JURAGAN ARJUNA

BAB 320



BAB 320

0"Aku salut denganmu, Arjuna," katanya kemudian, aku hanya tersenyum kecut mendengar ucapannya itu. "Bisa menganggap orang lain seperti putrimu sendiri. Jika ada orang di luaran sana yang melihat keakraban kalian, aku benar-benar yakin, mereka tidak akan mengira kalau tidak ada hubungan darah di antara kalian. Wajah anakmu itu pun mirip dengan Manis. Jadi, cocok memang kalau dia jadi anakmu dan anak Manis."     

"Dia sebatang kara, Setya. Dia tidak punya siapa-siapa. Benar memang dia punya Simbah di Jawa Timur, dan dulu pernah dia pulang ke sana untuk beberapa bulan. Tapi, yang dilakukan keluarganya itu benar-benar tidak manusiawi. Akhirnya, aku membawanya kembali ke sini. Aku hanya tidak mau membuat masa depannya hancur, aku ingin memberikan yang terbaik untuknya, sebagai ganti semua rasa bersalahku pada keluarganya."     

"Memangnya apa yang pernah kamu lakukan dulu? Apakah kamu telah berbuat dosa kepada orangtuanya?" selidik Setya, aku menghela napas berat, kemudian aku menundukkan wajahku.     

"Andai aku tidak ikut campur dalam kehidupan rumah tangga mereka, pastilah kejadian ini tidak akan terjadi. Aku terlalu sombong sebagai orang, selalu merasa jika semua masalah orang aku bisa mengatasi semuanya. Yang akhirnya, rasa keras kepala dan sok bisaku malah menjerumuskan semuanya ke lubang neraka."     

Setya kemudian menepuk bahuku, membuatku menoleh ke arahnya. Dia tersenyum simpul ke arahku.     

"Kamu akan tetap seperti itu, seorang Arjuna Hendarmoko yang telalu peduli dengan masalah orang lain dan selalu membantu masalah orang lain meski akhirnya dia kerepotan sendiri. Kamu akan tetap seperti itu, seorang Arjuna Hendarmoko yang mudah tersentuh tapi selalu sok tidak peduli dan gampang emosi. Tapi sebenarnya, kamulah satu-satunya orang yang paling peduli di antara kita. Dan kurasa, itu bukanlah kekuranganmu. Itu adalah salah satu kelebihanmu, Arjuna. Maka jangan pernah kamu merasa menyesal karena memiliki kepribadian seperti itu. Sebab kepribadianmu adalah kepribadian yang sangat dicari banyak orang."     

"Sepertinya, kamu tadi habis makan sesuatu yang mahal."     

"Kenapa seperti itu?" tanyanya.     

"Otakmu seolah habis dicuci, kamu mendadak bisa pintar seperti ini," ejekku.     

Setya langsung menyikut lenganku. "Karena aku temanmu, aku yang paling tahu siapa kamu. Aku yang akan menegurmu saat kamu salah atau pun keliru. Jadi, jangan sekali-kali kamu mencoba untuk berbuat jahat kepadaku. Karena aku sudah baik kepadamu."     

"Iya, iya aku paham. Aku tidak akan menjahatimu lagi. Sudah, tidur dulu sana!"     

"Iya, bawel sekali kamu ini seperti bundaku."     

Dan akhirnya setelah pedebatan itu, kami pun tidur di sofa. Sementara aku mengambilkan selimut untuk Pandu, dan mengambil papan yang ada di dalam rumah. Kusandarkan pada kursi, agar angin malam ndhak membuatnya masuk angin.     

Lagi, kuhelakan napasku. Besok, apa yang harus kulakukan? Besok aku harus berhadapan dengan mereka lagi. Lalu, apa jalan keluar yang harus aku ambil? Jujur, aku benar-benar ndhak tahu lagi harus bagaimana menghadapi semua ini.     

Dan karena pikiran-pikiranku inilah, lama-lama mataku pun mulai berat, kemudian aku pun mulai rerlelap.     

*****     

"Kangmas... Kangmas," panggil Manis, seraya menggoyang-goyangkan tubuhku. Matanya yang rasanya masih menempel rapat-rapat ini pun harus terpaksa kubuka meski rasanya panas, perih dan sepet.     

Kukucek mataku sembari memandang ke aranya, rupanya istriku sangat panik luar biasa. Ada apa? Kenapa istriku sampai sepanik ini?     

"Ada apa, Sayang?"     

