orang yang ndhak berguna.     

"Biung...," lirih Ningrum, Manis langsung menoleh ke arah putrinya itu. Kemudian dia kembali memeriksa suhu tubuh putrinya. "Biung datang ke sini, karena kesalahanku yang kemarin, toh?" tanyanya hati-hati. Manis lantas memandang ke arahku, kemudian dia menampilkan seulas senyum untuk putrinya.     

"Iya, tapi Biung datang bukan untuk memarahimu...," jawab Manis. "Ndhak ada yang salah dari hal seperti itu, toh, Ndhuk. Asal kita tahu batasannya masing-masing. Setiap manusia itu punya caranya sendiri untuk berbuat salah. Dan yang terpenting dari itu semua adalah, bagaimana bisa mereka belajar dari kesalahannya. Asal kamu tahu, dulu romomu juga pernah melakukan kesalahan yang sama,"     

"Kesalahan apa, Biung?" tanya Ningrum agak penasaran.     

"Ndhak usah bilang-bilang, toh. Masak aib diumbar," ketusku. Manis tampak tersenyum.     

"Kenapa ndhak boleh? Jika kesalahan itu bisa buat pembelajaran untuk orang lain, maka ndhak ada salahnya kita berbagi kisah. Agar anak kita ndhak melakukan hal yang sama seperti kita. Dan agar anak kita tahu, alasan kenapa romonya sangat-sangat marah karena perbuatannya itu."     

"Apa, Biung? Cerita, toh. Aku penasaran ini lho."     

"Ehm, baiklah, Biung akan cerita sembaru kamu makan, bagaimana? Biar cepet sembuh...," tawar Manis, Ningrum pun mengangguk semangat. "Jadi dulu waktu itu, romomu kan dari kecil hidup di Jambi. Nah setelah itu dia tinggal di Purwokorto bersama orangtuanya. Pada saat itu tatkala dia kuliah atau sekolah kalau ndhak salah itu, oh kuliah. Saat orangtuanya sudah tinggal di Kemuning, dia datang berlibur ke Kemuning. Biung yang merupakan sahabat dari Rianti—adiknya sering toh berada di rumahnya. Dan saat itu, romomu mengajak kami untuk pergi melihat pasar malam. Namanya juga anak masih berpikiran kecil waktu itu, dan pasar malam merupakan hal yang sangat mewah pada masanya. Biung mau-mau saja, tapi ada satu hal yang membuat Rianti itu jadi ndhak bisa bareng-bareng dengan kita. Hingga akhirnya, kami nonton pasar malam berdua."     

"Terus?" tanya Ningrum lagi, aku rasanya ingin kencing di celana kalau harus mendengar apa yang diceritakan Manis setelah ini.     

"Terus kami beli beberapa jajanan, hingga saat romomu—"     

"Istriku, apa kamu ndhak mau mandi? Sudah siang, biar aku yang menyuapi Ningrum."     

"Nanti, Kangmas...," tolak Manis. "Terus romomu langsung—"     

"Atau kamu mau beli sesuatu? Kamu ndhak mau beli apa-apa?"     

"Ini di rumah sakit, Kangmas. Memangnya aku bisa beli apa, toh?" kata Manis yang sudah mulai jengkel karena ucapannya kupotong terus.     

"Romo mbok ya ndhak usah menyela ceritanya Biung toh. Kok ya gemar benar menjadi orang ketiga itu lho!" galak Ningrum kepadaku.     

Aku hanya bisa pasrah kalau sudah dimarahi oleh dua orang perempuan ini. Dan aku akan malu setengah mati pastinya ini. Duh Gusti, selamatkan harga diriku yang tinggi ini!     

"Romomu mencuri ciuman pertama Biung, dan Biung benar-benar ndhak berdaya waktu itu. Romomu benar-benar memperdaya Biung dengan sangat sempurna."     

"Wah, bohong ini. Cerita palsu, fiktif, hanya karangan semata!" kataku ndhak mau terima. "Romo memperdaya biungmu? Lihatlah, Ndhuk... lihatlah, biungmu sepintar itu mana mungkin sampai terperdaya oleh Romo. Pasti karena mau sama mau."     

"Siapa yang mau sama mau. Waktu itu Biung masih benar-benar sangat polos. Biung sibuk makan gulali, tapi romomu langsung mendekatkan wajahnya dan menempelkan bibirnya itu kepada bibir Biung. Biung yang masih kecil ya kaget, toh. Jadi ya diam mematung, mau berteriak juga sungkan, di pasar malam ada banyak orang. Jadi percayalah, Ndhuk, ndhak hanya kamu, romomu juga pernah melakukan kesalahan itu."     

Ningrum langsung memandang ke arahku sambil menyipitkan matanya, seolah-olah dia baru saja menemukan penjahat atas suatu kasus yang cukup besar. Aku pura-pura ndhak melihat, bersiul sambil menatap langit-langit.     

"Itulah kenapa romomu ndhak mau kalau kamu sampai mengulang kesalahan yang sama. Sebab apa pun yang dilakukan dengan cara yang ndhak benar, hasilnya benar-benar akan buruk. Kamu masih ingat kisah Romo, dan Biung, toh? Sampai harus memakan banyak korban di dalamnya. Hanya karena nafsu semua yang seharusnya bisa menjadi lebih baik dari pada itu menjadi berantakan, toh? Dan semua yang seharusnya ndhak harus lebih parah dari itu malah semuanya berakhir dengan sangat parah sekali. Dosa-dosa kami, dihapuskan dengan cara yang sangat menyakitkan. Biung, hanya ndhak mau kamu sampai merasakan yang seperti itu. Dan Romo, dan Biung sampai ndhak bisa membantumu apa-apa."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.