JURAGAN ARJUNA

BAB 321



BAB 321

0Setelah beberapa percakapanku dengan dokter itu, akhirnya kami bertiga masuk ke ruangan Ningrum. Demamnya memang benar sudah mulai menurun dari pada tadi. Rasanya benar-benar lega, rasanya seolah masa sulit yang baru saja kualami sudah lewat begitu saja. Aku menghela napas berat, kemudian menyuruh Manis untuk beristirahat. Sengaja kuminta kamar yang ranjangnya ada dua, yang satu untuk istirahat istriku tercinta.     

"Kamu benar-benar...," kata Setya, aku pun menoleh ke arahnya. "Kamu ini anak Paman Nathan, tapi kok tidak romantis seperti Paman."     

"Romantis bagaimana?"     

"Bagaimana bisa kamu memesan kamar rawat inap dua kemudian kamu suruh istrimu tidur di sana. Ya Tuhan, Arjuna. Kamu benar-benar,"     

"Justru aku romantis, aku romantis dengan caraku sendiri. Tidak bisa disamakan oleh siapa pun," kubilang ndhak mau kalah.     

Dia kemudian diam, sambil mengangguki ucapanku. Sepertinya berdebat adalah hal yang kurang baik sekarang, terlebih matahari sebentar lagi akan naik.     

"Duh Gusti!" kataku kaget, yang berhasil membuat Setya yang mau tidur pun kembali membuka matanya, rupanya dia kaget. "Pandu kita tinggal di luar rumah, lho! Aku sampai lupa!"     

"Kamu ini, anak orang kamu terlantarkan. Nanti ketika dia membuka mata, dia mencari keberadaan kita bagaimana?"     

Aku juga benar-benar lupa. Gara-gara di sekitarnya kututupi papan malah saat aku keluar tadi ndhak melihatnya sama sekali. Nanti, abdi dalem di rumah bisa melihat dia apa endhak, ya. Kalau ada orang di sana yang kelaparan membutuhkan makanan juga yang sedang kedingingan. Jangan sampai dia jatuh sakit juga. Bisa-bisa aku bisa gila karenanya.     

Setya kemudian tidur lagi, aku memilih untuk melangkah mendekat ke arah Ningrum, kemudian duduk di kursi sampingnya tertidur. Kuperiksa lagi keningnya, panasnya sudah mulai turun dan dia ndhak mengigau lagi. rasanya aku benar-benar bisa tenang.     

"Romo...," lirih Ningrum, matanya masih tertutup tapi mulutnya terus memanggil namaku. Apa dia mengigau lagi? Apa suhu tubuhnya akan meningkat lagi?     

"Ndhuk, Romo di sini," bisikku di telinganya. Sembari kuelus rambutnya, agar dia tertidur lagi.     

Tapi, matanya malah terbuka, dia memandangku dengan mata nanarnya itu, kemudian dia memelukku dengan erat, dan menangis.     

"Maafin aku, toh, Romo. Maafin aku, aku janji aku ndhak akan melakukannya lagi. Maafkan aku karena telah melakukan kesalahan sampai Romo marah. Aku ndhak mau dimarahi oleh Romo,"     

Hatiku kenapa tiba-tiba terasa ngilu, tatkala Ningrum mengatakan seperti itu. Tubuhnya tampak gemetaran, kemudian dia memandangku dengan mata yang sudah penuh dengan air mata itu.     

"Aku ndhak mau didiami oleh Romo, aku ndhak mau dimarahi oleh Romo. Jika ada hal yang kulakukan menurut Romo salah, aku janji, aku janji ndhak akan mengulanginya lagi. Sebenarnya waktu itu tadi ndhak sengaja terjadi yang seperti itu, toh. Aku kelilipan, Pandu berniat membantu meniup mataku. Tapi, tiba-tiba saja hal itu terjadi. Aku juga sama sekali ndhak tahu jika semua itu akan terjadi, Romo."     

"Hey... hey...," kataku memotong ucapannya. "Kamu sedang sakit, jangan banyak bicara dulu, ya. Istirahat," kubilang.     

"Tapi—"     

"Aku tahu, aku tahu semua yang ingin kamu ucapkan."     

"Tapi Romo masih marah," katanya.     

Kupeluk tubuhnya agar tenang, kemudian kuelus lagi rambutnya. Memang benar kata Setya, mengurus anak perempuan itu berbeda dengan anak laki-laki. Mereka punya caranya sendiri-sendiri. Terlebih, kalau anaknya lembut seperti putri kecilku ini.     

"Endhak, Sayang. Romo ndhak marah lagi, jadi ndhak usah sedih ya. Romo tadi hanya emosi sesaat saja, toh. Dan kamu sekarang sudah tahu, kan, bagaimana bahayanya nafsu? Niat awal Cuma meniup mata yang kelilipan jadinya berciuman, nanti apa lagi? kita ndhak ada yang tahu."     