"Demam Ningrum ndhak turun-turun, toh. Dan dia mengigau terus, aku takut terjadi apa-apa. Ayo kita bawa ke rumah sakit saja, Kangmas. Ayo, aku takut dia kenapa-napa, toh!" katanya yang tampak panik.     

Mendengar hal itu mataku langsung terbuka lebar, kemudian aku bangkit dari dudukku, membangunkan Setya untukku kuajak ke rumah sakit segera.     

"Antarkan aku ke rumah sakit. Ningrum demamnya tidak mau turun," kubilang.     

Dan setelah itu aku langsung masuk ke kamar Ningrum, Manis tampak sibuk mempersiapkan semuanya kemudian kami langsung menuju rumah sakit. Ningrum tampak masih mengigau, dia kupangku sambil kupeluk erat-erat. Jujur, aku merasa bersalah sekali karena ini. Aku benar-benar merasa menjadi Romo yang ndhak becus merawat anaknya.     

"Kenapa dia sampai seperti ini?" tanya Setya yang tampaknya ndhak habis pikir.     

"Semenjak orangtuanya tidak ada, Ningrum hanya dekat dengan Kangmas Arjuna, toh, Dokter. Dan selama ini Kangmas selalu memperlakukanya dengan sangat lembut seperti putrinya sendiri. Bahkan saat dia tidak bisa tidur pun, dia maunya dikelonin Kangmas. Mungkin dia benar-benar syok karena dimarahi romonya sampai seperti itu. Jadi dibawa sampai ke hati anak ini."     

"Tadi juga sudah kubilang sama Arjuna, jangan terlalu keras-keras apalagi sama anak perempuannya. Dia ngeyel, jadi seperti ini, kan. Aku takutnya hal yang membuatnya menjadi trauma timbul kembali sehingga akan benar-benar membuatnya dalam titik terendah. Tidak percaya diri, takut, dan lain sebagainya. Jika itu terjadi, yang sakit bukan hanya badannya lagi. Tapi ini...," kata Setya sambil menunjuk kepalanya. "Mentalnya yang sakit."     

"Sudah, kenapa kamu ini senang sekali memojokkanku? Kamu tidak tahu apa, bagaimana khawatirnya aku kepada putriku ini? Terlebih istriku sedang mengandung, dia belum cukup istirahat dan melakukan perjalanan jauh."     

"Memangnya kandungan istrimu itu seperti tempelan, yang akan jatuh dengan mudahnya? Setelah memasuki bulan ke empat kandungan istrimu itu semakin kuat, terlebih sudah ada nyawa di dalam perut istrimu. Lagi pula, kandungannya sehat dan baik-baik saja, tidak ada masalah sedikitpun, asalkan selalu hati-hati dan minum vitamin semuanya baik-baik saja."     

"Lagi pula kamu ini dokter kok ya tidak membawa peralatanmu. Kalau kamu bawa kan aku tidak usah pergi ke rumah sakit," gerutku.     

"Siapa juga yang tahu kalau kamu akan membuat drama seperti ini? Kalau aku tahu akan ada pertunjukan yang sangat spektakuler. Jangankan alat medisku, suntik kerbau pun akan kubawa untuk menyuntuk otakmu biar tidak mudah emosian."     

"Dasar perjaka tua!" kataku ndhak mau terima. Kurang ajar benar dia berani mau menyuntik otakku dengan suntikan kerbau. Memangnya dia pikir, otakku yang berharga ini pantas apa disuntik pakai suntikan kerbau! Dasar, orang jelek!     

"Sudah, mbok ya ndhak usah ribut, toh. Kita harus segera sampai ke rumah sakit sebelum Ningrum semakin parah!" akhirnya, Manis pun menengahi. Kami kemudian saling diam, kemudian ndhak berapa alama kami sampai di rumah sakit. Dengan cepat tim medis membawa Manis ke ruangan kemudian dilakukan tindakan.     

Aku, Manis, dan Setya tampak berdiri mondar-mandir. Padahal jelas di samping kami ada kursi. Setelah dokter keluar, kami langsung mendekat ke arah dokter itu, kami benar-benar penasaran kenapa bisa Ningrum seperti ini.     

"Jadi, anak saya kenapa, Dok?" tanyaku yang ndhak sabaran.     

"Tenang, Pak. Sepertinya anak Bapak ini ndhak apa-apa, demam biasa saja. Setelah mendapatkan obat dan istirahat pasti akan turun demamnya," jawab dokter itu yang berhasil menenangkan pikiranku.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.