"Kalau Romo mau aku kembali ke Kemuning aku nurut," jawabnya kemudian.     

Aku menjadi merasa berdosa, jika harus merampas kebahagiaan putriku karena sifat egoisku ini.     

"Ndhak usah, Romo hanya menggertak saja tadi. Tapi mungkin, bukan hanya Paklik Junet yang kusuruh untuk menjagamu. Tapi, mungkin Bulikmu Rianti ataupun Bulik Wangi, ya? Kamu perempuan, Paklik Junet laki-laki, mana paham dia dengan kebutuhan perempuan. Kamu juga kesepian ndhak ada kawan berbincang."     

"Ada, abdi dari Romo."     

"Ya sama saja, mereka lebih sibuk kerja. Kalau kamu kesepian, kalau kamu takut, atau pun sakit. Ndhak ada yang menjaga. Romo benar-benar ndhak kepikiran sampai sejauh itu."     

"Ada yang jaga, Bulik Asih," katanya. kini tangannya sudah memeluk tubuhku semakin erat, kepalanya disandarkan di dadaku dengan manja. "Bulik Asih suka menemaniku tidur, Romo. Suka memijatku dan bercerita kenangan-kenangan masa lalu, dia benar-benar sangat baik. Dia jadi kawanku selama ini."     

"Kenapa kamu mengatakan hal itu? kamu kesepian, hm?"     

Ningrum kemudian memandangku, bibirnya mengerucut kemudian dia mengangguk kuat-kuat.     

"Ingin sama Romo dan Biung," dia jawab.     

"Siapa yang keras kepala minta sekolah di Purwokerto?"     

"Aku,"     

"Nah sekarang terasa, toh, kalau ndhak mengikuti nasihat orangtua?"     

"Kok aku dimarahi lagi, toh, Romo," katanya kembali cemberut.     

"Endhak, endhak, Sayang. Romo endhak marah, kok. Romo hanya ndhak mau kamu itu kalau apa-apa selalu terbawa suasana hati. Ndhak dipikirkan masak-masak. Sekarang, Pandu apa yang harus kulakukan kepada Pandu? Jujur, mengenai hubunganmu dengan Pandu Romo benar-benar ndhak marah sama sekali. Setuju-setuju saja, Romo ini. Tapi mbok ya Pandu itu biar kerja dulu. Kalau dia kerja kan enak, toh. Dia bisa tanggung jawab atas dirimu. Kalau dia sendiri saja masih sekolah, punya tanggung jawab apa, dia? Menurutmu bagaimana? Benar ndhak ini Romo bicara?"     

Ningrum mengangguk kuat, dia ternyata setuju juga dengan ucapanku. Kupikir, dia akan membantah atau melawan.     

"Jadi, anggap saja kalian ini sedang masa pendekatan. Masa pendekatan itu ya pulang bareng ndhak apa-apa, bicara berdua ndhak apa-apa, gandengan kalau sesekali juga ndhak apa-apa. Tapi, ndhak boleh lebih dari itu dulu."     

"Romo itu toh bikin aku malu saja, kok ya dijelaskan seperti itu segala, lho. Tadi, kalau saja ndhak ada acara kelilipan juga ndhak akan seperti itu ceritanya. Yang malah membuat Romo marah besar kepadaku. Aku ndhak suka kalau Romo marah, apalagi diami aku. Ndhak suka sama sekali," dia bilang.     

"Makanya ndhak boleh nakal lagi, ya. Sekarang kamu harus tidur, badanmu masih anget. Kamu sudah tahu kalau Romo ndhak marah lagi sama kamu, toh? Jadi, tidur yang tenang."     

"Romo di sini saja, di sampingku jangan kemana-mana," katanya, saat aku hendak pergi. Aku tersenyum, kemudian mengangguk. Kubenahi letak selimutnya kemudian kukecup keningnya. Ningrum tampak tersenyum ke arahku, sembari merengkuh lenganku erat-erat.     

"Selamat tidur putri kecil Romo,"     

"Selamat tidur, Romo."     

Aku mengangguk, Ningrum pun mulai menutup matanya. Kulihat dia dengan seksama, sambil kusenandungkan sebuah lagu untuknya. Dan ndhak lama setelah itu dia benar-benar terlelap dalam tidurnya. Aku tersenyum melihat Ningrum tidur yang seolah tanpa beban seperti ini. Bahkan aku merasa sangat lega melihatnya tampak begitu bahagia. Dan semoga aku selalu bisa, menjadi salah satu orang yang bisa menjaga kebahagiaannya selamanya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.